Mengapa Kritik Harus Disampaikan Secara Publik, Bukan Lewat Chat Personal?

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 7 Mnt
Mengapa Kritik Harus Disampaikan Secara Publik, Bukan Lewat Chat Personal? (Ilustrasi)
Mengapa Kritik Harus Disampaikan Secara Publik, Bukan Lewat Chat Personal? (Ilustrasi)

Untuk membaca tulisan di Jailangkung, berpikirlah seperti mesin tanpa melibatkan perasaan. Anda bisa kirim tulisanmu kesini, bebas tanpa sortir dan editing!

Di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang serba transparan, muncul sebuah pertanyaan yang seringkali digunakan untuk meredam kritik: “Kenapa tidak langsung chat personal saja? Apa ini cari muka?” Pertanyaan ini, yang sekilas tampak sopan dan bermaksud baik, sebenarnya menyimpan bahaya laten bagi kehidupan demokrasi kita.

Pertama-tama, kita perlu memahami hakikat kritik itu sendiri. Kritik, dalam pengertiannya yang paling dasar, adalah bentuk partisipasi warga negara dalam mengawal kebijakan publik. Ketika seorang aktivis mengkritik alih fungsi lahan, seorang akademisi mempertanyakan kurikulum pendidikan, atau seorang warga biasa menyoroti kinerja pemerintah, mereka sedang menjalankan fungsi kontrol sosial yang menjadi pilar penting demokrasi. Fungsi ini akan kehilangan maknanya jika disalurkan melalui kanal-kanal privat.

Bayangkan jika setiap kali ada masalah publik, kita diminta untuk menyelesaikannya melalui chat personal. Apa yang akan terjadi? Pertama, akan terjadi pemusatan informasi yang berbahaya. Hanya pihak-pihak tertentu yang memiliki akses ke pembuat kebijakan yang bisa menyampaikan aspirasi. Kedua, tidak ada transparansi dalam proses penyampaian dan penanganan kritik tersebut. Ketiga, masyarakat luas tidak mendapatkan kesempatan untuk belajar dari perdebatan yang terjadi. Keempat, tidak ada akuntabilitas publik terhadap respon yang diberikan oleh pihak yang dikritik.

Dalam konteks kasus yang sedang kita bahas – kritik terhadap sistem pendidikan pesantren yang dianggap tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat agraris – penyampaian kritik secara terbuka justru menunjukkan tanggung jawab moral. Penulis tidak sedang membicarakan aib pribadi seseorang, melainkan mengangkat isu sistemik yang mempengaruhi banyak pihak. Dengan menyampaikannya secara publik, penulis memberikan kesempatan kepada semua stakeholders – mulai dari pengelola pesantren, orang tua santri, petani, hingga pemerintah daerah – untuk terlibat dalam diskusi ini.

Tuduhan bahwa kritik terbuka adalah bentuk “cari muka” juga patut kita pertanyakan. Logika semacam ini seringkali digunakan sebagai senjata untuk mendelegitimasi kritik tanpa perlu membahas substansinya. Ini adalah bentuk fallacy ad hominem yang mengalihkan pembicaraan dari isu yang sebenarnya ke motif pribadi pengkritik. Padahal, dalam dunia akademik dan jurnalistik yang sehat, yang penting adalah validitas argumen, bukan motif di baliknya.

Sejarah memberikan kita banyak pelajaran berharga tentang pentingnya kritik terbuka. Gerakan reformasi 1998 tidak akan terjadi jika para aktivis dan mahasiswa memilih untuk menyampaikan aspirasi mereka melalui surat pribadi ke Presiden Soeharto. Perjuangan kemerdekaan tidak akan berhasil jika para founding fathers kita hanya berbisik-bisik tentang penjajahan. Perubahan sosial yang berarti selalu dimulai dari keberanian menyampaikan pikiran secara terbuka, meski itu tidak nyaman bagi pihak yang berkuasa.

Lalu, bagaimana dengan klaim bahwa kritik personal lebih “sopan” dan “beretika”? Ini adalah pemahaman yang keliru tentang konsep kesopanan dalam budaya kita. Dalam tradisi pesantren sendiri, kita mengenal konsep “shuhbah” atau diskusi terbuka antara kyai dan santri. Dalam tradisi intelektual Islam klasik, perdebatan sengit antara ulama-ulama besar justru menghasilkan khazanah keilmuan yang kaya. Kesopanan tidak identik dengan diam atau berbicara secara sembunyi-sembunyi, melainkan pada cara kita menyampaikan pendapat dengan argumen yang kuat dan data yang valid.

Fungsi kritik publik yang tak kalah penting adalah sebagai bahan pembelajaran bersama. Ketika sebuah kritik disampaikan secara terbuka, ia memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk: (1) memahami masalah yang sedang dihadapi, (2) mempelajari berbagai perspektif tentang masalah tersebut, (3) mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam menanggapi suatu isu, dan (4) ikut berkontribusi dalam mencari solusi. Proses pembelajaran ini akan hilang jika semua kritik disalurkan melalui jalur privat.

Dalam konteks digital saat ini, kritik terbuka juga memungkinkan terjadinya koreksi bersama. Jika ada data atau analisis yang keliru, masyarakat bisa langsung memberikan koreksi. Jika ada perspektif yang kurang lengkap, orang lain bisa melengkapinya. Ini adalah mekanisme kontrol yang sehat yang tidak akan terjadi dalam komunikasi personal.

- Advertisement -

Yang tidak kalah penting, kritik terbuka adalah bentuk perlindungan bagi pengkritik itu sendiri. Dalam banyak kasus, komunikasi personal justru lebih rentan terhadap penyalahgunaan. Pesan bisa diselewengkan, konteks bisa dipelintir, dan tidak ada saksi yang bisa memverifikasi apa yang sebenarnya terjadi. Dengan menyampaikan kritik secara terbuka, pengkritik justru melindungi dirinya dari berbagai kemungkinan manipulasi.

Tentu saja, ini tidak berarti bahwa semua jenis kritik harus disampaikan secara terbuka. Masalah-masalah pribadi yang tidak berdampak pada kepentingan publik memang lebih tepat diselesaikan melalui jalur personal. Namun ketika menyangkut kebijakan publik, sistem pendidikan, atau masalah-masalah struktural lainnya, kritik terbuka bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban moral kita sebagai warga negara.

Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi orang-orang yang mempertanyakan “kenapa tidak chat personal saja?” Pertama, kita perlu melihat apakah pertanyaan ini datang dari ketulusan atau justru sebagai upaya pembungkaman. Kedua, kita bisa menjelaskan pentingnya transparansi dalam membahas isu-isu publik. Ketiga, kita bisa mengajak mereka untuk fokus pada substansi kritik, bukan pada medium penyampaiannya.

- Advertisement -

Budaya kritik terbuka adalah indikator kesehatan demokrasi suatu masyarakat. Semakin sebuah masyarakat mampu menampung dan merespons kritik secara dewasa, semakin matang pula demokrasi di masyarakat tersebut. Sebaliknya, masyarakat yang memaksa semua kritik disampaikan secara tertutup adalah masyarakat yang sedang menuju ke arah yang tidak sehat.

Kita harus berani keluar dari mentalitas feodal yang menganggap kritik terbuka sebagai bentuk ketidaksopanan. Kita perlu membangun tradisi intelektual yang menghargai perbedaan pendapat, yang melihat kritik sebagai masukan berharga untuk perbaikan, bukan sebagai ancaman yang harus disingkirkan.

Jadi, ketika ada yang bertanya “kenapa tidak chat personal saja?”, mungkin kita bisa balik bertanya: “Kalau memang tidak ada yang salah, mengapa takut dikritik secara terbuka?” Kritik bukan tentang mencari popularitas, melainkan tentang mencari kebenaran dan keadilan.

Dan kebenaran, seperti kata pepatah, akan membuat kita merdeka – tetapi pertama-tama, ia akan membuat kita tidak nyaman. Ketidaknyamanan inilah yang justru kita butuhkan untuk tumbuh sebagai individu dan sebagai masyarakat.

Topik:
Share This Article