Pak Haji! Ini Hal-Hal yang Bikin Saya Jengkel Ketika Anda Baru Pulang dari Tanah Suci

rasyiqi By rasyiqi - Writer, Digital Marketer
11 Min Read
man in white t-shirt and blue denim jeans standing on motorcycle during daytime

jlk – Naik haji adalah impian bagi banyak umat Islam di Indonesia. Menunaikan rukun Islam yang kelima ini dianggap sebagai puncak dari perjalanan spiritual seseorang.

Namun, tradisi menyambut kepulangan haji di desa-desa Indonesia sering kali menunjukkan sisi lain yang jauh dari kesederhanaan dan ketulusan.

Mari kita telaah dengan lebih kritis, bahkan dengan sudut pandang yang sedikit pedas, mengapa tradisi ini bisa menjadi problematis.

Pameran Status Sosial Berbungkus Religi

Arak-arakan dan syukuran besar-besaran sering kali menjadi ajang pamer status sosial ketimbang ungkapan syukur.

- Advertisement -

Acara yang melibatkan banyak orang, iringan musik, dan hidangan mewah ini tampak lebih sebagai cara menunjukkan kemampuan finansial daripada rasa syukur yang tulus.

Bukannya merayakan dengan khusyuk, kita malah menyaksikan parade kemewahan yang jauh dari kesan spiritual.

Jika kita jujur, arak-arakan yang melibatkan pawai dengan berbagai atribut dan kendaraan berhias seringkali menjadi kompetisi terselubung di antara keluarga haji.

Siapa yang memiliki arak-arakan paling meriah, paling banyak dihadiri orang, atau paling mewah dekorasinya?

Alih-alih menjadi momen refleksi, acara ini lebih seperti pesta kemenangan yang menyilaukan.

- Advertisement -

Kalau arak-arakannya cuma pakai bendi, nanti dianggap kurang berkelas, jadi ya harus pakai mobil dengan dekorasi ala-ala pesta pernikahan.

Tapi kalau pakai kenalpot brong? Suara bising knalpot yang menggema itu lebih mirip aksi sekelompok anak muda yang rendah literasi dan kudet pemikiran.

Bukannya tambah khusyuk, malah bikin telinga berdengung. Anak-anak yang suka trek-trekan perlu di kirim ke Plestina biar lebih berguna.

- Advertisement -

Hipokrit Kalau Menyenggol Ketulusan

Seberapa banyak dari acara syukuran ini yang benar-benar dilandasi ketulusan hati? Banyak yang melakukannya karena tekanan sosial atau sekadar mengikuti tradisi, bukan karena niat murni untuk bersyukur.

Kalau tidak ikut-ikutan membuat acara besar, nanti dibilang pelit atau tidak bersyukur. Ini jelas menodai makna sebenarnya dari syukuran yang seharusnya sederhana dan ikhlas.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari kultur masyarakat kita yang kerap menilai seseorang dari seberapa banyak mereka bisa menyelenggarakan acara besar.

Jika tidak mengikuti tradisi, mereka mungkin akan dianggap rendah atau kurang bermartabat. Bukankah ini menempatkan masyarakat pada posisi yang salah kaprah dalam menilai makna syukur yang sebenarnya?

Kompetisi Tak Berujung: Siapa yang Lebih Haji?

Pemberian gelar “Haji” atau “Hajah” kadang malah menciptakan kesan kompetisi siapa yang paling religius. Gelar ini sering dipakai untuk menaikkan pamor daripada menjadi teladan dalam beragama.

Akibatnya, orang berlomba-lomba naik haji demi gelar, bukan karena kesadaran spiritual yang mendalam. Ironisnya, setelah pulang haji, perilaku sehari-hari tetap saja, bahkan ada yang makin jumawa.

Gelar haji yang seharusnya menjadi simbol dari kesucian dan peningkatan spiritual, berubah menjadi status sosial baru.

Tidak jarang kita menemukan mereka yang baru pulang haji berubah sikap, seolah-olah gelar ini memberikan mereka hak lebih dibandingkan orang lain.

Ada yang semakin sombong, semakin merasa berhak menilai orang lain, padahal inti dari perjalanan spiritual adalah untuk menjadi lebih rendah hati.

Konsumerisme Berkedok Religi

Oleh-oleh haji sudah menjadi komoditi yang wajib. Tidak membawa zamzam atau kurma? Siap-siap dicibir. Padahal, inti dari ibadah haji adalah perjalanan spiritual, bukan belanja oleh-oleh.

Tapi sayangnya, masyarakat kita lebih peduli pada air zamzam sebotol daripada cerita dan pengalaman spiritual yang seharusnya lebih bernilai. Ini adalah bentuk konsumerisme yang terselubung dalam kemasan religi.

Fenomena oleh-oleh ini juga membuka peluang bagi mereka yang mencari keuntungan komersial. Banyak barang-barang “oleh-oleh haji” yang dijual dengan harga tinggi, padahal seringkali barang-barang tersebut bisa didapatkan dengan harga yang jauh lebih murah.

Kesakralan haji kemudian menjadi komoditas yang bisa diperdagangkan, menodai esensi sebenarnya dari ibadah yang suci ini.

Ekspektasi Berlebihan: Sekali Haji, Langsung Suci?

Ada anggapan bahwa setelah pulang haji, seseorang harus berubah menjadi super religius dan sempurna. Ekspektasi yang berlebihan ini sering kali menjadi beban psikologis yang berat.

Setelah pulang haji, orang merasa tertekan untuk selalu tampil sempurna, padahal perubahan spiritual adalah proses yang panjang dan penuh dinamika. Realitas ini sering kali terabaikan.

Ekspektasi ini juga datang dari masyarakat sekitar yang kerap menilai seseorang hanya dari gelar haji yang disandangnya.

Ketika seseorang melakukan kesalahan, mereka akan lebih cepat dihakimi dengan kata-kata “katanya sudah haji, kok begitu?” Padahal, haji adalah perjalanan yang sangat pribadi dan perubahan yang diharapkan bukanlah perubahan instan, melainkan proses yang memerlukan waktu dan dukungan.

Tekanan Sosial dan Ekonomi: Terpaksa Haji?

Tekanan untuk ikut naik haji begitu besar sampai-sampai orang merasa terpaksa. Bahkan, ada yang berhutang demi bisa naik haji hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial.

Ini bukan lagi ibadah, tapi lebih mirip investasi sosial yang mengorbankan kesejahteraan finansial keluarga. Ironisnya, setelah pulang haji, beban hutang malah bikin hidup makin sengsara.

Banyak cerita di balik layar tentang orang-orang yang harus menjual aset berharga, bahkan sampai menggadaikan rumah, demi bisa menunaikan ibadah haji.

Mereka merasa tidak punya pilihan lain karena desakan dari keluarga dan masyarakat. Setelah pulang haji, mereka kembali dihadapkan pada realitas ekonomi yang keras, dengan hutang yang menumpuk dan beban finansial yang lebih berat.

Kegaduhan yang Mengganggu: Duh, Repotnya!

Arak-arakan yang ribut dan syukuran yang memblokir jalan sering kali lebih mengganggu daripada meriah. Bukan cuma warga yang terganggu, kadang aktivitas desa juga jadi kacau balau.

Apa tidak ada cara yang lebih tertib dan menghargai ketenangan umum? Tradisi ini perlu dipikirkan ulang agar tetap bisa berjalan tanpa mengorbankan ketertiban dan kenyamanan bersama.

Bagi mereka yang tidak terlibat dalam acara, kegaduhan ini bisa sangat mengganggu. Jalanan yang biasanya lancar tiba-tiba menjadi macet, aktivitas sehari-hari terhambat, dan kebisingan yang terjadi bisa membuat pusing.

Apakah tidak ada cara yang lebih baik untuk merayakan tanpa harus mengorbankan kenyamanan dan ketenangan masyarakat sekitar?

Refleksi dan Perubahan

Meskipun tradisi menyambut orang yang baru pulang haji ini memiliki niat baik, pelaksanaannya sering kali melenceng dari esensi spiritualnya.

Alih-alih menjadi momen refleksi dan syukur, banyak yang terjebak dalam pameran sosial, tekanan ekonomi, dan ekspektasi yang tidak realistis.

Mungkin sudah saatnya kita meninjau ulang dan merombak tradisi ini agar lebih tulus, bermakna, dan tidak memberatkan.

Dengan sedikit penyesuaian, tradisi ini bisa tetap dilestarikan tanpa menimbulkan dampak negatif. Misalnya, membuat acara yang lebih sederhana dan inklusif, fokus pada nilai spiritual daripada material, serta mengurangi ekspektasi sosial yang berlebihan.

Dengan demikian, tradisi ini bisa tetap menjadi momen kebahagiaan yang tulus dan bermakna bagi semua pihak. Jadi, mari kita kembali ke niat awal: syukur yang tulus dan ibadah yang khusyuk.

Mencari Makna Sejati dari Ibadah Haji

Perjalanan haji seharusnya menjadi momen introspeksi dan peningkatan diri. Tapi sayangnya, di banyak tempat, makna sejati dari haji sering kali tertutupi oleh gemerlap acara penyambutan.

Perlu ada usaha serius untuk kembali ke esensi dari ibadah ini: mencari ridha Allah dan meningkatkan kualitas spiritual diri.

Dalam konteks ini, sangat penting untuk mengedukasi masyarakat tentang nilai-nilai spiritual yang seharusnya menjadi fokus dari perjalanan haji.

Bukan sekadar ritual, tetapi bagaimana pengalaman di tanah suci bisa diterjemahkan menjadi perubahan positif dalam kehidupan sehari-hari.

Menanamkan Nilai Ketulusan dan Kesederhanaan

Kita perlu menanamkan kembali nilai-nilai ketulusan dan kesederhanaan dalam tradisi menyambut haji. Acara syukuran bisa dilakukan dengan sederhana, cukup melibatkan keluarga dekat dan tetangga terdekat tanpa perlu pameran mewah.

Intinya adalah berbagi kebahagiaan dan keberkahan, bukan menunjukkan siapa yang lebih mampu secara finansial.

Menghilangkan tekanan sosial untuk menyelenggarakan acara besar juga akan membantu mengurangi beban finansial bagi keluarga yang baru pulang haji.

Mereka bisa lebih fokus pada pengalaman spiritual yang didapatkan, tanpa harus khawatir tentang biaya untuk acara syukuran.

Menghargai Perubahan Bertahap

Ekspektasi bahwa seseorang harus langsung menjadi sempurna setelah pulang haji perlu direvisi. Perubahan spiritual adalah proses yang panjang dan dinamis.

Masyarakat harus lebih toleran dan memahami bahwa perjalanan seseorang menuju kesempurnaan spiritual tidak bisa diukur dengan standar yang kaku.

Sebaliknya, mereka yang baru pulang haji juga perlu memahami bahwa gelar haji adalah tanggung jawab untuk terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.

Bukan berarti mereka harus langsung sempurna, tetapi setidaknya ada usaha untuk memperbaiki diri dan menjadi teladan yang baik bagi lingkungan sekitar.

Menghindari Konsumerisme Religius

Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa oleh-oleh haji bukanlah inti dari ibadah haji. Oleh-oleh hanyalah simbol kecil dari perjalanan besar yang seharusnya lebih fokus pada peningkatan spiritual.

Edukasi tentang nilai-nilai haji yang lebih dalam perlu dilakukan agar masyarakat tidak terjebak dalam konsumerisme yang berlebihan.

Ini juga termasuk mengurangi tekanan untuk membawa oleh-oleh yang mahal. Fokuslah pada pengalaman dan hikmah yang bisa dibagikan kepada keluarga dan tetangga, daripada sekadar barang-barang material yang sering kali harganya tidak sebanding dengan nilainya.

Kesimpulan

Gak ada.

Share This Article