Dalam sebuah langkah yang dianggap “revolusioner”—atau mungkin sekadar pengakuan terlambat atas kegagalan kebijakan selama puluhan tahun—Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengumumkan penghapusan kuota impor untuk barang-barang pokok.
Dengan semangat bak pahlawan super yang baru saja menemukan kenyataan pahit bahwa korupsi itu buruk, Prabowo berkoar: “Siapa yang mampu, silakan impor! Tidak perlu tunjuk-tunjuk lagi!” Seolah-olah sistem kuota yang selama ini menjadi sarang mafia impor adalah temuan alien, bukan hasil desain kebijakan pemerintah yang sama yang ia pimpin.
Dari Monopoli ke “Kebebasan” yang Masih Dipertanyakan
Prabowo, dengan retorika khas politisi yang tiba-tiba “tercerahkan”, menyatakan bahwa kuota impor telah menjadi alat bagi segelintir perusahaan “terpilih” untuk mengeruk rente.
“Enak saja, cuma perusahaan A, B, C yang boleh impor!” ujarnya, seolah lupa bahwa selama ini, para “perusahaan terpilih” itu seringkali adalah kroni-kroni partai atau keluarga elite yang sama yang menghadiri acara penggalangan dana kampanye.
Wakil Menteri Pertanian Sudaryono pun dengan gagah berseru: “Volume impor tidak lagi dimonopoli pihak tertentu!” Meski begitu, ia lupa—atau sengaja menghindar—untuk menyebut siapa sebenarnya “pihak tertentu” itu. Mungkin nama-namanya terlalu panas untuk diungkap dalam keterangan tertulis yang steril.
Penghapusan kuota ini diklaim sebagai upaya “merampingkan birokrasi”. Tapi, benarkah kebijakan ini akan mengubah sistem yang korup menjadi surga kompetisi? Atau justru mengganti monopoli lama dengan oligopoli baru—di mana hanya konglomerat bermodal besar yang sanggup bermain?
Sebab, jika sebelumnya izin impor diperjualbelikan oleh mafia kuota, kini izin itu mungkin akan dikuasai oleh perusahaan multinasional yang bisa membeli kapal kargo sekaligus.
Rakyat kecil? “Silakan impor, asal punya dana dan koneksi bank!”
Antara Membuka Keran dan Membanjiri Pasar Domestik
Prabowo juga menyoroti impor daging, seolah-olah membuka keran impor adalah solusi ajaib untuk menurunkan harga.
Tapi, di balik retorika “kebebasan”, ada ironi yang menggelitik: bagaimana mungkin kebijakan ini akan melindungi peternak lokal jika pasar dibanjiri daging impor murah? Sudaryono berusaha menenangkan dengan berkata, “Ini bukan impor besar-besaran!”
Tapi, tanpa kuota, apa yang menghalangi importir untuk membanjiri pasar selama ada permintaan? Apalagi jika “permintaan” itu direkayasa oleh kartel yang sama yang dulu menguasai kuota.
Lalu, ada klaim mulia tentang “menjaga produksi dalam negeri”. Tapi, ketika mekanisme proteksi seperti kuota dihapus, apa yang tersisa untuk melindungi petani atau peternak lokal?
Janji untuk “memprioritaskan produksi dalam negeri di sektor teknologi dan pakaian” terdengar seperti guyonan pahit. Sebab, jika sektor pangan—yang menjadi dasar ketahanan nasional—sudah dilepas ke pasar global, apa lagi yang tersisa untuk dipertahankan?
Korupsi Kuota: Musuh yang Tiba-Tiba Ditemukan
Yang paling menggelitik adalah narasi bahwa penghapusan kuota adalah “langkah anti-korupsi”. Seolah-olah para pembuat kebijakan baru saja tersadar bahwa sistem kuota adalah sarang rente—padahal laporan Tempo dan pengamat telah mengungkapnya sejak era Orde Baru.
Ini seperti mengaku menemukan api di tengah kebakaran hutan, lalu berteriak “Kita harus mematikan api!” sambil menuangkan bensin.
Prabowo mungkin layak dipuji karena berani mengakui bahwa kebijakan impor selama ini adalah circus korupsi. Tapi, alih-alih membongkar mafia yang telah mengakar, kebijakannya justru mengubah aturan tanpa menyentuh aktor-aktornya.
Mafia kuota bisa saja beralih profesi menjadi mafia logistik, sementara rakyat tetap terjepit antara harga tinggi dan kualitas rendah.
Antara Harapan dan Sindiran
Penghapusan kuota impor adalah kebijakan yang layak diapresiasi—jika memang diiringi transparansi dan penegakan hukum. Tapi, dalam bayangan sarkastik, ini terasa seperti mengganti penyakit kronis dengan plasebo.
Prabowo mungkin sedang bermimpi tentang pasar bebas yang adil, tapi tanpa regulasi yang ketat dan penindakan terhadap koruptor, kebijakan ini bisa jadi hanya ilusi deregulasi.
Akhir kata, mari bertepuk tangan untuk langkah “berani” pemerintah: menghapus kuota impor sambil berharap pasar akan mengatur dirinya sendiri.
Karena, seperti kata pepatah, “Jika kebebasan adalah jawaban, maka siapa peduli dengan pertanyaan?” Semoga petani lokal dan usaha kecil tidak menjadi tumbal dalam drama “liberalisasi” yang penuh teka-teki ini.