Organisasi NU berdiri kokoh bak pohon beringin tua di tengah-tengah riuhnya zaman. Bicara soal NU, entah kenapa ingatan saya langsung melayang ke sebuah teka-teki kuno: ayam dulu apa telur dulu?
Lebih baik mana, NU atau Nahdhiyinnya dulu yang sejahtera?
Sebuah pertanyaan yang, jujur saja, seringkali membuat saya garuk-garuk kepala, bukan karena gatal, tapi karena bingung antara kenyataan dan idealisme
Betapa mulianya tujuan NU. Mempertahankan Ahlussunnah wal Jama’ah katanya, menjaga tradisi keilmuan pesantren, dan tentu saja, memperjuangkan kemaslahatan umat. Ini semua terdengar seperti resume seorang pahlawan super yang siap menyelamatkan dunia.
Ada pesantren di mana-mana, madrasah berjejer, badan otonomnya bejibun sampai kadang saya lupa mana Fatayat mana Muslimat, mana Ansor mana Banser. Semuanya bekerja, berjuang, dan bergerak. Tapi, bergerak untuk apa, ya? Konon, untuk Nahdliyin. Untuk rakyat kecil yang setia ziarah kubur, tahlilan, dan tak lupa membeli kalender NU tiap tahun.
sinisme itu kadang perlu untuk menyaring kebenaran dari tumpukan bualan manis
Tapi, mari kita sesekali menjadi sedikit sinis, karena jujur, sinisme itu kadang perlu untuk menyaring kebenaran dari tumpukan bualan manis. Lihat saja para Nahdliyin itu. Banyak di antara mereka yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan mungkin di bawah tanah saking miskinnya. Rumah reot, sawah tadah hujan, pekerjaan serabutan.
Sementara itu, entah kenapa, kantor-kantor NU di kecamatan, di kota-kota dan di ibu kota provinsi mulai terlihat megah, mobil dinasnya kinclong, dan acara-acara harlahnya makin wah.
Apakah ini yang dinamakan “kesejahteraan umat”? Atau ini hanya kesejahteraan bagi mereka yang duduk di kursi empuk pengurus, sibuk rapat sana-sini, dan sesekali muncul di TV? tak lupa menikmati jatah tambang demi mashlahah.
Mungkin ini adalah konsep kesejahteraan bertingkat, di mana yang di atas sudah sejahtera duluan, baru nanti disusul yang di bawah. Sabar ya, dulur-dulur. Rezeki itu memang ada jalannya masing-masing. Jalannya dari atas walaupun jalannya kayak keong malas.
Lalu, muncul pertanyaan yang tak kalah menggelitik, kalau Nahdliyin banyak yang miskin, kok salah pemerintah? Nah, ini dia bagian yang paling seru. Seolah-olah pemerintah itu adalah satu-satunya entitas yang bertanggung jawab atas segala penderitaan di muka bumi ini.
Mereka yang duduk di Senayan atau di Istana, atau bahkan di kantor gubernur sebelah, di bupati brengsek itu adalah biang kerok utama. Kebijakan ngawur, korupsi merajalela, program tak tepat sasaran. Semuanya benar, tentu saja. Pemerintah memang seringkali blunder, kadang bahkan fatal.
Mereka punya dana triliunan tapi entah kenapa masih banyak rakyat yang teriak kelaparan. Ini bukan rahasia lagi, kan?
Tapi, mari kita bermain peran sebagai detektif. Apakah pemerintah itu bekerja sendirian di muka bumi ini? Bukankah ada organisasi masyarakat sipil raksasa seperti NU yang punya struktur sampai ke pelosok desa.
Bukankah NU punya jaringan ekonomi, koperasi, dan lembaga-lembaga pemberdayaan yang katanya sangat pro-rakyat? Kalau Nahdliyin masih miskin, apakah ini karena mereka kurang berdoa? Kurang tahlilan.
Atau jangan-jangan, program-program pemberdayaan ekonomi yang digembar-gemborkan itu hanya sebatas seminar di hotel berbintang lima, dengan narasumber berjas rapi, dan peserta yang datang sekadar mencari sertifikat untuk numpang foto di media sosial.
Saya ingat pernah mendengar cerita seorang ibu Nahdliyin di desa terpencil. Dia bertanya, “Kapan ya kami bisa merasakan ekonomi syariah yang katanya itu?” Sementara itu, di kota, para pengurus sibuk membahas indeks keberlanjutan ekonomi Islam global, atau mungkin memformulasikan konsep halal lifestyle untuk kelas menengah atas.
Ironi ini begitu menggigit, bukan? Seolah-olah ada dua dunia yang berbeda; dunia Nahdliyin yang bergelut dengan lumpur dan kemiskinan, dan dunia NU yang bergelut dengan seminar, lobi-lobi politik, dan citra.
Jangan salah paham, saya tidak mengatakan bahwa semua pengurus NU itu jahat atau korup. Tentu tidak. Pasti ada banyak orang-orang tulus yang berjuang mati-matian tanpa pamrih. Tapi anda jangan tersinggung untuk membela yang korup.
Mereka adalah “mutiara-mutiara” yang masih menjaga kehormatan NU. Tapi, bukankah dalam setiap organisasi besar, ada saja yang memanfaatkan nama besar untuk kepentingan pribadi atau kelompok?
Dan di sinilah letak kritiknya: ketika sebuah organisasi begitu besar, begitu kaya akan jaringan dan pengaruh, namun jamaah utamanya masih banyak yang terbelakang, maka ada yang salah dengan rumusnya.
Mungkin, para pengurus NU perlu sekali-sekali menengok ke bawah, bukan hanya ke samping (ke kursi menteri) atau ke atas (ke kursi presiden). Turunlah ke desa-desa, dengarkan keluhan para petani yang harga gabahnya anjlok, para buruh yang gajinya pas-pasan, atau para pedagang kecil yang kalah bersaing dengan minimarket.
Tanyakan pada mereka, apakah “kemaslahatan umat” yang diusung NU itu sudah benar-benar menyentuh hidup mereka? Atau jangan-jangan, mereka cuma jadi alat legitimasi politik lima tahunan, atau sekadar angka statistik untuk laporan pertanggungjawaban organisasi?
Dan soal menyalahkan pemerintah, ini memang klise favorit. Pemerintah memang bisa disalahkan. Mereka punya wewenang, punya anggaran. Tapi, bukankah seharusnya organisasi sebesar NU juga punya kekuatan untuk mendorong, mengadvokasi, atau bahkan menekan pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang benar-benar pro-rakyat?. Jangan tanya seberapa hebatnya nahdlatul tujjar,
Atau jangan-jangan, lobi-lobi itu lebih sering berujung pada kursi komisaris BUMN atau jabatan-jabatan strategis lainnya, bukan pada program nyata untuk pengentasan kemiskinan?
Jadi, mari kita berhenti sejenak dari retorika bombastis dan mulai bertanya: apakah NU ada demi Nahdliyin, atau Nahdliyin ada demi NU? Jika jawabannya yang pertama, maka sudah saatnya NU melakukan otokritik besar-besaran.
Lihatlah ke dalam, perbaiki yang bengkok, dan pastikan setiap rupiah dana, setiap program, dan setiap langkah politik benar-benar berujung pada Nahdliyin yang sejahtera, mandiri, dan berdaya.
Jangan sampai hanya jadi menara gading yang megah, tapi di sekelilingnya, rumput masih kering kerontang. Karena jika itu yang terjadi, maka teka-teki ayam dan telur itu akan terus menjadi misteri yang tak terpecahkan, atau mungkin, jawabannya akan jauh lebih menyakitkan dari yang kita bayangkan.
Kritik ini bukan buat anda yang sudah tepat langkahnya, seperti ini contohnya. Pasti yang gak terima, “emang mau lapor sama lu setiap apa yang NU lakukan?” hah!, Pertanyaan macam apa itu, kita perlu kepekaan.