Giligenting, Sumenep – PLN berhasil menjadikan pulau kecil ini sebagai laboratorium hidup terbesar di Madura. Sudah lebih dari 30 hari warga setempat menikmati paket komplit “back to nature” gratis dari PLN, lengkap dengan pemadaman listrik bergilir yang tidak pernah benar-benar bergilir karena nyatanya lebih sering mati daripada hidup.
Awalnya, PLN menjanjikan pemadaman hanya sampai 16 April. Tapi rupanya, mereka punya standar sendiri dalam menghitung hari. “Ini namanya pemadaman ekstensi bonus,” kata seorang warga sambil tertawa pahit. “Kami dikasih waktu lebih lama untuk benar-benar menghayati arti kegelapan.”
Proses perbaikannya sendiri adalah sebuah mahakarya birokrasi. Butuh dua minggu hanya untuk mengirim teknisi, dan ketika akhirnya datang, mereka hanya bisa menggelengkan kepala.
“Harus dibawa ke Surabaya,” kata sang teknisi tentang mesin PLTD yang rusak, seolah-olah di seluruh Madura tidak ada satu pun bengkel yang layak. Yaa mungkin memang harus dibawa ke Surabaya, sebab SDM rendah, pemerintah alpha, dan sebagainya dan sebagainya apalagi sarana dan prasarananya memang gak ada. Warga pun bertanya-tanya: apakah mesin ini harus dibawa ke Jerman untuk diperbaiki?
Dampaknya luar biasa. Puskesmas berubah menjadi rumah hantu dengan penerangan seadanya. Petugas medis kini lebih sering berdoa daripada menggunakan alat kesehatan. Jangan sampai jadi dukun ya!.
“Kami menyebutnya metode pengobatan spiritual,” canda seorang perawat dengan mata berkaca-kaca. Tower Telkomsel yang ikut tumbang membuat warga benar-benar terputus dari dunia. “Syukurlah kami masih bisa berkomunikasi dengan asap dan kentongan,” ujar seorang pemuda.
Yang paling mengagumkan adalah kesabaran warga. Mereka sudah berhasil menciptakan gaya hidup baru. Acara hajatan kini menggunakan lilin dan obor, menciptakan nuansa romantis ala abad 18. Anak-anak sekolah belajar dengan penerangan lampu minyak, seolah-olah mereka sedang mempersiapkan diri untuk ujian zaman kolonial.
Sementara itu, Kepala PLN Giligenting tetap menjadi sosok misterius. Beberapa warga bersumpah pernah melihat bayangannya, tapi kebanyakan mengira itu hanya halusinasi akibat terlalu lama hidup dalam kegelapan. “Mungkin beliau sedang melakukan tapa brata di gunung untuk mencari solusi,” ujar seorang sesepuh desa.
Di kantor PLN, semua berjalan seperti biasa. Laporan kerusakan sudah masuk, surat protes sudah menumpuk, tapi listrik tetap saja tidak kunjung menyala. “Kami sedang memproses,” begitu jawaban standar yang selalu didengar warga. Proses yang konon kabarnya membutuhkan waktu lebih lama daripada pembangunan Borobudur.
Warga Giligenting kini hanya bisa pasrah. Mereka sudah belajar banyak hal: kesabaran, ketahanan hidup, dan seni mengutuk dalam hati. Percaya saya, jika suatu saat nanti listrik benar-benar menyala, mereka mungkin justru akan kaget. “Listrik apa lagi itu?” mungkin akan menjadi pertanyaan pertama yang terlontar, seperti baru saja datang dari masa lalu.
Sementara menunggu keajaiban itu terjadi, PLN terus berinovasi. Kabarnya mereka sedang mempersiapkan program baru: “Giligenting Solar Village”, di mana warga akan sepenuhnya bergantung pada matahari. Sayangnya, sampai berita ini diturunkan, belum ada penjelasan bagaimana program ini akan berjalan di malam hari.