Menjawab Kontradiksi Logis Qadha dan Qadar

By
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
6 Min Read
silhouette photography of person
Photo by Greg Rakozy on Unsplash

Konsep Qadha dan Qadar adalah pilar utama dalam keyakinan Islam, yang sering kali menjadi bahan diskusi mendalam, baik di kalangan teolog maupun filsuf. Secara sederhana, Qadha merujuk pada ketetapan Allah yang telah ditentukan sejak zaman azali, sedangkan Qadar adalah perwujudan dari ketetapan tersebut dalam realitas kehidupan. Meskipun terkesan sederhana, pembahasan mengenai dua konsep ini menyimpan kompleksitas yang melibatkan persoalan kehendak Tuhan, kebebasan manusia, dan hubungan sebab-akibat di alam semesta.

Namun, meski penting, konsep ini sering kali dijadikan penutup diskusi atau bahkan pembenaran untuk menerima segala sesuatu tanpa kritik. Dalam esai ini, kita akan menelaah sisi filosofis dan logis dari Qadha dan Qadar, sekaligus mempertanyakan bagaimana konsep ini dapat diterapkan secara realistis dalam kehidupan manusia modern.


Qadha dan Qadar: Ketetapan yang Menyisakan Teka-Teki
Qadha secara istilah didefinisikan sebagai ketetapan Allah yang mutlak sejak awal zaman. Dengan kata lain, seluruh perjalanan hidup manusia—baik keberhasilannya maupun kegagalannya—sudah ditentukan jauh sebelum mereka lahir. Qadar, di sisi lain, adalah pelaksanaan dari ketetapan itu di dunia nyata. Jika analogi sederhana diambil, Qadha adalah “rencana besar,” sedangkan Qadar adalah pelaksanaannya di panggung kehidupan.

Masalah mulai muncul ketika kita mencoba memadukan konsep ini dengan kenyataan sehari-hari. Jika segala sesuatu sudah ditetapkan, lalu apa gunanya usaha manusia? Jika hidup ibarat sebuah film yang sudah selesai disunting, apakah kita benar-benar memiliki kebebasan untuk menentukan jalan cerita? Di sinilah kontradiksi logis mulai terlihat. Manusia diberi akal untuk berpikir dan diberi kebebasan untuk bertindak, namun kebebasan itu berada dalam lingkup yang sudah ditentukan sejak awal.


Kebebasan Manusia: Fakta atau Ilusi?

Dalam tradisi filsafat Islam, perdebatan antara kelompok Jabbariyah dan Qadariyah menjadi salah satu diskusi yang paling relevan terkait isu ini. Jabbariyah percaya bahwa manusia hanyalah pelaku pasif dalam rencana Allah. Segala sesuatu yang mereka lakukan, baik atau buruk, sepenuhnya adalah kehendak Tuhan. Sebaliknya, Qadariyah berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan penuh untuk menentukan tindakannya sendiri.

Kemudian muncul pendekatan moderat seperti Asy’ariyah, yang mencoba memadukan dua pandangan ini. Mereka menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan terbatas (ikhtiar), tetapi kebebasan ini tetap berada dalam batasan kehendak Allah. Sayangnya, pendekatan ini menciptakan dilema baru: bagaimana sesuatu bisa disebut “bebas” jika ia sebenarnya sudah “dibatasi”?

Jika manusia hanya memiliki kebebasan untuk memilih dalam lingkup yang sudah ditentukan, maka kebebasan itu tidak lebih dari ilusi. Ini seperti memberi seseorang pilihan untuk bergerak, tetapi hanya dalam ruangan sempit yang dikelilingi dinding.


Doa, Usaha, dan Perubahan Takdir

- Advertisement -

Dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam diajarkan untuk berdoa dan berusaha, dengan keyakinan bahwa hal ini dapat memengaruhi takdir mereka. Namun, konsep ini bertentangan dengan pemahaman Qadha yang absolut. Jika takdir sudah ditetapkan sejak awal, bagaimana mungkin doa atau usaha dapat mengubah sesuatu yang bersifat final? Di sisi lain, jika doa dan usaha benar-benar dapat mengubah takdir, apakah ini berarti Qadha tidak sepenuhnya mutlak?

Jawaban atas dilema ini sering kali dilemparkan kepada “rahasia ilahi.” Ulama mengatakan bahwa takdir adalah bagian dari perkara ghaib yang tidak dapat sepenuhnya dipahami oleh akal manusia. Pendekatan ini mungkin dimaksudkan untuk menjaga kesucian iman, tetapi sering kali malah menghambat eksplorasi intelektual yang sehat. Ketika logika dan keyakinan bertabrakan, jawaban “rahasia ilahi” sering menjadi tameng untuk menghindari pertanyaan sulit.


Implikasi dalam Kehidupan Manusia

- Advertisement -

Pemahaman tentang Qadha dan Qadar memiliki dampak langsung terhadap cara manusia menjalani hidup. Di satu sisi, keyakinan bahwa segala sesuatu sudah ditetapkan dapat menciptakan sikap pasrah yang berlebihan. Ketika seseorang gagal, mereka mungkin cenderung menyalahkan takdir daripada mengevaluasi diri dan memperbaiki usaha. Di sisi lain, keyakinan bahwa doa dan usaha dapat memengaruhi takdir seharusnya menjadi motivasi untuk bekerja keras. Sayangnya, kontradiksi antara teori dan realitas sering kali membuat konsep ini sulit untuk diterapkan secara konsisten.

Yang lebih memprihatinkan adalah kecenderungan sebagian orang untuk menggunakan Qadha dan Qadar sebagai pembenaran untuk tidak bertanggung jawab. Jika segalanya adalah kehendak Tuhan, apakah manusia benar-benar dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka? Pertanyaan ini, meski sering dihindari, tetap menjadi pusat perdebatan etika dan teologi.


Memahami, Bukan Menyerah
Qadha dan Qadar adalah konsep yang kompleks, yang menghubungkan kehendak mutlak Tuhan dengan kebebasan manusia. Namun, diskusi tentang keduanya sering kali berakhir pada jalan buntu, baik karena keterbatasan logika manusia maupun karena keengganan untuk mempertanyakan keyakinan tradisional. Dalam kehidupan sehari-hari, yang lebih penting adalah bagaimana manusia memaknai konsep ini secara praktis.

Alih-alih terjebak dalam perdebatan filosofis yang tidak produktif, manusia seharusnya fokus pada tanggung jawab mereka untuk berusaha dan memperbaiki diri. Apakah hasilnya sudah ditetapkan atau belum, itu adalah persoalan yang seharusnya tidak menghalangi manusia untuk menjalani hidup dengan penuh semangat dan optimisme. Iman dan logika tidak seharusnya saling bertentangan, tetapi saling melengkapi untuk membantu manusia memahami peran mereka di dunia.

Menjawab Kontradiksi Logis Qadha & Qadar  | Jailangkung.com
Share This Article