Narasi kelahiran Raden Ayu Potre Koneng melalui mimpi dengan Pangeran Adi Poday di Sumenep, Madura, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari khazanah budaya lokal. Namun, klaim kehamilan tanpa hubungan badan ini menantang nalar kritis untuk memisahkan antara mitos politik, warisan spiritual, dan fakta historis.
Dari perspektif teologis Islam, kelahiran tanpa ayah adalah mukjizat eksklusif Nabi Isa yang tidak mungkin terulang. Al-Quran menegaskan keunikan penciptaan Isa melalui tiupan ruh oleh Malaikat Jibril (QS. Maryam: 17-21), berbeda secara fundamental dengan narasi Potre Koneng yang digambarkan melalui mimpi erotis.
Ulama sepakat bahwa mukjizat semacam ini adalah hak prerogatif Allah yang tertutup setelah masa kenabian, sehingga klaim serupa pada tokoh lokal seperti Potre Koneng bertabrakan dengan prinsip teologis tentang finalitas kenabian.
Lebih Dekat Mitologi Hindu-Buddha daripada Teologi Islam.
Proses Islamisasi di Madura tidak sepenuhnya menghapus kepercayaan animisme dan dinamisme, melainkan mengakomodasinya ke dalam kerangka Islam. Kisah Potre Koneng mencerminkan upaya sinkretisme antara nilai Islam dan mitos pra-Islam.
Misalnya, konsep “wahyu” dalam Islam diadaptasi menjadi “mimpi gaib” sebagai medium interaksi spiritual. Namun, narasi ini mengandung paradoks: sementara Islam menekankan transendensi Tuhan, mitos Potre Koneng justru mengantropomorfisasi yang ilahi menjadi pengalaman manusiawi.
Hal ini terlihat dari penggambaran Pangeran Adi Poday sebagai figur separuh manusia-separuh roh yang mengunjungi Potre Koneng dalam mimpi erotis, sebuah bentuk personifikasi kekuatan gaib yang lebih dekat dengan mitologi Hindu-Buddha daripada teologi Islam.
Legitimasi Kekuasaan dan Sinkretisme Budaya
Legenda Potre Koneng tidak bisa dilepaskan dari konteks politik dan budaya Madura abad ke-14. Kisah ini berfungsi sebagai alat legitimasi dinasti penguasa Sumenep. Anak Potre Koneng, Jokotole, diangkat sebagai raja dengan klaim garis keturunan spiritual dari “ayah gaib”, mirip dengan mitos pendiri dinasti Jawa seperti Panembahan Senopati yang mengaku bersatu dengan Ratu Kidul.
Upaya sinkretisme dengan kisah Siti Maryam juga terlihat, tetapi terdapat perbedaan mendasar: Maryam hamil melalui intervensi ilahi yang transenden, sementara Potre Koneng digambarkan mengalami kehamilan melalui mimpi antropomorfis yang sarat nuansa erotis.
Pergeseran ini mengaburkan batas antara mukjizat ilahi dan fenomena supranatural lokal, menciptakan paradoks teologis sekaligus mengungkap strategi politik untuk mengukuhkan otoritas penguasa.
Hanya Legitimas Kekuasaan
Mitos kelahiran ajaib penguasa bukanlah hal unik di Madura. Di Filipina, kisah Malakas dan Maganda—pasangan pertama manusia yang lahir dari bambu—juga digunakan untuk legitimasi kekuasaan. Di Thailand, legenda Phra Aphaimani menceritakan pangeran yang lahir dari bunga teratai.
Persamaan pola ini menunjukkan bahwa mitos semacam ini berfungsi sebagai “cultural code” untuk menegaskan keabsahan kekuasaan melalui klaim keturunan ilahi. Namun, keunikan Potre Koneng terletak pada upaya menghubungkan narasi lokal dengan simbol-simbol Islam, seperti penggunaan istilah “Raden Ayu” yang bernuansa Jawa-Islam, meski secara kronologis tidak sesuai dengan periode hidup tokoh ini.
Dari Sudut Pandang Medis, Mustahil secara Biologis
Dari perspektif ilmu pengetahuan modern, konsep konsepsi manusia tanpa sperma secara biologis tidak mungkin. Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan:
Pembentukan zigot membutuhkan penyatuan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum). Tidak ada mekanisme alami yang memungkinkan kehamilan tanpa kontak sperma.
Meskipun secara teoritis sperma di sekitar vulva dapat menyebabkan kehamilan (1 dari 10.000 kasus), tetap membutuhkan kontak fisik sperma dengan vagina. Dalam kasus Potre Koneng, tidak ada indikasi kontak fisik sama sekali.
Kontradiksi Kronologis dan Anachronisme
Analisis historis dan antropologis mengungkap ketidakonsistensi kronologis dalam Babad Sumenep. Gelar “Raden Ayu” yang disematkan pada Potre Koneng, misalnya, baru populer pada era Mataram Islam (abad ke-16), bukan di masa hidupnya yang diklaim abad ke-14.
Pola narasi universal tentang kelahiran ajaib penguasa—seperti Romulus-Remus dalam mitologi Romawi atau Genghis Khan yang diyakini lahir dari cahaya ilahi—memperlihatkan bahwa mitos semacam ini adalah alat legitimasi politik yang lintas budaya, bukan rekaman sejarah faktual.
Dampak sosial dari pemeliharaan mitos ini pun kontradiktif. Di satu sisi, Potre Koneng diposisikan sebagai figur suci yang “hamil tanpa dosa”, tetapi di sisi lain, masyarakat Madura yang ketat dalam mengatur moralitas perempuan justru mengucilkan perempuan yang hamil di luar nikah dalam realitas sehari-hari.
Situs-situs spiritual seperti Gua Payudan dan Makam Adi Poday juga dikomodifikasi sebagai objek wisata, sering kali mengabaikan konteks historisnya demi keuntungan ekonomi.
Ambivalensi Simbolis
Dalam masyarakat Madura yang patriarkis, kisah Potre Koneng justru menawarkan narasi alternatif tentang agensi perempuan. Sebagai ratu yang lahir dari proses “gaib”, ia dianggap memiliki mandat spiritual yang setara dengan laki-laki.
Namun, ironisnya, mitos ini tidak mengubah struktur sosial yang membatasi peran perempuan. Potre Koneng tetap dikisahkan sebagai figur yang pasif—hamil karena “dikunjungi” roh laki-laki, bukan karena pilihan aktif.
Ini mencerminkan ambivalensi budaya Madura: mengagungkan perempuan secara simbolis, tetapi membatasi ruang geraknya dalam praktik.
Kisah Potre Koneng bertahan melalui tradisi lisan, yang rentan terhadap modifikasi sesuai konteks zaman. Dalam pertunjukan ludruk atau cerita rakyat Madura, narasi ini sering diperbarui dengan memasukkan unsur humor atau kritik sosial.
Misalnya, beberapa versi kontemporer menyindir praktik politik yang masih menggunakan mitos untuk legitimasi. Namun, transformasi ini juga berisiko mengaburkan akar historisnya, mengubah legenda dari alat politik menjadi sekadar hiburan.
.. ya Begitulah..
Pada akhirnya, legenda Potre Koneng harus dipahami sebagai produk akulturasi budaya yang merefleksikan dinamika kekuasaan, spiritualitas, dan identitas lokal Madura.
Kisah ini bukanlah fakta historis atau mukjizat teologis, melainkan strategi kultural untuk merekonsiliasi otoritas politik dengan nilai-nilai transenden Islam.
Dekonstruksi terhadap mitos semacam ini bukan untuk meruntuhkan warisan budaya, tetapi untuk membedakan antara narasi simbolis yang bernilai kearifan lokal dan klaim kebenaran absolut yang problematis.
Penelitian lanjutan diperlukan agar warisan budaya tidak terjebak dalam romantisasi masa lalu, tetapi menjadi cermin kritis untuk memahami kompleksitas sejarah dan masyarakat.