Diskusi semacam ini yang ditayangkan di YouTube Kaifa Channel sebenarnya bagus sebagai edukasi untuk jutaan masyarakat Muslim Indonesia. Namun sayangnya malah menimbulkan kontroversi.
Ya, penonton Indonesia memang mungkin belum terbiasa dengan diskusi filosofis dan ilmiah, sehingga kolom komentar banyak dipenuhi komentar sampah — semacam makanan ringan yang tidak pernah mengenyangkan tapi terus dikonsumsi.
Eh btw ini diskusi ilmiah bukan? coba baca sampai selesai
Mari kita mulai membedah diskusi tersebut…
Dalam hal ilmu, masyarakat Muslim masih terjebak dalam dikotomi; ilmu agama dan ilmu umum. Wajar ilmu dikotak-kotakkan menjadi ilmu Islam dan ilmu non-Islam. Seperti pada banyak argumentasi yang dilontarkan oleh Pak Muhammad Nurudin (yang terlibat diskusi dengan Pak Gembul), mengkritik Barat seolah menafikan metodologi ilmiah Barat namun masih mempertahankan alam pikiran filsafat Yunani dan mensandarkan teorema ilmiahnya pada kerangka ilmu ‘Islam’. Sepertinya ada semacam cinta-benci di sini, ibarat mencela makanan junk food tapi tak bisa berhenti memesannya.
Dalam diskusinya, dia berpendapat bahwa Tuhan bisa dibuktikan secara rasional, hukum non-kontradiksi dan Tuhan itu ada, dan keberadaannya bisa kita buktikan secara ilmiah melalui hukum kausalitas. Hukum kausalitas itu, menurutnya, adalah hukum rasional bukan hukum indrawi.
Pendapatnya ini, kalau kita jelaskan lebih rinci, rasionalitas dalam logika memerlukan konsistensi, dan konsistensi ini ditegakkan oleh hukum non-kontradiksi. Jadi ketika kita menggunakan argumen rasional, kita memastikan bahwa tidak ada pernyataan yang bertentangan atau berlawanan dalam suatu argumen.
Nurudin di sini salah dalam penggunaan hukum kausalitas dalam konsep yang berkaitan dengan kejadian-kejadian fisik yang digunakan untuk menggambarkan dan memahami bagaimana suatu fenomena terjadi karena adanya suatu sebab yang dapat diamati. Ya, seperti mencoba menanam pohon di atas awan — ide bagus, tapi tidak begitu efektif di dunia nyata.
Saat hukum kausalitas digunakan pada wilayah teologis, maka harus merujuk kembali pada filsafat. Ini bukan wilayah sains (diterjemahkan sebagai ilmiah), seperti dalam argumen kosmologis tentang keberadaan Tuhan, yang dirumuskan oleh Thomas Aquinas dan para filsuf lainnya, termasuk filsuf Muslim, bahwa setiap sesuatu yang memiliki awal memerlukan suatu sebab, dan rangkaian sebab ini tidak bisa berlanjut tanpa akhir.
Maka, harus ada suatu “sebab pertama” yang tidak disebabkan oleh apapun selain dirinya sendiri (Ens Necessarium), dan sebab pertama ini adalah Tuhan.
Sepanjang argumentasinya dalam diskusi tersebut, Muhammad Nuruddin mendasarkan argumentasinya secara tepat dan itu bisa divalidasi menggunakan pendapat para filsuf Muslim sebelumnya seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina (Avicenna).
Bagaimana dengan Guru Gembul?
Guru Gembul berpendapat bahwa akidah tidak bisa diilmiahkan, karena ia bukan wilayah fisik sehingga tidak bisa dirasionalkan. Guru Gembul menggunakan definisi ilmiah modern alias pendekatan sains yang memang membutuhkan fakta empiris untuk diujikan. Guru Gembul nampaknya setuju bahwa teologi tidak ilmiah. Agaknya, bagi beliau, mencampur teologi dengan sains itu sama seperti mencoba menambal perahu bocor dengan teori gravitasi — jelas tidak cocok.
Faktanya memang sampai saat ini masih menjadi diskursus apakah teologi itu ilmiah atau tidak, sehingga ada upaya dari beberapa pihak untuk mendefinisikan ulang konsep “ilmiah” agar bisa mencakup teologi. Mungkin hal ini secara tidak langsung pernah diungkapkan oleh Nuruddin bahwa ilmiah tidak seperti saintifik yang lebih kepada topik ilmu alam yang empiris.
Namun, Guru Gembul berada di posisi bahwa teologi dan ilmu pengetahuan memiliki domain yang berbeda sehingga tidak perlu dipaksakan untuk memenuhi kriteria ilmiah yang sama. Ini seperti memaksa seseorang mengikuti lomba lari maraton di kolam renang; jelas tidak relevan dan hasilnya sudah bisa ditebak.
Dalam diskusi itu, Guru Gembul mengakui pentingnya penalaran rasional dalam memahami alam semesta dan ilmu pengetahuan. Dia menekankan bahwa rasio adalah alat penting bagi manusia untuk mengerti dunia.
Guru Gembul menyetujui pentingnya pengetahuan empiris dan rasional dalam memahami alam, namun beliau tidak setuju dengan penerapan metode ini terhadap pemahaman tentang Tuhan atau akidah. Tentang Tuhan ini maksudnya adalah tentang Dzat, yang tentunya Pak Nurudin juga sepakat adanya pembatasan pada area ini. Pak Nurudin, sebagaimana tema diskusinya, ambigu, sehingga membuat orang yang mendengar malah kebingungan, mungkin butuh peta diskusi.
Tema “Bisakah Kesahihan Akidah Islam Dibuktikan Secara Ilmiah?” ini tidak jelas dan tidak terarah. Kalau diasumsikan, seolah-olah membingkai diskusi dalam kerangka dikotomi antara iman dan ilmu pengetahuan. Padahal, dalam tradisi Islam, akidah bukan hanya sebuah klaim rasional yang bisa dibuktikan dengan metode ilmiah biasa, tetapi lebih merupakan keyakinan yang dihayati secara spiritual.
Dan di samping itu, Pak Nurudin yang berlatar belakang pendidikan di Al-Azhar, seolah-olah menghadapi musuh ateis dan orientalis (beberapa kali dia menyebut istilah itu dalam kalimatnya), padahal dia sudah berada di Indonesia. Mungkin ini upaya preventif, layaknya orang yang memakai jas hujan dalam ruangan karena khawatir hujan ideologi sekuler bakal turun kapan saja.
Pak Nurudin menyebut adanya hegemoni epistemologi kaum sekuler yang membatasi pengetahuan pada pengetahuan indrawi semata. Epistemologi ini, menurutnya, sering ditemukan di beberapa kampus Islam, di mana beberapa pelajar Muslim mengadopsi cara berpikir tersebut.
Yah, apa yang dikatakan oleh Pak Nurudin itu sudah ada sejak dulu. Dalam tradisi filsafat, termasuk filsafat Islam, rasionalitas digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep metafisik seperti Tuhan, alam semesta, dan tujuan hidup.
Sarjana seperti Ibn Sina dan Al-Ghazali sering menggunakan argumen logis dan rasional untuk membuktikan eksistensi Tuhan atau membela keyakinan agama. Oleh karena itu, dari perspektif filsafat, klaim bahwa keimanan dan akidah dapat dibuktikan secara rasional memiliki dasar yang kuat.
Dan mengkritik ilmiah Barat dengan sintesis bahwa Barat cenderung membatasi ilmiah hanya pada empiri, merupakan bentuk argumentasi yang beraliran idealisme — dan idealisme itu lebih dulu daripada aliran empirisme. Jadi, secara tidak langsung, ini seperti orang yang mengeluh tentang tren baru yang padahal sudah ada sejak lama, tapi baru saja disadarinya.
Ajaran idealisme muncul lebih dulu, dimulai dari Plato pada abad ke-4 SM. Idealisme kemudian berkembang melalui filsafat Neoplatonisme dan akhirnya diteruskan dalam bentuk idealisme transendental oleh Kant dan idealisme mutlak oleh Hegel di era modern.
Meskipun gagasan empiris sudah ada pada filsafat awal (misalnya, Aristoteles), empirisme modern baru muncul sebagai aliran filsafat yang dominan pada abad ke-17 dan 18, terutama melalui pemikiran Locke, Berkeley, dan Hume di Inggris. Filsafat inilah yang mengilhami metodologi ilmiah modern.
Jadi, saat Nurudin mengkritik keterbatasan empirisme dalam memahami aspek-aspek metafisik seperti akidah Islam dan keberadaan Tuhan, maka sebenarnya dia sedang salah alamat. Ini seperti pergi ke restoran pizza dan marah karena tidak ada sushi di menunya. Artinya kedua belah pihak menggunakan istilah “ilmiah” dengan pemahaman yang berbeda.
Salah satu pihak tampaknya menyamakan ilmiah dengan pendekatan empiris-indrawi, sementara pihak lain memperluasnya ke rasionalitas atau bukti logis yang lebih abstrak. Diskusi ini seharusnya dimulai dengan merumuskan pemahaman bersama tentang “ilmiah,” bukannya malah muter-muter dalam validitas metode empiris dibandingkan dengan metode rasional dalam membuktikan kebenaran akidah. ‘Apakah bisa dibuktikan secara ilmiah atau tidak? Maka fokus pada objek yang ingin dibuktikan.
Jawaban Guru Gembul sudah jelas, yaitu tidak bisa dibuktikan secara ilmiah karena bagi Guru Gembul, ilmiah itu terbatas pada fisik dan materi. Jadi alangkah tidak logisnya metodologi kebenaran yang bersifat skeptis, tidak mutlak, dinamis — begitulah ciri ilmiah modern — digunakan sebagai pisau pada konteks kepercayaan yang diyakini kebenarannya mutlak. Dan betapa rancunya dalil metodologi ilmiah jika keterlepasan dari empiris.
Nah, mari kita bedakan, di mana dalam pikiran Guru Gembul istilah ilmiah is science, kenapa? Karena Guru Gembul lebih sering mengonsumsi istilah non-Arab dibandingkan Pak Nurudin yang dalam pikirannya itu beda antara ilmiah (baca: Arab) dan sains.
Jadi gini, ilmiah menurut masing-masing:
Guru Gembul: Ilmiah = Sains
Pak Nurudin: Ilmiah = Bukan Science
Kalau Anda baca referensi, pastilah ilmiah ala Pak Nurudin itu adalah filsafat. Sampai di sini, saya tidak tahu bagaimana definisi sains itu sendiri menurut Pak Nurudin.
Jelaslah bahwa bagi Guru Gembul, pencampuran kategori akidah (iman) dengan ilmiah (science) yang empiris-rasional dapat menyebabkan kekeliruan dalam memahami sifat keduanya, karena iman bekerja dalam ranah yang berbeda dari metode ilmiah.
Maka sebaiknya sepakati dulu dasar-dasar epistemologi yang digunakan dalam diskusi itu sendiri. Supaya tidak terjadi ambiguitas istilah ilmiah. Minimal temanya dikaji dulu, supaya temanya pun tidak ambigu. Buktinya, dalam teologis, akidah dinilai sahih jika sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Sunnah, serta diakui oleh konsensus ulama.
Namun, dalam konteks ilmiah, kesahihan ditentukan oleh bukti empiris dan logis yang dapat diuji secara objektif. Tema ini gagal menjelaskan jenis kesahihan yang dimaksud dan bagaimana dua bentuk kesahihan ini dapat saling berkaitan. Dan ilmiah itu tidak mutlak, tak ada dalil ilmiah yang dijadikan hujjah selamanya.