Indonesia, negeri yang terletak di antara dua samudera dan dua benua, seakan tidak pernah lepas dari pengaruh cuaca. Setiap tahun, kita mengalami pergantian musim kemarau dan musim hujan yang kadang tidak menentu. Tapi tahukah Anda, bahwa ada dua fenomena alam yang bisa memperparah kondisi cuaca di Indonesia? Ya, mereka adalah El Nino dan La Nina.
El Nino dan La Nina adalah dua fase dari El Nino–Osilasi Selatan (ENSO), sebuah siklus perubahan suhu muka laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur. El Nino terjadi ketika SML di wilayah tersebut meningkat di atas normal, sedangkan La Nina terjadi ketika SML menurun di bawah normal. Kedua fenomena ini bisa berlangsung selama beberapa bulan hingga lebih dari satu tahun, dan berdampak pada pola angin, tekanan udara, dan curah hujan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
El Nino: Musim Kemarau yang Panjang dan Kering
El Nino, yang dalam bahasa Spanyol berarti “anak laki-laki” atau “anak kecil”, adalah fenomena yang menyebabkan panas di Indonesia. El Nino terjadi karena angin pasat yang biasanya bertiup dari timur ke barat di sepanjang Pasifik khatulistiwa melemah atau berbalik arah. Akibatnya, massa air hangat yang biasanya terkumpul di Pasifik barat (dekat Indonesia) terdorong ke Pasifik timur (dekat Amerika Selatan). Hal ini membuat air dingin dari kedalaman laut naik ke permukaan di Pasifik barat, dan mengurangi pertumbuhan awan di wilayah tersebut.
Dampak El Nino bagi Indonesia adalah kekeringan, kekurangan air bersih, gagal panen, serta kebakaran hutan dan lahan. El Nino juga bisa menyebabkan anomali cuaca, seperti banjir dan badai hebat di beberapa daerah. Menurut BMKG, El Nino biasanya terjadi setiap dua hingga tujuh tahun sekali, dan puncaknya bisa terjadi pada bulan Desember. El Nino terakhir yang melanda Indonesia terjadi pada tahun 2023, dan merupakan salah satu yang terkuat dalam sejarah.
La Nina: Musim Hujan yang Lebih Basah dan Banjir
La Nina, yang dalam bahasa Spanyol berarti “anak perempuan” atau “putri”, adalah fenomena yang menyebabkan dingin atau basah di Indonesia. La Nina terjadi karena angin pasat yang biasanya bertiup dari timur ke barat di sepanjang Pasifik khatulistiwa menjadi lebih kuat dari biasanya. Akibatnya, massa air hangat yang biasanya terkumpul di Pasifik barat (dekat Indonesia) menjadi lebih banyak dan lebih tebal. Hal ini membuat air dingin dari kedalaman laut turun ke bawah di Pasifik timur, dan meningkatkan pertumbuhan awan di Pasifik barat.
Dampak La Nina bagi Indonesia adalah peningkatan curah hujan, banjir, tanah longsor, serta penyakit menular. La Nina juga bisa menyebabkan anomali cuaca, seperti kekeringan dan gelombang panas di beberapa daerah. Menurut BMKG, La Nina biasanya terjadi setiap tiga hingga lima tahun sekali, dan puncaknya bisa terjadi pada bulan Januari. La Nina terakhir yang melanda Indonesia terjadi pada tahun 2021, dan merupakan salah satu yang terlama dalam sejarah.
Indonesia: Siapkah Menghadapi Dua Fenomena Cuaca Ekstrem?
Indonesia, sebagai negara yang rentan terhadap dampak El Nino dan La Nina, harus siap menghadapi dua fenomena cuaca ekstrem ini. Selain mempersiapkan diri secara fisik, seperti membangun infrastruktur yang tahan bencana, menyediakan cadangan pangan dan air bersih, serta meningkatkan kesehatan dan kebersihan masyarakat, Indonesia juga harus siap secara mental, seperti meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan terhadap perubahan cuaca, serta bersikap adaptif dan kooperatif dalam menghadapi tantangan yang timbul.
Selain itu, Indonesia juga harus berperan aktif dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi intensitas dan frekuensi El Nino dan La Nina. Indonesia harus mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan konservasi dan restorasi hutan, serta mengembangkan energi terbarukan dan ramah lingkungan. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya bisa mengurangi dampak negatif dari El Nino dan La Nina, tetapi juga bisa memberikan kontribusi positif bagi keseimbangan iklim dunia.