jlk – Pemilu 2024 telah usai. Hasilnya, pasangan Prabowo-Gibran berhasil mengalahkan pasangan Ganjar-Mahfud dengan selisih tipis. Namun, kemenangan ini tidak berlangsung mulus.
Sejumlah tuduhan kecurangan, manipulasi, dan intimidasi bermunculan dari kedua kubu. Aksi protes dan unjuk rasa pun tak terhindarkan. Apakah ini awal dari gejolak sosial politik yang akan mengguncang Indonesia?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita melihat ke belakang. Pada tahun 2011, dunia dikejutkan oleh gelombang revolusi yang melanda sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Revolusi ini dikenal dengan nama Arab Spring, yang berarti Musim Semi Arab.
Rakyat Arab bangkit melawan rezim-rezim otoriter yang telah berkuasa selama puluhan tahun. Mereka menuntut demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan.
Arab Spring dimulai dari Tunisia, yang disebut juga Revolusi Melati. Seorang pedagang buah bernama Mohammed Bouazizi membakar dirinya sendiri sebagai bentuk protes terhadap perlakuan sewenang-wenang aparat.
Aksi ini memicu kemarahan publik dan memaksa Presiden Zine El Abidine Ben Ali untuk mengundurkan diri. Revolusi Melati kemudian menyebar ke negara-negara lain seperti Mesir, Libya, Yaman, Suriah, Bahrain, dan lain-lain.
Namun, Arab Spring tidak selalu berakhir bahagia. Di beberapa negara, revolusi berubah menjadi perang saudara, kudeta militer, atau kekacauan politik.
Di Mesir, misalnya, Presiden Hosni Mubarak digulingkan oleh rakyat, tetapi kemudian digantikan oleh Presiden Mohamed Morsi dari Ikhwanul Muslimin, yang juga akhirnya digulingkan oleh militer.
Di Libya, Presiden Muammar Gaddafi tewas dibunuh oleh pemberontak, tetapi negara itu kini terpecah-belah oleh berbagai kelompok bersenjata.
Di Suriah, Presiden Bashar al-Assad masih bertahan di tengah perang saudara yang telah menewaskan ratusan ribu orang dan mengungsikan jutaan orang.
Arab Spring juga bukanlah gerakan yang murni berasal dari rakyat. Ada campur tangan dari kekuatan asing yang berkepentingan dengan sumber daya alam dan geopolitik di kawasan tersebut.
Amerika Serikat, misalnya, mendukung gerakan-gerakan pro-demokrasi melalui lembaga-lembaga seperti National Endowment for Democracy (NED) atau Freedom House.
Tujuannya adalah untuk menggulingkan pemerintah-pemerintah yang tidak bersahabat dengan kebijakan luar negerinya. Di sisi lain, Rusia dan Iran juga ikut campur untuk melindungi sekutu-sekutunya dari ancaman perubahan rezim.
Arab Spring juga memiliki kesamaan dengan fenomena yang disebut Revolusi Warna. Revolusi Warna adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan serangkaian gerakan perubahan rezim di negara-negara bekas Uni Soviet dan Balkan pada awal 2000-an. Revolusi Warna juga didukung oleh NED dan lembaga-lembaga lain yang berafiliasi dengan AS.
Tujuannya adalah untuk memperluas pengaruh NATO dan AS ke perbatasan Rusia dan China. Revolusi Warna juga menggunakan simbol-simbol seperti bunga, warna, atau tangan mengepal, serta slogan-slogan singkat yang artinya “cukup” atau “waktunya”.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita akan mengalami gejolak sosial politik seperti Arab Spring atau Revolusi Warna? Apakah kita akan menjadi saksi dari perubahan sejarah atau malah menjadi korban dari konspirasi global?
Jawabannya adalah: tergantung. Tergantung pada bagaimana kita sebagai rakyat bersikap dan bertindak. Tergantung pada bagaimana kita sebagai pemilih menggunakan hak kita dengan bijak dan bertanggung jawab.
Tergantung pada bagaimana kita sebagai warga negara mengawasi dan mengkritisi pemerintah dengan cerdas dan kritis. Tergantung pada bagaimana kita sebagai bangsa menjaga dan mempertahankan persatuan dan kesatuan kita dari segala ancaman dan gangguan.
Kita tidak perlu takut dengan gejolak sosial politik, asalkan kita mampu mengelolanya dengan baik. Kita tidak perlu khawatir dengan campur tangan asing, asalkan kita mampu menegakkan kedaulatan kita dengan kuat.
Kita tidak perlu bingung dengan pilihan kita, asalkan kita mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi kita.
Kita tidak perlu meniru Arab Spring atau Revolusi Warna, karena kita punya cara kita sendiri untuk mengubah nasib kita. Kita punya Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kita.
Kita punya semangat reformasi, demokrasi, dan keadilan sebagai motivasi kita. Kita punya potensi dan sumber daya yang luar biasa sebagai modal kita.
Kita hanya perlu berani bermimpi dan berani mewujudkan mimpi kita. Kita hanya perlu berani berjuang dan berani mengorbankan diri kita. Kita hanya perlu berani bersatu dan berani menolak perpecahan.
Kita hanya perlu berani menjadi Indonesia.