Jika ada yang mengira bahwa kekacauan kebijakan di era Prabowo Subianto hanya disebabkan oleh para menteri yang kebablasan, maka mereka telah terjebak dalam ilusi yang sengaja dipentaskan.
Kabinet ini bukan sekadar kumpulan yes man yang salah langkah, melainkan sebuah ansambel yang dengan cerdik memainkan peran “kambing hitam” dan “pahlawan” secara bergantian.
Di balik drama plot twist kebijakan yang viral, ada simbiosis mutualisme antara sang presiden dan para menteri: satu menciptakan masalah, satu lagi membersihkan noda, sambil sama-sama tersenyum ke kamera.
Ambil contoh kasus elpiji 3 kg. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tiba-tiba melarang penjualannya, seolah-olah ingin menguji seberapa kuat mental ibu-ibu Indonesia menghadapi antrean panjang.
Tapi, siapa yang percaya bahwa seorang menteri berani mengambil keputusan sebesar itu tanpa restu atasan? Ini seperti percaya bahwa seorang OB kantor memutuskan sendiri untuk mematikan AC seluruh gedung tanpa izin bos.
Empat hari kemudian, ketika publik mulai mengumpat, Prabowo muncul dengan wajah prihatin: “Saya tidak setuju dengan kebijakan ini!” Sebuah adegan yang terlalu klise untuk disebut kebetulan. Menteri jadi tumbal, presiden jadi pahlawan.
Tapi jangan salah—para menteri ini bukan korban. Mereka bagian dari skenario badai pasti reda, di mana mereka dengan sukarela menjadi lightning rod kemarahan publik, sambil mungkin mendapat bonus poin loyalitas di mata atasan.
Pola serupa terlihat dalam kasus kenaikan PPN. Menteri Keuangan Sri Mulyani—yang selama ini dianggap hawkish dalam kebijakan fiskal—tiba-tiba mengusulkan kenaikan pajak, hanya untuk dibatalkan oleh Prabowo secepat orang membuang kupon undian yang tidak menang.
Apakah ini kebodohan kolektif? Tidak. Ini strategi terukur. Dengan membiarkan menteri mengusulkan kebijakan tak populer, pemerintah bisa mengukur seberapa besar resistensi publik. Jika responsnya lunak, kebijakan diteruskan. Jika gemuruh, presiden turun tangan.
Para menteri bukanlah pihak yang kecolongan—mereka justru aktor yang memainkan peran “penjahat” dalam sandiwara ini.
Lalu, bagaimana dengan kabinet gemuk berisi 38 menteri yang fungsinya tumpang tindih seperti pasar loak? Ini bukan kesalahan desain, melainkan desain yang disengaja. Dengan menciptakan kementerian-kementerian aspal (asli tapi palsu), pemerintah bisa membagi-bagi jabatan sebagai hadiah politik, sambil memastikan tidak ada satu pun menteri yang cukup berkuasa untuk mengganggu pusat kendali.
Kementerian Budaya dan Pendidikan Karakter, misalnya, adalah tempat parkir elegan bagi loyalis yang perlu diberi jabatan tanpa risiko mereka membuat kebijakan serius. Para menteri ini mungkin tak berkontribusi apa-apa, tapi mereka membantu menjaga ilusi bahwa pemerintah “bekerja keras” dengan membanjiri media dengan foto-foto rapat yang isinya rebutan microphone.
Saat anggaran dipangkas Rp306 triliun—termasuk dana infrastruktur yang vital—para menteri diam seribu bahasa. Bukan karena mereka takut, tapi karena mereka tahu bahwa pemotongan anggaran adalah bagian dari ritual penghematan yang hanya berlaku untuk proyek-proyek tidak seksi.
Sementara itu, dana untuk program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) mengalir deras, karena itu adalah tiket pencitraan yang bisa dibagi-bagi dalam bentuk foto Presiden menyuapi anak sekolah. Menteri-menteri terkait pasti paham, proyek infrastruktur yang terhambat tak akan membuat mereka dicoret dari jabatan, selama mereka tetap mendukung narasi “penghematan untuk rakyat”.
Di sektor energi, kontradiksi antara proyek energi terbarukan dan hilirisasi batubara bukanlah kecelakaan, melainkan cerminan dari prinsip double game kabinet ini. Menteri ESDM bisa bersuara lantang tentang dekarbonisasi di konferensi internasional, sementara di dalam negeri, anggaran batubara tetap digenjot.
Ini bukan kebodohan, tapi kalkulasi: selama kedua sisi didukung, pemerintah bisa mengklaim diri sebagai pahlawan lingkungan di mata dunia, sekaligus menjinakkan konglomerat tambang di dalam negeri. Para menteri tidak perlu konsisten—mereka hanya perlu memastikan bahwa setiap kebijakan memiliki audiensnya sendiri.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas koordinasi antarlembaga yang amburadul? Lihatlah insiden TNI AL vs Kementerian Kelautan dalam kasus pagar laut ilegal. Konflik ini bukan bukti ketidakmampuan berkomunikasi, melainkan pertunjukan good cop, bad cop yang disutradarai dengan apik.
TNI AL bertindak sebagai bad cop yang galak, sementara kementerian berperan sebagai good cop yang “membela nelayan”. Hasilnya? Publik sibuk berdebat siapa yang salah, sementara isu utamanya—penertiban tambang ilegal—kabur dalam hiruk-pikuk drama.
Apa yang dilakukan para menteri dalam semua ini? Mereka bukan korban, melainkan enabler. Mereka tahu persis bahwa kebijakan kontradiktif adalah cara untuk menjaga keseimbangan kekuasaan: memuaskan elite dengan proyek-proyek gemuk, sambil menenangkan rakyat dengan program populis.
Mereka juga paham bahwa setiap kali kebijakan mereka dibatalkan, mereka tidak kehilangan muka—justru mendapat “jaminan” bahwa posisi mereka aman selama tetap setia pada skenario besar.
Jadi, jangan tertipu oleh narasi “menteri salah, presiden benar”. Ini adalah simbiosis yang saling menguntungkan. Para menteri mendapat perlindungan politik selama mereka bersedia menjadi bintang tamu dalam drama kebijakan dadakan, sementara presiden bisa menjaga citra sebagai problem solver yang selalu siap “mendengar suara rakyat”.
Mereka semua—dari menteri hingga presiden—adalah pemain dalam teater yang sama, di mana rakyat hanya jadi penonton yang dipaksa bertepuk tangan, sambil gigit jari menunggu kebijakan berikutnya yang mungkin akan dibatalkan besok pagi.
Jadi, jika Anda berpikir kritik harus diarahkan hanya ke menteri atau hanya ke presiden, Anda telah jatuh ke dalam perangkap narasi mereka. Masalahnya bukan pada individu, melainkan pada sistem yang sengaja dirancang untuk mempertahankan kekacauan sebagai alat kontrol.
Di panggung ini, semua pemain—dari menteri hingga pimpinan tertinggi—adalah dalang sekaligus boneka. Dan selama kita sibuk memperdebatkan siapa yang lebih salah, permainan mereka akan terus berlanjut.