Dua wabah yang lebih berbahaya daripada virus apa pun telah berkembang dengan kecepatan yang tak terduga: Epidemic of Politics dan Infection of Science. Kedua fenomena ini tidak hanya mengancam tatanan sosial dan intelektual, tetapi juga menjadikan akal sehat dan objektivitas sebagai korban pertama dari pertempuran ideologis yang tidak pernah usai.
Seperti virus yang menyebar tanpa henti, politik kini merasuk ke dalam setiap lapisan kehidupan kita—baik yang kita inginkan maupun yang tidak—sementara sains, yang seharusnya menjadi benteng terakhir rasionalitas, kini terinfeksi oleh kebohongan dan manipulasi yang disamarkan sebagai kebenaran. Inilah dunia baru kita: tempat di mana kebenaran telah dipolitisasi, dan ilmu pengetahuan terperangkap dalam permainan kekuasaan yang murahan.
Epidemic of Politics: Politisasi Segala Sesuatu
Bayangkan sebuah masyarakat di mana setiap percakapan, setiap keputusan, dan bahkan setiap gerak tubuh seseorang ditentukan oleh afiliasi politik mereka. Di dunia ini, teman bisa menjadi musuh hanya karena berbeda warna suara di bilik pemilu.
Kita hidup dalam epidemi ideologi, di mana politik tidak lagi sekadar alat untuk mengelola negara, tetapi telah menjelma menjadi agama baru yang menyusup ke dalam setiap interaksi sosial, budaya, bahkan ke dalam ranah pribadi. Ketika politik menjadi semacam penyakit menular yang tak terbendung, masyarakat menjadi terpecah dalam kubu-kubu yang saling bertikai, bahkan ketika diskusi tentang cuaca atau film bisa berakhir dengan permusuhan ideologis.
Fenomena ini bukanlah hal baru—ia telah terjadi berulang kali dalam sejarah, namun kini dengan jangkauan yang lebih luas dan dampak yang lebih dahsyat. Politik identitas—di mana ras, agama, gender, dan bahkan preferensi pribadi dibenturkan dengan kekuatan politik yang lebih besar—telah menggantikan politik berbasis kebijakan.
Sebagai hasilnya, kita tidak lagi bisa berbicara tentang perubahan iklim tanpa mengingat siapa yang mendukungnya, atau tentang kebijakan kesehatan tanpa menilai siapa yang berada di pihak mana. Di dunia yang terinfeksi politik ini, objektivitas bukan lagi nilai, dan rasionalitas hanyalah ilusi yang tersisa dari zaman lampau.
Kehadiran politik yang mendominasi kehidupan sehari-hari ini bukan hanya berbahaya—ia mengarah pada polaritas yang semakin tajam. Seperti wabah yang merusak tubuh, politik ini merusak hubungan sosial, memutuskan ikatan kemanusiaan yang seharusnya mendasari kehidupan bersama.
Ketika fakta-fakta ilmiah atau moralitas dijungkirbalikkan untuk mendukung agenda politik tertentu, akal sehat seolah-olah harus tunduk pada kekuatan politik yang lebih besar. Apa yang dulu menjadi arena diskusi rasional kini berubah menjadi arena gladiator yang penuh dengan darah ideologis.
Politik, Polarisasi, dan Ruang Digital
Politisasi yang merasuk ke berbagai aspek kehidupan semakin diperparah oleh peran ruang digital, tempat algoritma dan kecerdasan buatan mempercepat penyebaran “virus ideologi”. Media sosial, dengan keunggulannya yang ironis, menjadi medan perang paling subur untuk memperkuat kubu ideologis.
Konten yang memprovokasi emosi—entah itu kemarahan, ketakutan, atau rasa terancam—diberikan prioritas lebih tinggi dibandingkan dengan fakta atau diskusi berbobot. Dalam lingkungan seperti ini, siapa yang peduli pada dialog jika monolog dengan volume lebih keras menghasilkan lebih banyak klik?
Kita menyaksikan fenomena echo chamber—ruang gema digital di mana pandangan seseorang terus diulang dan diperkuat oleh lingkungannya sendiri tanpa tantangan. Polarisasi politik tidak lagi sekadar benturan ideologi, tetapi menjadi bagian dari identitas individu.
Orang-orang mulai mendefinisikan diri mereka bukan berdasarkan siapa mereka, tetapi berdasarkan siapa yang mereka lawan. Ketika algoritma memutuskan apa yang kita lihat dan apa yang kita anggap benar, ruang untuk diskusi sehat menghilang.
Epidemi politik ini mempertegas satu hal: kita bukan lagi masyarakat yang ingin mendengarkan, melainkan masyarakat yang hanya ingin didengarkan.
Infection of Science, Sains yang Tercemar Kepentingan
Namun, tidak hanya politik yang mengalami infeksi. Sains, yang seharusnya menjadi benteng terakhir dari rasionalitas dan pencarian kebenaran objektif, kini juga tengah terjangkit.
Seperti halnya virus yang menyusup ke dalam sistem tubuh, infection of science ini tidak hanya merusak hasil penelitian, tetapi mengancam seluruh struktur yang dibangun di atas prinsip-prinsip ilmiah.
Di dunia ini, hasil penelitian bisa dipalsukan, data bisa dimanipulasi, dan teori-teori bisa disesuaikan agar sesuai dengan agenda tertentu. Ilmu pengetahuan telah menjadi komoditas, dijual kepada mereka yang mampu membayar harga tertinggi.
Dalam dunia ini, yang terpenting bukanlah menemukan kebenaran, tetapi menemukan solusi yang menguntungkan—baik untuk kepentingan ekonomi, politik, atau ideologis.
Bukan hal yang jarang bagi industri-industri besar, terutama farmasi atau teknologi, untuk memanipulasi data demi keuntungan finansial. Penelitian yang seharusnya independen dan objektif kini sering kali tunduk pada politik keuntungan.
Bayangkan saja, hasil riset tentang efek samping obat tertentu yang sengaja diabaikan demi mempertahankan citra perusahaan, atau penolakan terhadap temuan ilmiah yang menyatakan adanya perubahan iklim hanya karena menyentuh sektor ekonomi yang sensitif.
Ilmu yang seharusnya berbicara tentang kebenaran kini terperangkap dalam permainan kuasa—di mana kebenaran lebih sering dibungkam oleh suara yang lebih keras dan lebih kaya.
Ketika ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh kepentingan eksternal, ia tidak hanya kehilangan integritasnya; ia kehilangan haknya untuk dianggap sebagai otoritas penentu kebenaran. Dunia ini memproduksi ilmuwan yang tidak lagi berbicara dengan suara hati nurani, tetapi dengan suara yang dibayar oleh sponsor.
Penemuan dan inovasi yang seharusnya mendorong peradaban menuju kemajuan kini berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan status quo—sebuah permainan kotor yang menempatkan sains pada posisi yang memalukan.
Ketidakpercayaan Publik terhadap Sains
Dampak lain dari infeksi ini adalah meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap sains. Ketika publik mulai menyadari bahwa ilmu pengetahuan sering kali tunduk pada kekuatan politik dan ekonomi, skeptisisme terhadap temuan ilmiah pun meningkat.
Tidak peduli seberapa sahih data yang disajikan, kelompok-kelompok tertentu kini dengan mudah menuduh sains sebagai “bias”, “manipulatif”, atau bahkan “konspiratif”.
Pandemi COVID-19 adalah contoh nyata: kebijakan kesehatan yang berbasis sains sering kali ditolak mentah-mentah karena dianggap sebagai alat politik, meskipun bukti empiris menunjukkan sebaliknya.
Ketidakpercayaan ini memperlihatkan paradoks besar: sementara manusia bergantung pada kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk bertahan hidup, mereka juga semakin curiga terhadap institusi-institusi yang menciptakannya.
Akibatnya, kita menghadapi tantangan ganda: bagaimana memulihkan integritas sains, sekaligus memperbaiki persepsi publik terhadapnya. Jika tidak, kita hanya akan semakin tenggelam dalam jurang ketidakpedulian terhadap kebenaran.
Menghadapi Wabah Ini
Kedua wabah ini—epidemic of politics dan infection of science—menunjukkan sebuah kenyataan yang pahit: dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi ini, tidak ada tempat bagi kebenaran yang objektif.
Kebenaran kini terbagi menjadi kebenaran yang sesuai dengan kepentingan: jika kamu mendukung kebijakan tertentu, maka kamu akan percaya pada data dan fakta yang mendukungnya. Jika kamu berada di kubu yang berseberangan, maka data dan fakta yang sama akan ditolak sebagai “hoaks” atau “propaganda.”
Dalam dunia ini, kebenaran adalah sesuatu yang dapat dibeli dan dijual—sesuatu yang terinfeksi oleh permainan politik dan ekonomi yang menguntungkan.
Dan itulah yang terjadi: sains dan politik tidak lagi beroperasi sebagai entitas yang terpisah, melainkan menjadi dua kekuatan yang saling mempengaruhi, saling menginfeksi, dan dalam banyak kasus, saling merusak.
Ilmu pengetahuan yang seharusnya menuntun umat manusia menuju pencerahan kini lebih sering digunakan untuk membenarkan pandangan yang sudah ada.
Politik yang dulu berfungsi untuk menyatukan masyarakat kini semakin memecah belah, menggiring setiap individu ke dalam lorong-lorong sempit ideologi mereka, tanpa ruang untuk perdebatan yang sehat atau penilaian yang rasional.
Namun, siapa yang peduli? Bukankah kita sudah terbiasa hidup di dalam gelembung kita sendiri, terisolasi oleh algoritma dan kepercayaan yang sudah terkotak-kotak? Mungkin kita hanya perlu menerima bahwa kita hidup di dunia yang terinfeksi, dan satu-ssatunya cara untuk bertahan adalah dengan menghidupi penyakit ini sebaik mungkin.
Bukankah itulah esensi dari zaman ini? Kita mencari kenyamanan dalam ketidaknyamanan yang terus-menerus terjaga. Kita membangun tembok-tembok ideologi dan membiarkan diri kita terjebak di dalamnya, nyaman dengan ketidakpastian dan polarisasi yang terjadi di luar sana.
Dunia yang kita huni kini adalah dunia yang terinfeksi, tapi kita merasa lebih aman dalam kebingungannya—lebih nyaman dengan kebohongan yang kita terima daripada dengan kebenaran yang memaksakan kita untuk berpikir ulang.
Namun, di balik kenyamanan itu ada kegelisahan yang semakin sulit disembunyikan. Ketika kita terus-menerus dihadapkan pada krisis ilmiah yang dimanipulasi, atau kebijakan politik yang tidak lagi berbicara untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan segelintir orang, kita tidak bisa menutup mata selamanya.
Epidemic of politics dan infection of science mungkin telah mencemari dunia kita, tetapi hal itu juga membuka jalan untuk sebuah pertanyaan yang lebih mendalam: adakah jalan keluar dari dua wabah ini?
Pencarian Kebenaran di Tengah Ketidakpastian
Kita hidup dalam dunia yang kacau, penuh dengan kepalsuan yang merasuki seluruh aspek kehidupan kita—dari perdebatan politik yang tidak pernah berakhir hingga klaim ilmiah yang bisa dibeli dengan harga yang sesuai. Setiap informasi yang kita terima datang dengan label—ideologi, afiliasi politik, atau tujuan ekonomi.
Kebenaran kini bukan lagi sesuatu yang murni dan objektif, tetapi sesuatu yang bisa dibentuk, dibengkokkan, dan diperdagangkan sesuai dengan keinginan pasar. Dalam realitas seperti ini, pencarian akan kebenaran seolah menjadi tugas yang sia-sia. Apakah mungkin untuk menemukan kebenaran di tengah badai kebohongan yang melanda dunia ini?
Namun, bukankah tugas ilmuwan dan pemikir kritis untuk mencari kebenaran di tengah kebingungannya? Bukankah kita seharusnya terus berusaha untuk mengarungi lautan informasi yang terkadang menyesatkan ini? Tidak ada yang lebih berbahaya daripada menerima kenyataan dengan pasrah, karena ketidakpedulian adalah bentuk terakhir dari kebohongan yang kita percaya.
Mungkin saja kita harus membiarkan diri kita menjadi sakit—menghadapi kenyataan pahit bahwa dunia ini tidak lagi bersih dari kepentingan, bahwa sains telah terinfeksi oleh kepalsuan, dan politik telah terjebak dalam jaring kekuasaan yang busuk. Tetapi, bahkan dalam sakit ini, kita masih bisa belajar bagaimana cara melawan—bukan dengan cara yang mudah, tetapi dengan cara yang sulit, penuh pertanyaan, dan tanpa kepastian.
Berjuang Melawan Infeksi: Sebuah Parodi Intelektual
Mungkin satu-satunya cara untuk melawan epidemic of politics dan infection of science ini adalah dengan sebuah parodi intelektual—sebuah bentuk perlawanan yang tidak terlalu serius, namun sangat mendalam. Sebab, dalam dunia yang penuh dengan kepalsuan ini, hanya humor yang bisa menembus benteng-benteng ideologi yang mengekang kita.
Bukankah kita sudah terjebak dalam permainan yang absurd ini? Politik yang lebih mirip teater daripada kenyataan, dan ilmu pengetahuan yang lebih mirip pertunjukan sirkus yang diperankan oleh para ilmuwan yang memiliki harga diri, bukan untuk pengetahuan.
Kita sering lupa bahwa ilmu pengetahuan tidak harus menjadi milik segelintir orang atau kelompok elit yang menggunakan data dan fakta sebagai senjata untuk mempertahankan hegemoni mereka.
Kita telah melihat bagaimana politisasi ilmu pengetahuan, terutama dalam isu-isu seperti perubahan iklim atau pandemi, mengarah pada kebingungan yang lebih besar daripada pencerahan.
Namun, apakah kita hanya akan diam dan menerima kenyataan ini? Atau bisakah kita mulai memperlakukan politik dan sains sebagai dua hal yang bisa dipertanyakan dan bahkan diparodikan?
Humor gelap, ironi, dan sarkasme bisa menjadi alat yang sangat efektif dalam menghancurkan keteguhan ideologi yang tidak lagi relevan dengan realitas. Ketika kita tertawa pada kekonyolan sistem yang menguasai dunia kita, kita mengakui bahwa kita masih memiliki sedikit kebebasan—kebebasan untuk memandang dunia ini dengan mata kritis dan tidak terjebak dalam narasi yang diciptakan oleh orang-orang yang tak peduli pada kebenaran.
Mungkin kita harus belajar untuk tertawa pada absurditas ini, dan dalam tawa itu, menemukan kembali kekuatan untuk bertanya, untuk menggali, dan untuk mencari kebenaran tanpa takut pada konsekuensi sosial yang ada.
Apakah Ada Jalan Keluar?
Pada akhirnya, pertanyaan besar yang tersisa adalah: adakah jalan keluar dari dua wabah ini? Mungkinkah kita bisa kembali ke dunia di mana sains berfungsi sebagai panduan yang tidak tergoyahkan, dan politik bertugas untuk mengayomi semua lapisan masyarakat, bukan hanya untuk mereka yang memiliki kekuasaan atau uang? Dunia yang telah terinfeksi ini mungkin sulit untuk disembuhkan, tetapi apakah kita harus terus-menerus terjebak dalam ketidakpastian dan kebohongan yang mengitarinya?
Mungkin jawabannya terletak pada kemampuan kita untuk menciptakan ruang di luar dua infeksi ini—ruang di mana kita bisa berpikir secara bebas, tanpa tekanan dari politik atau sains yang telah terkontaminasi oleh kepentingan.
Kita harus belajar untuk mempertanyakan segalanya, tidak hanya menerima informasi begitu saja, tetapi mengujinya dengan skeptisisme yang sehat. Hanya dengan cara ini kita bisa menemukan jalan keluar dari wabah ini—sebuah jalan yang tidak mudah, tetapi sangat mungkin jika kita memiliki keberanian untuk berjalan ke arah yang lebih gelap dan tidak terjamah.
Di tengah wabah ini, kita akan belajar bahwa penyakit ini bisa menjadi pengajaran—bukan akhir dari segalanya. Dalam setiap infeksi ada potensi untuk pembaruan, dalam setiap kebohongan ada kebenaran yang tersembunyi. Jika kita cukup berani untuk melawan dengan cara yang tidak biasa, mungkin kita akan menemukan kembali dunia yang bebas dari kepalsuan.
Sebuah dunia yang mungkin tak sempurna, tetapi masih punya ruang untuk bertanya, untuk belajar, dan untuk kembali menjadi manusia.
Apa yang benar-benar kita cari di dunia yang sudah terinfeksi ini? Cuih!