Program Koperasi Desa Merah Putih yang digadang-gadang sebagai solusi ajaib pemerintahan baru ini patut dicurigai sebagai upaya pemborosan anggaran negara terbesar dalam sejarah pemberdayaan desa.
Dengan rencana alokasi dana mencapai Rp240-400 triliun untuk membentuk 70.000-80.000 koperasi desa, program ini bukan hanya tidak realistis tetapi juga berpotensi menjadi bencana ekonomi struktural yang akan membebani negara selama bertahun-tahun mendatang.
Angka-angka fantastis ini seolah ingin menunjukkan keseriusan pemerintah, namun justru mengungkapkan betapa tidak pahamnya para pembuat kebijakan terhadap realitas ekonomi kerakyatan di tingkat desa.
Pertanyaan mendasar yang luput dijawab adalah: untuk apa sebenarnya program ini dibuat? Apakah benar-benar untuk memberdayakan ekonomi desa atau sekadar proyek pencitraan politik berbiaya tinggi?
Fakta bahwa program ini digulirkan dengan tergesa-gesa, ditargetkan mulai Juli 2025 hanya beberapa bulan setelah pemerintahan baru terbentuk, menunjukkan karakteristik klasik kebijakan populisme ekonomi yang lebih mementingkan pencapaian target kuantitatif daripada dampak riil terhadap masyarakat.
Ini adalah pola yang terlalu sering kita lihat dalam berbagai program pemerintah – besar dalam angka, megah dalam retorika, tetapi kosong dalam substansi.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketidaksiapan infrastruktur kelembagaan dan sumber daya manusia untuk mengelola program sebesar ini.
Data dari Kementerian Koperasi dan UKM sendiri mengungkapkan bahwa dari 127.000 koperasi aktif yang ada saat ini, hanya 34% yang berada dalam kondisi sehat. Ini adalah indikator nyata betapa buruknya pengelolaan koperasi di Indonesia selama ini.
Alih-alih memperbaiki koperasi yang sudah ada, pemerintah malah memilih untuk membuat puluhan ribu koperasi baru yang dengan sangat mungkin akan mengulangi kegagalan yang sama.
Pelajaran dari kegagalan KUD di era Orde Baru seharusnya menjadi peringatan keras. KUD yang semula dimaksudkan sebagai lembaga ekonomi mandiri berubah menjadi alat politik dan distribusi pupuk, yang akhirnya kolaps ketika dukungan politik dan anggaran pemerintah dicabut.
Kini, dengan pola pendekatan yang sama – top-down, berbasis proyek, dan sarat muatan politis – Koperasi Desa Merah Putih berjalan di atas rel yang sama menuju kegagalan. Nama “Merah Putih” yang dipaksakan justru semakin mempertegas karakter politik program ini, bukan karakter pemberdayaan ekonomi yang seharusnya.
Masalah mendasar yang sengaja diabaikan adalah ketiadaan basis sosial-ekonomi yang kuat untuk puluhan ribu koperasi baru ini. Koperasi sejati harus tumbuh organik dari bawah, lahir dari kebutuhan riil masyarakat, bukan diciptakan secara artifisial melalui instruksi dan suntikan dana pemerintah.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa koperasi yang berhasil justru bermula dari inisiatif kecil masyarakat yang kemudian berkembang karena manfaat nyata yang mereka rasakan. Bukan dari program besar-besaran yang digerakkan oleh birokrasi pusat.
Aspek teknis pengelolaan dana Rp3-5 miliar per koperasi juga menyimpan masalah serius. Di tingkat desa di mana kapasitas kelembagaan masih lemah, pengelolaan dana sebesar ini berisiko tinggi terhadap penyalahgunaan.
Mekanisme pengawasan yang dijanjikan – dengan tambahan anggaran Rp1,2 triliun untuk pengawas – tidak lebih dari ilusi birokratis. Pengalaman menunjukkan bahwa semakin besar anggaran yang dikucurkan ke daerah, semakin tinggi potensi kebocoran dan korupsi. Apalagi dengan rentang kendali yang begitu luas meliputi puluhan ribu desa.
Yang paling tragis adalah program ini justru berpotensi melemahkan inisiatif lokal yang sudah ada seperti BUMDes. Daripada memperkuat kelembagaan ekonomi desa yang sudah terbentuk, pemerintah memilih membuat struktur paralel yang akan menciptakan tumpang tindih kewenangan dan pemborosan sumber daya.
Keputusan beberapa kepala desa yang menolak program ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah bahwa yang dibutuhkan desa bukanlah program baru, tetapi penguatan terhadap institusi yang sudah ada.
Alternatif yang lebih masuk akal sebenarnya jelas: alokasikan dana triliunan rupiah itu untuk memperkuat BUMDes dan koperasi yang sudah ada, fokus pada peningkatan kapasitas pengelola, bangun sistem pendampingan yang intensif, dan ciptakan mekanisme insentif berbasis kinerja.
Namun pilihan ini tampaknya kurang menarik secara politik dibandingkan dengan gebrakan membentuk 80.000 koperasi baru yang angka-angka megahnya bisa dijadikan bahan kampanye.
Pada akhirnya, Koperasi Desa Merah Putih berpotensi menjadi monumen kegagalan kebijakan ekonomi yang paling mahal dalam sejarah Indonesia.
Program ini mengumpulkan semua faktor kegagalan: pendekatan top-down yang salah kaprah, ketidaksiapan SDM, kerangka kelembagaan yang lemah, potensi korupsi sistemik, dan yang terpenting – ketiadaan kebutuhan riil dari masyarakat sasaran.
Daripada menjadi solusi, program ini justru berisiko menjadi beban baru bagi perekonomian negara dan masyarakat desa itu sendiri.