Niat Baik Kuli Berujung Jeruji

Oleh
Baca 5 Mnt
Niat Baik Berujung Jeruji, Sebuah Kisah lain, Jauh dari Ibu Kota (Ilustrasi)
Niat Baik Berujung Jeruji, Sebuah Kisah lain, Jauh dari Ibu Kota (Ilustrasi)

Untuk membaca tulisan di Jailangkung, berpikirlah seperti mesin tanpa melibatkan perasaan. Anda bisa kirim tulisanmu kesini, bebas tanpa sortir dan editing!

GAPURA, SUMENEP – Senja beranjak di Desa Gapura Tengah, membalut pekat getirnya nasib enam pasang tangan yang mengeras oleh pahitnya semen dan kerasnya batu. Ini adalah cerita kecil yang jauh dari ibu kota negara yang penuh tipu daya.

Di balik gurat lelah pada wajah H. Nidam dan lima rekannya, tersembunyi sebuah kisah yang tak hanya pilu, namun juga menyayat nalar; kisah tentang niat baik yang diempaskan ke jurang hukum, tentang kepercayaan yang dikhianati, dan tentang keadilan yang terasa begitu jauh.

Mereka, para kuli bangunan itu, datang dengan sebuah visi sederhana: mewujudkan gudang impian seorang perempuan berinisial Z, dari desa tetangga, Panagan. Bukan sekadar pekerjaan, ini adalah janji, ikatan tak tertulis yang kerap menjadi pondasi dalam dunia perkerasan material dan perniagaan kata.

Dengan keyakinan tulus, H. Nidam bahkan rela merogoh kocek pribadinya, Rp3,5 juta, untuk membeli semen dan batu, agar denyut proyek tak terhenti. Sebuah pengorbanan kecil, pikirnya, demi kelancaran dan kepercayaan yang kelak akan berbalas lunas.

Ketika Angka Berbicara, dan Janji Menguap

Namun, takdir punya selera humor yang kejam. Harapan yang sempat melambung tinggi, kini hanya menyisakan puing-puing kepedihan. Pembayaran dari Ibu Z tersendat, mengalir bagai tetesan air di padang gurun.

Angka-angka berbicara lantang: lebih dari Rp4,5 juta masih menggantung, tak terbayar. Itu bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan tumpukan tagihan yang kini mencekik leher H. Nidam di toko bangunan langganan. Lebih perih lagi, upah keringat mereka berenam, sepeser pun, belum menyentuh telapak tangan.

“Kami ini cuma kuli,” suara H. Nidam bergetar, memecah keheningan sore. Matanya, yang seharusnya memancarkan kepuasan setelah merampungkan sebuah bangunan, kini justru berkaca-kaca, memantulkan bayangan hutang dan kekecewaan. “Kami kerja siang malam, panas hujan.

Kami pakai duit pribadi dulu supaya cepat selesai. Tapi sekarang, jangankan untung, modal dan upah kami saja belum kembali.” Dalam setiap kata yang terucap, terpancar sebuah kesedihan universal para pekerja yang terpaksa menelan pil pahit ketidakadilan.

Titah “Ambil Saja”, Bumerang Hukuman

Puncak dari drama absurd ini tiba ketika kesabaran mencapai batasnya. Setelah rentetan tagihan tak berujung, Ibu Z, entah dengan kesadaran penuh atau tidak, mengeluarkan titah yang mengubah segalanya. “Ambil saja material itu lagi, tidak apa-apa,” demikian H. Nidam menirukan suara di ujung telepon. Sebuah izin, sebuah solusi, setidaknya itulah yang terlintas di benak mereka.

- Advertisement -

Dengan hati terpaksa, dan langkah gontai, H. Nidam dan rekan-rekannya mengambil kembali beberapa material bangunan yang sudah terpasang, persis sesuai dengan nilai hutang yang belum terbayar di toko bangunan. Sebuah upaya putus asa untuk menambal sebagian luka.

Namun, yang mereka kira adalah penawar, justru menjadi racun. Tak lama berselang, jerat hukum membekap. H. Nidam dan kelima rekannya dilaporkan ke Polres Sumenep, dengan tuduhan yang menyesakkan: pengeroyokan. Mereka, para pembangun itu, kini menyandang status tersangka, terancam Pasal 170 KUHP.

“Kami cuma kuli bangunan. Kami cuma minta hak kami,” lirih salah satu rekan H. Nidam, wajahnya pias, matanya menerawang jauh, seolah mencari-cari keadilan yang entah tersesat di mana. “Kami tidak pernah berniat jahat, apalagi mengeroyok. Kami cuma ambil barang yang diperintahkan diambil oleh dia sendiri, untuk menutupi hutang kami di toko material.”

- Advertisement -

Di Desa Gapura Tengah, kini ada enam pasang mata yang menatap masa depan dengan kecemasan. Mereka adalah representasi ironi: niat baik yang dipenjara, kepercayaan yang berujung duka, dan keringat yang dibalas dengan jerat hukum. Kisah H. Nidam dan rekan-rekannya adalah cermin buram tentang rapuhnya nasib para pekerja kecil di hadapan labirin hukum dan janji-janji manis yang berujung petaka.

Topik:
Share This Article