jlk – Baru-baru ini, PBNU kembali menjadi sorotan setelah lima anggota Nahdlatul Ulama (nahdliyin) bertemu dengan Presiden Israel, Isaac Herzog.
Pertemuan yang terjadi di tengah konflik Israel-Palestina ini tidak hanya menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak, tetapi juga memaksa PBNU untuk mengeluarkan kembali surat instruksi yang melarang kerja sama dengan lembaga-lembaga berafiliasi dengan Israel.
Langkah ini tampaknya merupakan upaya “Berwudhu” dari PBNU untuk memperbaiki reputasi yang tercoreng.
Latar Belakang Kebijakan PBNU
Kebijakan PBNU yang melarang kerja sama dengan lembaga berafiliasi Israel sebenarnya bukan hal baru.
Surat instruksi terbaru yang dikeluarkan pada Juli 2024 hanya mempertegas kebijakan yang telah ada sejak era kepemimpinan KH Said Aqil Siroj pada tahun 2021.
Dalam surat tersebut, PBNU secara tegas melarang semua bentuk kerja sama dengan Institut Leimena, Institute for Global Engagement (IGE), dan American Jewish Committee (AJC) yang dianggap memiliki afiliasi dengan Israel.
Kontroversi Pertemuan Lima Nahdliyin
Nama-nama seperti Syukron Makmun, Zainul Maarif, Munawar Aziz, Nurul Bahrul Ulum, dan Izza Annafisah Dania mendadak viral setelah pertemuan mereka dengan Presiden Israel diketahui publik.
Di tengah serangan Israel ke Gaza yang menewaskan ribuan orang, pertemuan ini dianggap sangat tidak sensitif dan mencoreng nama besar PBNU.
Bahkan, Wakil Ketua Umum PBNU, H Amin Said Husni, menegaskan bahwa tindakan kelima nahdliyin tersebut adalah pelanggaran serius terhadap kebijakan organisasi.
Reaksi dan Tindakan PBNU
Menyusul kontroversi tersebut, PBNU bergerak cepat dengan memanggil lima nahdliyin yang terlibat untuk pemeriksaan.
Sekretaris Jenderal PBNU, Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, memberikan dua pilihan tegas: mengundurkan diri atau diberhentikan dari kepengurusan NU.
Langkah ini menunjukkan sikap keras PBNU dalam menjaga konsistensi kebijakan dan memperbaiki reputasi yang tercoreng.
Analisis Kebijakan dan Dampaknya
Larangan kerja sama dengan lembaga yang berafiliasi dengan Israel sebenarnya memiliki dasar yang kuat mengingat sejarah panjang konflik Israel-Palestina.
Namun, kebijakan ini juga perlu dilihat dari perspektif pragmatis. Dalam era globalisasi dan diplomasi modern, isolasi total mungkin bukan langkah paling efektif.
Tindakan PBNU yang mempertegas kembali larangan ini pasca pertemuan lima nahdliyin tampak seperti reaksi panik untuk meredam kontroversi yang sudah terlanjur membesar.
Implikasi dan Kritik
Kebijakan PBNU ini, meski didasarkan pada prinsip solidaritas dengan Palestina, juga harus dipertimbangkan dari sisi dampak jangka panjang terhadap hubungan internasional Indonesia.
Di satu sisi, kebijakan ini mungkin memperkuat posisi Indonesia di mata negara-negara Muslim. Di sisi lain, kebijakan yang terlalu kaku bisa menimbulkan hambatan dalam diplomasi dan kerjasama internasional yang lebih luas.
Sebagai organisasi besar, PBNU tentu harus berhati-hati dalam mengelola kebijakan yang bisa berdampak pada reputasi dan hubungan internasional.
Langkah tegas terhadap lima nahdliyin mungkin bisa meredakan kritik dalam jangka pendek, namun perlu strategi yang lebih matang untuk menjaga keseimbangan antara prinsip dan pragmatisme.
Penutup
Kontroversi pertemuan lima nahdliyin dengan Presiden Israel adalah ujian besar bagi PBNU. Dalam upaya “cuci muka” dan memperbaiki reputasi, PBNU harus tetap konsisten dengan kebijakan yang sudah ada namun juga perlu memperhatikan dinamika global yang terus berubah.
Ke depan, PBNU harus lebih bijak dalam mengambil langkah-langkah yang tidak hanya menjaga prinsip tetapi juga memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap organisasi dan negara.