Nilai tukar rupiah dalam beberapa pekan terakhir menunjukkan tren yang mencemaskan. Pada Kamis, 3 April 2025, rupiah sempat terpuruk di level Rp16.772 per dolar AS, sebelum menguat tipis ke Rp16.653 esok harinya. Fluktuasi ini tidak berdiri sendiri.
Di balik pergerakan angka-angka tersebut, tersembunyi tekanan global yang makin kompleks dan rapuhnya fondasi ekonomi nasional. Banyak pihak membandingkan kondisi saat ini dengan krisis tahun 1998 dan tekanan berat saat pandemi 2020. Namun, tekanan kali ini memiliki karakteristik baru: kombinasi faktor eksternal dan masalah struktural yang tak kunjung dibenahi.
Salah satu pemicu utama berasal dari luar negeri. Pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini mengumumkan kebijakan tarif impor yang cukup agresif—25% untuk mobil dan 32% untuk produk asal Indonesia. Kebijakan ini menjadi sinyal proteksionisme baru yang menambah beban bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dampaknya langsung terasa. Indeks dolar AS menguat tajam, sementara rupiah dan mata uang lainnya terkena tekanan hebat. Ketika arus modal global mulai bergerak kembali ke aset-aset aman seperti obligasi AS, investor pun mulai menarik diri dari pasar negara berkembang.
Tekanan ini semakin berat ketika konflik geopolitik di Timur Tengah memicu lonjakan harga minyak mentah global. Kenaikan harga sebesar 15% hanya dalam sebulan terakhir memicu kekhawatiran inflasi dan memperlebar defisit transaksi berjalan Indonesia.
Meski Indonesia tidak lagi menjadi pengimpor minyak bersih, ketergantungan industri terhadap turunan minyak tetap tinggi. Sayangnya, kenaikan harga komoditas ekspor seperti batu bara dan CPO tak banyak membantu. Struktur ekspor Indonesia yang masih bertumpu pada bahan mentah menyebabkan manfaat dari kenaikan harga tersebut hanya terasa di permukaan.
Masalah domestik pun tidak kalah pelik. Utang luar negeri Indonesia, baik milik pemerintah maupun korporasi, kini mencapai USD415 miliar. Beban pembayaran bunga dan pokoknya menyedot 38% dari total penerimaan ekspor.
Bank Indonesia harus terus menggelontorkan cadangan dolar ke pasar untuk menjaga stabilitas kurs, yang membuat cadangan devisa anjlok dari USD146 miliar menjadi hanya USD138 miliar dalam tiga bulan terakhir. Di sisi lain, ketergantungan terhadap dolar AS justru semakin dalam, ironi di tengah upaya mengurangi risiko nilai tukar.
Meski neraca perdagangan masih mencatat surplus sebesar USD2,1 miliar pada kuartal pertama 2025, neraca transaksi berjalan tetap defisit sebesar 1,8% dari PDB. Penyumbang terbesar adalah sektor logistik.
Karena pelabuhan Indonesia belum mampu melayani kapal besar, banyak eksportir terpaksa menggunakan jasa pelabuhan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Inefisiensi ini menjadi bukti nyata bahwa surplus perdagangan belum tentu mencerminkan ketahanan ekonomi secara keseluruhan.
Di sektor riil, problem lain muncul. Studi yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah tidak serta-merta memacu ekspor. Sebaliknya, ketika rupiah menguat 1%, ekspor pertanian hanya naik 0,3%. Tapi saat rupiah melemah 1%, ekspor justru turun 0,7%.
Ini mengindikasikan ketergantungan tinggi pada bahan baku impor dan rendahnya nilai tambah produk ekspor kita. Bahkan di sektor pertambangan, depresiasi rupiah nyaris tak memengaruhi kinerja saham perusahaan—menunjukkan betapa minimnya sensitivitas sektor ini terhadap pergerakan mata uang.
Upaya intervensi dari Bank Indonesia pun belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Dalam satu minggu terakhir, BI menggelontorkan USD1,6 miliar untuk mempertahankan nilai tukar rupiah, namun penguatannya hanya sekitar 0,5% dan tidak bertahan lebih dari dua hari.
Situasi ini mengingatkan pada tahun 2020, saat intervensi masif senilai USD24 miliar pun gagal membendung depresiasi hingga lebih dari 13%. Banyak ekonom menilai langkah-langkah ini sebagai pemborosan devisa tanpa menyentuh akar masalahnya.
Bank Indonesia juga mencoba menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6,25% pada April 2024. Namun langkah ini belum berhasil menarik kembali arus modal asing. Justru sejak awal tahun, pasar saham Indonesia mengalami capital outflow bersih sebesar Rp32 triliun.
Investor asing cenderung menunggu karena ketidakpastian regulasi dan lambatnya pelaksanaan reformasi fiskal. Sementara itu, kenaikan suku bunga juga membawa dampak negatif, khususnya bagi UMKM, di mana kredit bermasalah sektor ritel naik menjadi 4,2%.
Jika menoleh ke belakang, kita bisa mengambil pelajaran penting dari dua momentum sejarah. Krisis 1998 adalah akibat dari runtuhnya sistem perbankan dan utang luar negeri swasta yang tidak terkendali. Reformasi struktural besar-besaran di era Habibie, termasuk independensi BI, menjadi kunci pemulihan.
Namun tantangan tahun 2025 berbeda. Kini tekanan datang dari arah luar dan dalam secara bersamaan, serta merupakan akumulasi dari distorsi ekonomi yang berlangsung selama lebih dari dua dekade.
Kita juga tidak bisa melupakan pengalaman pandemi 2020. Saat itu, intervensi pasar oleh BI mencapai USD30 miliar, tapi rupiah tetap melemah hingga menyentuh Rp16.400 pada pertengahan 2024. Stimulus ekonomi yang terlalu fokus pada konsumsi membuat sektor produksi tetap rentan. Kini, kerentanannya kembali terkuak, saat tekanan global datang silih berganti.
Di tengah situasi ini, narasi pemerintah soal “fundamental ekonomi yang kuat” terasa makin menjauh dari kenyataan. Data menunjukkan bahwa investasi asing langsung (FDI) turun 22% secara tahunan pada kuartal pertama. Rasio utang terhadap PDB pun telah menembus 41%, angka yang secara legal dan normatif sudah berada di zona rawan.
Penguatan rupiah yang terjadi pada 4 April pun lebih karena aksi ambil untung pelaku pasar, bukan karena perbaikan nyata. Model proyeksi seperti ARIMA bahkan memperkirakan jika BI tidak menaikkan suku bunga minimal 50 basis poin lagi, nilai tukar bisa menembus Rp17.000 per dolar.
Untuk menghadapi semua ini, solusi tambal sulam tidak cukup. Indonesia butuh reformasi struktural yang serius. Studi dari Celios menyarankan agar 30% dari APBN dialokasikan untuk penguatan industri pengolahan pertanian.
Hal ini bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor gandum dan susu yang nilainya mencapai USD8 miliar setiap tahun. Prioritas anggaran perlu digeser dari megaproyek infrastruktur ke pembangunan irigasi desa, cold storage, dan infrastruktur mikro yang langsung mendukung sektor produksi.
Selain itu, Indonesia juga perlu mendiversifikasi pasar ekspor. Kerja sama perdagangan dengan negara-negara di Afrika dan Timur Tengah bisa menjadi alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada AS dan Tiongkok. Di sisi pembiayaan, pengembangan obligasi syariah dalam mata uang euro dan yuan bisa memberikan pilihan baru dalam mencari sumber dana.
Dari sisi moneter, reformasi sistem keuangan nasional juga perlu dipercepat. Implementasi sistem dual currency dan penggunaan rupiah dalam kontrak internasional bisa diperluas. Penguatan pasar derivatif seperti Bursa Berjangka Jakarta dan adopsi sistem pengelolaan nilai tukar yang lebih adaptif juga perlu menjadi prioritas.
Melihat ke depan, skenario dasar menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah kemungkinan akan berada di kisaran Rp16.500 hingga Rp17.200 per dolar AS hingga akhir tahun. Namun jika The Fed menaikkan suku bunga di atas 5,75%, risiko depresiasi akan makin besar.
Inflasi domestik pun diperkirakan bisa melonjak hingga 5,8%, apalagi jika harga BBM bersubsidi ikut naik. Tanpa reformasi nyata, Indonesia berisiko menghadapi stagflasi—pertumbuhan yang stagnan di bawah 4% dan inflasi yang tinggi di atas 6% pada 2026.
Kunci untuk keluar dari pusaran ini adalah kredibilitas kebijakan. Sejarah menunjukkan bahwa rupiah hanya bisa benar-benar kuat bila ada perbaikan menyeluruh di sektor riil, fiskal, dan moneter. Bukan sekadar intervensi pasar atau narasi optimisme.
Dalam menghadapi dunia yang makin tidak pasti, sudah saatnya Indonesia bersiap dengan strategi jangka panjang—bukan lagi bermimpi tentang kembalinya rupiah ke Rp6.500, tapi membangun ketahanan ekonomi yang sesungguhnya.
Penulis bukan pakar, kalau bermanfaat ya ambil atau buag