Mengapa Kita Belajar Lebih Baik dari Orang yang Kita Sukai?

rasyiqi By rasyiqi - Writer, Digital Marketer
6 Min Read
woman in white long sleeve shirt kissing girl in white long sleeve shirt

jlk – Saat Anda membaca judul artikel ini, mungkin Anda merasa penasaran, skeptis, atau bahkan tertawa. Bagaimana mungkin kita belajar lebih baik dari orang yang kita sukai? Bukankah belajar itu tergantung pada kemampuan otak, motivasi, dan metode yang kita gunakan? Apa hubungannya dengan rasa suka atau tidak suka?

Ternyata, ada hubungannya. Menurut penelitian terbaru dari para ahli saraf kognitif, otak kita “diprogram” untuk belajar lebih banyak dari orang yang kita sukai – dan lebih sedikit dari orang yang kita tidak suka. Ini terbukti dalam serangkaian eksperimen yang melibatkan ingatan, pembelajaran, dan penyimpulan.

Otak, Ingatan, dan Pembelajaran

Ingatan adalah fungsi vital yang memungkinkan kita untuk belajar dari pengalaman baru dan memperbarui pengetahuan yang ada. Kita belajar baik dari pengalaman individu maupun dari menghubungkannya untuk menarik kesimpulan baru tentang dunia. Cara ini, kita dapat membuat inferensi tentang hal-hal yang tidak pernah kita alami secara langsung. Ini disebut integrasi ingatan dan membuat pembelajaran menjadi cepat dan fleksibel.

Inês Bramão, profesor asosiasi psikologi di Universitas Lund, memberikan contoh integrasi ingatan: Katakanlah Anda sedang berjalan di taman. Anda melihat seorang pria dengan seekor anjing.

- Advertisement -

Beberapa jam kemudian, Anda melihat anjing itu di kota dengan seorang wanita. Otak Anda dengan cepat membuat koneksi bahwa pria dan wanita itu adalah pasangan meskipun Anda tidak pernah melihat mereka bersama.

“Membuat inferensi seperti itu adalah adaptif dan membantu. Tetapi tentu saja, ada risiko bahwa otak kita menarik kesimpulan yang salah atau mengingat secara selektif,” kata Inês Bramão.

Untuk menguji apa yang memengaruhi kemampuan kita untuk belajar dan membuat inferensi, Inês Bramão, bersama dengan rekan-rekannya Marius Boeltzig dan Mikael Johansson, membuat eksperimen di mana peserta ditugaskan untuk mengingat dan menghubungkan berbagai objek.

Bisa jadi mangkuk, bola, sendok, gunting, atau benda sehari-hari lainnya. Ternyata, integrasi ingatan, yaitu kemampuan untuk mengingat dan menghubungkan informasi di seluruh peristiwa belajar, dipengaruhi oleh siapa yang menyajikannya.

Jika itu adalah orang yang disukai peserta, menghubungkan informasi menjadi lebih mudah dibandingkan dengan ketika informasi berasal dari orang yang tidak disukai peserta.

- Advertisement -

Peserta memberikan definisi individu tentang ‘suka’ dan ‘tidak suka’ berdasarkan aspek seperti pandangan politik, jurusan, kebiasaan makan, olahraga favorit, hobi, dan musik.

Otak, Suka, dan Tidak Suka

Temuan ini dapat diterapkan dalam kehidupan nyata, menurut para peneliti. Inês Bramão memberikan contoh hipotetis dari politik:

“Sebuah partai politik berpendapat untuk menaikkan pajak untuk menguntungkan kesehatan. Kemudian, Anda mengunjungi sebuah pusat kesehatan dan melihat ada perbaikan yang telah dilakukan. Jika Anda bersimpati dengan partai yang ingin meningkatkan kesehatan melalui kenaikan pajak, Anda cenderung mengaitkan perbaikan itu dengan kenaikan pajak, meskipun perbaikan itu mungkin memiliki penyebab yang sama sekali berbeda.”

- Advertisement -

Sudah ada banyak penelitian yang menggambarkan bahwa orang belajar informasi secara berbeda tergantung pada sumbernya dan bagaimana itu mencirikan polarisasi dan resistensi pengetahuan.

“Apa yang ditunjukkan oleh penelitian kami adalah bagaimana fenomena penting ini dapat sebagian ditelusuri kembali ke prinsip-prinsip dasar yang mengatur bagaimana ingatan kita bekerja,” kata Mikael Johansson, profesor psikologi di Universitas Lund. “

Kita lebih cenderung membentuk koneksi baru dan memperbarui pengetahuan dari informasi yang disajikan oleh kelompok yang kita sukai. Kelompok yang disukai biasanya memberikan informasi yang sesuai dengan kepercayaan dan gagasan yang sudah ada, berpotensi memperkuat sudut pandang yang terpolarisasi.”

Memahami akar polarisasi, resistensi terhadap pengetahuan baru, dan fenomena terkait dari fungsi dasar otak menawarkan wawasan yang lebih dalam tentang perilaku kompleks ini, menurut para peneliti. Jadi, ini bukan hanya tentang gelembung filter di media sosial tetapi juga tentang cara bawaan untuk menyerap informasi.

“Yang sangat mencolok adalah bahwa kita mengintegrasikan informasi secara berbeda tergantung pada siapa yang mengatakannya, bahkan ketika informasi itu benar-benar netral. Dalam kehidupan nyata, di mana informasi sering memicu reaksi yang lebih kuat, efek ini bisa lebih menonjol,” kata Mikael Johansson.

Kesimpulan

Artikel ini telah membahas bagaimana otak kita “diprogram” untuk belajar lebih banyak dari orang yang kita sukai – dan lebih sedikit dari orang yang kita tidak suka.

Ini didasarkan pada penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa integrasi ingatan, yaitu kemampuan untuk mengingat dan menghubungkan informasi di seluruh peristiwa belajar, dipengaruhi oleh sumber informasi.

Fenomena ini dapat menjelaskan sebagian mengapa kita cenderung memilih informasi yang sesuai dengan pandangan kita dan menolak informasi yang bertentangan dengan pandangan kita.

Share This Article