Anda Mungkin Sama, di tengah ekonomi yang tak menentu, kita muak dengan acara jagongan penguasa. Ada kantor pemerintah yang megah untuk bicara solusi penyelesaian masalah negara. Apa perlu orang luar pemerintahan? urusan apa dalam politik yang lebih penting daripada urusan rakyat?
“Saya Sudah Bosan Membuka Twitter Pagi Ini…”
Setiap kali membuka berita pagi, saya seperti terjebak dalam loop yang sama: “Menteri X berkunjung ke rumah Jokowi”, “Gubernur Y silaturahmi ke Solo”, atau “Putra Prabowo datang ke kediaman mantan presiden”. Seolah-olah seluruh pejabat negeri ini tiba-tiba jadi santri yang taat, di mana kewajiban utama setelah salat Id adalah berziarah ke rumah Jokowi.
Saya ingin bertanya: Apa betul silaturahmi Lebaran harus pakai seragam dinas? Sri Mulyani datang dengan mobil dinas Kemenkeu, Basuki Hadimuljono masih mengenakan jaket proyek IKN, sementara Luhut Binsar Pandjaitan—yang sudah pensiun—masih membawa aura “menteri bayangan”.
Jika ini murni silaturahmi, kenapa tidak sekalian pakai baju koko dan sarung? Atau jangan-jangan, di balik baju dinas itu ada dress code khusus: “Harus terlihat sibuk, tapi jangan lupa dokumentasi untuk Instagram”.
“Silaturahmi atau Silaturahmi Plus?”
Mari kita main tebak-tebakan. Apa yang bisa dibahas dalam 20 menit kunjungan Sri Mulyani ke Jokowi?
“Pak, resep sambal Ibu Iriana enak ya?”
“Gimana kabar Gibran? Sudah lancar jadi Wakil Presiden?”
“Pak, tahun depan anggaran buat proyek XYZ bisa naik nggak?”
Jawabannya? Terserah Sri Mulyani mau bilang apa. Tapi ketika pejabat yang sama—yang selama 10 tahun bekerja di bawah Jokowi—tiba-tiku wajib menyempatkan diri ke Solo setelah Lebaran, saya jadi curiga: apakah ini tradisi Lebaran atau ritual laporan tahunan?
Basuki Hadimuljono bahkan dengan polosnya berkata, “Ini pertemuan pertama sejak Oktober (Jokowi pensiun)”. Wah, berarti selama 6 bulan Basuki sengaja menghindari Jokowi? Atau mungkin dia baru sadar, “Oh iya, saya belum minta maaf sama Pak Jokowi soal proyek IKN yang molor”? kira-kira begitu jika saya tuhan dan bisa menebak isi pikiran pak Basuki.
“Jokowi, Sang Tuan Rumah yang Tak Pernah Sepi Tamu”
Rumah Jokowi di Solo kini lebih ramai dari Taman Sriwedari. Jika dulu orang datang untuk melihat keraton, sekarang mereka datang untuk melihat mantan presiden yang masih berkuasa tanpa kursi.
Ada turis biasa yang ingin swafoto, ada pejabat yang ingin swa-pengaruh, dan ada politisi yang datang sambil membawa oleh-oleh: daftar nama calon kepala daerah yang perlu di-endorse.
Bima Arya sampai menyebut ini “wisata Jokowi”. Tapi bagi saya, ini lebih mirip ziarah politik. Pejabat datang bukan untuk napak tilas, tapi untuk napak kuasa. Mereka yakin, meski Jokowi sudah tak punya jabatan, tangan-tangan tak kasatmata-nya masih bisa mengatur siapa yang naik dan turun.
Dan lucunya, Jokowi sendiri bersikap seperti pemilik warung yang buka 24 jam. Dari Oktober 2024 sampai April 2025, tamu silih berganti: mulai dari menteri, gubernur, sampai Sheikh dari UEA. Apa iya silaturahmi sama orang UEA perlu ke Solo? Apa tidak bisa lewat Zoom? “Mohon maaf lahir batin, Sheikh. Kita ketemu di Metaverse tahun depan, ya?”
“Anak Presiden Jadi Kurir, Megawati Masih Marah?”
Bagian paling absurd dari seluruh drama ini adalah kunjungan Didit Hediprasetyo, putra Prabowo, ke Jokowi dan Megawati. Bayangkan: anak presiden jadi kurir politik, mondar-mandir Solo-Jakarta seperti ojol yang lagi dikejar target.
Pertama, dia ke rumah Megawati—yang selama ini dianggap musuh politik Jokowi. Lalu, lanjut ke Solo untuk “minta maaf” ke Jokowi. Apa ini ujian akhir mata kuliah Bridge Building 101? Atau Prabowo sedang mencoba reset hubungan dengan kode: “Nak, bilang ke Pak Jokowi, Bapak mau bagi-bagi kursi menteri, asal jangan ganggu koalisi”?
Tom Pasaribu bilang ini “kedewasaan berpolitik”. Tapi bagi saya, ini lebih mirip akting para pesinden di wayang orang: semua gerakannya indah, tapi skenarionya sudah ditulis oleh dalang.
“Budaya Silaturahmi vs. Budaya Transaksional”
Di sini letak kepiawaian pejabat kita: membungkus transaksi politik dengan kertas kado bernama “silaturahmi”. Tradisi halalbihalal yang mulia tiba-tiba jadi alat untuk halal-kan segala kepentingan.
Luhut datang “untuk minta maaf”—tapi maaf apa?. Terus terang, kalau lebaran, saya hanya sempat silaturrahmi ke kerabat saja, bahkan masih banyak kerabat yang belum saya datangi. Teman dan tetangga jauh cukup lewat telepon, atau nanti diagendakan saat hari raya idul adha.
Lah, sepenting itu Jokowi, sehingga silaturrahmi politik lebih fardhu daripada silaturrahmi atasnama agama? Masih mau pakai dalih?, kalau demi agama lakukan diam-diam jangan sampai diketahui wartawan biar mereka libur dulu buat lebaran. Lagipula ngapain sih lebaran kali ini kalian nyampah di ruang publik?
Budi Arie Setiadi dari Projo bahkan bilang, “Silaturahmi biasa, tidak ada yang spesifik”. Tapi ketika dia datang ke Jokowi di Januari 2025—bulan di mana Pilkda 2024 sedang panas—apa mungkin dia hanya ngobrolin cuaca?
Bagian 6: “Jokowi, Sang Raja Jawa Versi 2.0”
Jokowi pasca-lengser adalah fenomena unik: dia seperti raja Jawa yang turun tahta, tapi tetap jadi pusat kiblat politik. Pejabat datang bukan karena dia masih presiden, tapi karena mereka yakin Jokowi masih punya password untuk membuka pintu kekuasaan.
Lihatlah fakta ini:
- Jokowi meng-endorse 84 calon kepala daerah di Pilkada 2024.
- Kunjungan pejabat ke rumahnya bertepatan dengan persiapan reshuffle kabinet.
- Prabowo—presiden petahana—mengutus anaknya untuk jembatani hubungan dengan Jokowi.
Ini bukan lagi soal silaturahmi. Ini ritual pengakuan kekuasaan. Seolah-olah para pejabat itu berkata: “Kami tetap setia, Pak. Meski kami sekarang di kabinet lain, hati kami di Solo.”
“Ketika Silaturahmi Jadi Alat Ukur Loyalitas”
Di mata Jokowi, kunjungan ini mungkin cara untuk mengukur siapa yang masih ‘loyal’. Pejabat yang datang dianggap “baik”, yang tidak datang dicap “durhaka”.
Tapi bagaimana dengan rakyat? Kita hanya bisa geleng-geleng melihat para menteri sibuk ke Solo, sementara harga cabe di pasar masih naik-turun seperti roller coaster.
Sri Mulyani hanya 20 menit di rumah Jokowi. Tapi waktu 20 menit itu cukup untuk mengalokasikan anggaran atau sekadar curhat soal kebijakan Prabowo yang bikin pusing. Sementara rakyat? Silakan antre di puskesmas atau berdebat di medsos tentang siapa yang salah.
“Kami Muak, Tapi Mau Gimana Lagi?”
Sebagai rakyat, kita hanya bisa muak—tapi muak yang pasrah. Setiap tahun, kita disuguhi drama yang sama: pejabat sibuk kejar-kejaran ke rumah mantan presiden, sambil bawa-bawa dalil silaturahmi.
Kapan kita bisa melihat silaturahmi yang benar-benar tulus? Yang tanpa kamera, tanpa catatan rahasia, tanpa agenda?
Sampai saat itu tiba, kita hanya bisa tertawa getir sambil berharap: “Mungkin tahun depan, mereka akan silaturahmi ke rumah kami. Siapa tahu kami bisa kasih masukan soal harga minyak goreng.”
Tapi, ah, itu hanya mimpi. Sementara para pejabat masih sibuk berkunjung ke Solo, kami di sini tetap menunggu, kapan giliran mereka silaturahmi ke rakyat?