Cybersquatting adalah tindakan mendaftarkan nama domain yang terkait dengan nama perusahaan, merek, atau orang lain, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan atau pemerasan nama domain tersebut. Tindakan ini dapat merugikan pemilik nama asli, karena dapat menimbulkan kebingungan, penipuan, atau pelanggaran hak kekayaan intelektual.
Di Indonesia, tindakan cybersquatting belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan. Namun, ada beberapa aturan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk melindungi korban cybersquatting, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini mengatur tentang penggunaan informasi dan transaksi elektronik, termasuk nama domain. Pasal 23 UU ITE menyatakan bahwa setiap orang yang menggunakan nama domain harus memperhatikan asas kebenaran, keadilan, dan kemanfaatan. Pasal 38 UU ITE menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan nama domain yang sama atau mirip dengan nama domain orang lain, sehingga menimbulkan kerugian bagi pemilik nama domain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG). UU ini mengatur tentang perlindungan hak atas merek dan indikasi geografis, yang merupakan bagian dari hak kekayaan intelektual. Pasal 83 UU MIG menyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dan/atau penerima lisensi merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis. Pasal 100 UU MIG menyatakan bahwa penggunaan merek yang sama atau mirip dengan merek terdaftar pada nama domain, yang dapat menimbulkan kesan bahwa ada hubungan antara pemilik nama domain dengan pemilik merek terdaftar, dianggap sebagai pelanggaran hak merek. Pasal 101 UU MIG menyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menghentikan penggunaan nama domain yang melanggar hak merek, serta meminta ganti rugi dan/atau pembatalan nama domain tersebut.
- Pengelola Nama Domain Indonesia (PANDI). PANDI adalah lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan nama domain berakhiran .id di Indonesia. PANDI memiliki kebijakan dan mekanisme penyelesaian sengketa nama domain, yang dapat digunakan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan cybersquatting. PANDI menerapkan prinsip pertama datang, pertama mendaftar (first come, first served) dalam pemberian nama domain, namun juga memberikan perlindungan bagi pemilik merek terdaftar yang memiliki hak prioritas atas nama domain. PANDI juga memiliki kriteria untuk menentukan apakah suatu nama domain merupakan cybersquatting, yaitu:
- Nama domain identik atau mirip dengan merek terdaftar atau terkenal milik penggugat;
- Pemilik nama domain tidak memiliki hak atau kepentingan sah atas nama domain tersebut;
- Nama domain digunakan dengan itikad tidak baik, misalnya untuk menyesatkan konsumen, mengambil keuntungan dari reputasi merek, atau mengganggu bisnis penggugat.
Dengan adanya aturan-aturan di atas, korban cybersquatting di Indonesia memiliki beberapa pilihan untuk mendapatkan perlindungan hukum. Namun, tantangan yang dihadapi adalah masih rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hak-hak mereka terkait nama domain, serta masih kurangnya koordinasi dan sinergi antara pihak-pihak yang terkait, seperti pemerintah, PANDI, pengadilan, dan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan edukasi, sosialisasi, dan advokasi tentang perlindungan hukum terhadap tindakan cybersquatting di Indonesia.