Jika Anda berpikir zombi hanya ada di film The Walking Dead, Anda ketinggalan zaman. Di dunia nyata, kita punya generasi baru zombi—manusia berjalan yang otaknya lebih lembek daripada bubur bayi, matanya melekat pada layar, dan jari-jemarinya bergerak refleks seperti sedang exorcism setiap kali melihat notifikasi. Selamat datang di era Brain Rot, fenomena di manusia modern dengan bangga mengubur potensi otaknya demi konten TikTok yang durasinya lebih pendek daripada perhatian mereka.
Oxford baru saja menganugerahi “Brain Rot” sebagai Word of the Year 2024. Bukan karena kata ini puitis, tapi karena kita semua sepakat: “Ya, otak kami memang sedang membusuk, dan kami tidak peduli!”
Perjalanan Bangga Menuju Kebodohan
Henry David Thoreau, filsuf abad ke-19, pasti tak menyangka istilah “brain rot” yang ia gunakan untuk mengejek kebodohan intelektual masyarakat, kini jadi badge of honor bagi Gen Z. Dulu, “brain rot” adalah kritik untuk orang yang menolak berpikir kritis. Sekarang? Itu gaya hidup.
Bayangkan: Thoreau menulis “Walden” di tengah hutan untuk mencari makna hidup. Gen Z? Mereka menulis caption aesthetic di TikTok sambil duduk di toilet—that’s depth, baby!
Algoritma media sosial telah mengubah otak manusia dari organ canggih jadi sponge yang hanya menyerap konten receh. Setiap hari, miliaran orang menghabiskan waktu menonton video orang lain makan mie pedas, jatuh dari sepeda, atau menari ala robot—konten yang bahkan tidak layak disebut “hiburan”. Tapi hey, siapa yang butuh Shakespeare kalau kita punya prank palsu yang berujung drama?
Generasi Z & Alpha Hati-Hati
Mereka lahir dengan gadget di tangan, ASI digantikan WiFi, dan kata pertama mereka bukan “mama”, tapi “buffering”. Gen Z dan Alpha adalah produk sempurna dari peradaban yang memutuskan bahwa berpikir itu overrated.
Survei membuktikan: 63% Gen Z Indonesia lebih memilih scroll TikTok daripada tidur. “Tidur itu buat orang lemah!” katanya, sambil matanya merah seperti demon dari dimensi lain. Mereka menghabiskan 8 jam sehari untuk menonton video orang lain hidup—sementara hidup mereka sendiri berantakan.
Dosen-dosen berkacamata tebal berteriak, “Ini bahaya! Otak kalian akan rusak!” Tapi apa tanggapan Gen Z? “Boomer alert! Ngomong apa sih? Ntar gue kasih tau kamu cara jadi viral dalam 5 menit!”
Konten Receh Adalah Makanan Pokok Otaknya
Jika otak adalah kuil, maka konten media sosial adalah fast food yang dijual di depan pintunya—dengan bonus kolesterol dan MSG. Setiap hari, algoritma menyuapi kita dengan video prank bodoh, tantangan minum saus sambal, atau life hack yang justru bikin hidup makin kacau.
Contoh brain rot dalam bentuk fisik:
- Video 15 detik orang menyanyi fals dengan judul “Bikin merinding!!!” (yang bikin merinding justru kualitas vokalnya).
- Konten ASMR orang memotong sabun—karena apa yang lebih menenangkan daripada melihat seseorang menghancurkan benda yang seharusnya dipakai mandi?
- Challenge minum air toilet—karena Darwin Award tidak akan memberikan diri mereka sendiri.
Dan jangan lupa: semua ini dibungkus dengan hashtag #edukasi. “Edukasi apa? Cara jadi bego?”
Gejala Brain Rot
Brain Rot bukan penyakit biasa, melainkan prestasi kultural yang mencerminkan dampak negatif dari ketergantungan pada konten populer. Gejala kognitifnya mencakup keterbatasan dalam mengingat hal-hal penting namun mudah mengingat konten hiburan.
Secara sosial, seseorang mungkin canggung dalam interaksi langsung tetapi mahir dalam berkomunikasi daring dengan bahasa yang kasar. Secara fisik, postur tubuh mungkin terpengaruh, mata merah, dan refleks jempol saat menerima notifikasi.
Emosionalnya tergantung pada validasi daring, dengan kebahagiaan diukur dari jumlah likes dan kesedihan saat kurang mendapat perhatian. Krisis eksistensial mungkin timbul saat terputus dari koneksi internet.
Gara-Gara Algoritma?
Jika ada penjahat utama dalam cerita ini, itu bukan Gen Z—tapi algoritma media sosial. Sistem ini dirancang untuk membuat kita kecanduan, seperti dealer narkoba yang berkata, “Coba sekali aja, gratis!”
Setiap kali Anda membuka TikTok, algoritma menggosok tangan dengan licik. “Ah, dia suka video kucing. Aku akan kasih 100 video kucing lainnya—plus 10 video konspirasi bumi datar. Biar otaknya makin lembut!”
Hasilnya? Otak kita terlatih untuk menginginkan stimulasi instan. Baca artikel 5 menit? Too long! Nonton video 1 jam tentang cara mengupas pisang? Yes, please!
Masa Depan Cerah
Jika tren ini terus berlanjut, tahun 2050 akan menjadi era di mana sekolah mengajarkan “Seni Scroll Cepat” dan “Teknik Komentar Toxic 101”. Gelar sarjana akan diganti dengan sertifikat “TikTok University: Mayor dalam Dance Challenge”.
Percakapan romantis akan dilakukan melalui stiker dan GIF, di mana “Aku cinta kamu” akan diganti dengan “Klik ❤️ di bio gue ya!”. Di masa itu, manusia mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka telah kehilangan kemampuan berpikir karena semua orang sibuk mengejar validasi virtual.
Beberapa mungkin berpikir, “Pinter buat apa? Lihat tuh Einstein, mati muda. Gue mau hidup lama sambil nonton orang joget!”
Solusi? Hahaha… Lucu Sekali!
Para pakar menyarankan untuk membatasi waktu menggunakan layar, membaca buku, dan berolahraga. Namun, generasi saat ini mungkin sulit untuk melakukan digital detox karena hanya bisa bertahan 10 menit tanpa ponsel sebelum merasa panik.
Banyak dari mereka tidak tertarik membaca buku karena dianggap mirip dengan Instagram tanpa gambar dan membutuhkan waktu yang lama.
Sementara untuk berolahraga, ada yang lebih memilih menonton video orang lain berlari sambil makan keripik daripada melakukannya sendiri. Solusi yang diusulkan oleh Generasi Z adalah “C”.
Selamat Tinggal, Otak!
Pada akhirnya, Brain Rot bukanlah masalah—ini adalah pilihan. Pilihan untuk menukar kecerdasan dengan hiburan instan, kedalaman dengan viralitas, dan kemanusiaan dengan emoji.
Tapi siapa peduli? Di dunia di mana kebahagiaan diukur dari jumlah followers, menjadi bego adalah harga yang pantas dibayar. Jadi, teruskan scroll-mu, wahai pejuang Brain Rot! Teruslah menari di atas kuburan otakmu sendiri.
Siapa tahu, suatu hari nanti, otak yang membusuk ini akan jadi pupuk untuk menumbuhkan generasi yang lebih parah lagi.
Salam hangat,
PS: Jika Anda membaca artikel ini sampai selesai, selamat! Otak Anda belum sepenuhnya busuk. Tapi tenang—masih ada waktu untuk menonton TikTok 8 jam sehari!