Perempuan dan Sebuah Cerita yang Tak Lengkap

rasyiqi By rasyiqi - Writer, Digital Marketer
7 Min Read
woman in black and white striped shirt wearing red hat

Sore. Mendung. Seperti gumpalan kesedihan. Bergerak lamat-lamat ke barat dan barangkali akan turun ke arah entah. Begitulah, tiap sore. Aku di sini. Sendiri. Atau berdua dengan senja. Tapi, kali ini tidak. Perempuan itu menemaniku. Atau, barangkali sebaliknya.

“Adakah laki-laki yang akan menerimaku, Kak?,” hanya itu kata yang terucap dari bibirnya. Lalu hening.

Kami duduk bersebelahan sembari menyaksikan burung-burung pulang ke sarang.

Aku memintanya untuk menatap senja lebih lama. Tapi, dalam matanya yang berkunang itu hanya bergambar kesedihan. Tatapannya kosong. Seakan dia tengah berbicara kepada dirinya sendiri – menjenguk peristiwa-peristiwa masa lalu.

- Advertisement -

Tangisnya pecah. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Kuberikan bahuku untuk dijadikan sandaran. Aku tahu, dia membutuhkanku lebih dari sekadar itu. Barangkali dia ingin aku mengusap air matanya kemudian bertanya; kenapa menangis? Ayo ceritakan. Atau bentuk perhatian lainnya seperti seorang sahabat yang baik. Aku lebih memilih diam dan membiarkan angin menyapu basah di pipinya, perlahan-lahan, serupa mendung itu. Mendung yang tak menumpahkan hujan, yang lamat-lamat bergerak, yang membuatku harus bersabar memandangi buramnya.

Dan, Bunga, seperti namanya, penyihir banyak kumbang. Ada sesuatu yang baru kusadari, perempuan ini lebih cantik saat menangis seperti sebuah pagi yang disiram hujan. Mhh.. hhh.. kuhela nafas panjang dan.. “Bunga..,” kulihat dia sudah selesai dengan isaknya. Kutepis pikiran tentang wajah cantiknya.

“Iya?” jawabnya.

“Sudah selesai tangismu, Bunga, tapi belum juga kamu cerita padaku,”

Matanya, mata yang sembab itu menatapku, persis seperti hujan. “Apa kau mau menerimaku apa adanya, Kak?”

- Advertisement -

Pertanyaan pertama belum aku jawab dan kali ini lebih sulit lagi. Perempuan memang aneh, sebelas bulan sebelumnya dia berkabar bahwa dia telah memiliki kekasih. Seorang pria tampan, walau aku tidak yakin ketampanannya melebihiku. Pria tampan itu dikenalkan oleh ayahnya. Pria yang saleh, baik, dan jujur, sebagaimana yang Bunga ceritakan saat itu.

“Ternyata dia bukan lelaki yang baik, Kak,” sanggahnya. Bunga memang memanggil ‘kakak’ meski umurku lebih tua hanya beberapa bulan saja. Kau tahu, Bunga adalah nama pemberianku. Dulu sekali, pertama kali kami bertemu di sebuah taman dekat kota. Kami duduk di sebuah bangku tidak jauh dari pohon yang tidak kukenali.

Sejak saat itu, aku menyadari hatiku tertuju pada Bunga. Dia telah menanamnya di lembah rasa, dan pagi hari menyiangi rumput-rumput yang masih bayi tumbuh di sekitar. Kemudian, kami tidak berhubungan selama lebih dari satu tahun dan itu waktu yang lama. Sebab dia meninggalkanku tanpa pamit atau memberi penjelasan.

- Advertisement -

Seminggu sebelumnya memang terjadi pertengkaran antara kami, sebabnya aku tidak seperti laki-laki pada umumnya. “Aku bosan,” ucapnya. Menurut kamusku sebagai lelaki, ‘bosan’ artinya dia berharap lebih dari lelaki biasa sepertiku.

Dia menyebutku laki-laki yang aneh dan monoton. Ya, aku menyadari sekaligus kutambahkan informasi lagi agar kau makin memahami persoalan putusnya hubungan kami; aku lelaki yang kampungan, jarang mandi dan sisir rambut, penampilan yang tidak pernah meningkat, cuek dan bau.

Bunga pacarku, dulu, seringkali memintaku untuk mengajaknya liburan dan seringkali pula aku menolaknya dengan kalimat ‘nanti ya dik’ hanya agar dia tetap tersenyum, dengan begitu hatiku tetap bahagia.

Hingga pada suatu saat, entah ke sekian kalinya aku mengatakan kalimat yang sama; nanti ya dik. Dia mulai bereaksi, kuakui dia cukup sabar menjawab ‘iya’ secara berulang-ulang. Hitung sendiri sejak jadian tanggal 15 Januari, kami putus tanggal 26-nya di tahun 2018.

Aku tetap tulus walau menyadari dia mulai bertele-tele seperti saat hendak makan malam, tidak sesederhana saat aku mencari warung makan demi mengisi perut yang kosong. Namun dia, bagiku perempuan yang spesial dibandingkan banyak mantan yang lainnya. Adalah dia yang mendekatiku terlebih dahulu dan kemudian mutusin aku. Betapa beruntungnya aku memilikinya.

Sialnya, selepas kepergiannya bunga yang ditanam malas dicabut dan semakin mengakar. Aku yakin dia pasti akan mencariku lagi. Lihat bagaimana dia menangis ke pundakku. Kau tahu suhu di area matanya meningkat sekitar 0,3 derajat celcius, 0,2 derajat di area hidung dan 0,46 drajat di sekitar mulut. Bahuku seperti termometer yang mengukur isak tangisnya.

“Kau tau dik, kedatanganmu membuat senja berkabut. Kau datang membawa kesedihan bahkan kau begitu angkuh meninggalkan sekepal kegalauan,” aku menghajarnya.

“Maaf,” suaranya sendu mirip potongan lagu.

“Ceritakan saja apa yang kau mau dan apa yang telah terjadi dan kenapa kau semakin cantik kalau menangis.”

Dia pun menangis lagi dan senja makin berkabut. Sebentar lagi malam, jadi tak banyak waktu untuk drama lelucon ini. Harus kupaksa dia untuk bicara lebih banyak dariku atau aku tinggalkan dia sendirian berselimut malam, dimakan burung hantu, hatinya.

“Katakan, Bunga. Sebelum segala sesuatunya selesai disini. Kau mau membuat malam datang lebih cepat?,” desakku dan kurasakan pundakku lelah. Dia tidak mau beranjak sedikitpun.

Suaranya serak-serak basah, sepertinya dia akan menangis lagi “Tidak, Kak. Maafkan aku, aku sudah tidak suci lagi,”

…….

“Semula aku menuruti keinginan ayahku untuk menerima pinangan Johan. Aku bertunangan sama dia dan.. “ tangisnya tumpah dan aku diam saja.

“aku hamil, kak.. dan dia telah meninggalkankau dua bulan kemarin, padahal hari ini seharusnya aku dan Johan menikah. Aku tahu aku salah padamu, maafkan aku,” suaranya terbata-bata dan tetap saja dia malah semakin cantik.

“Anakku yang lahir kuberi nama Sodikun”.

“Lah itu kan namaku?”

Share This Article