Surat dari Seorang Apatis Kepada Massa Aksi

Oleh
Baca 7 Mnt
Surat dari Seorang Apatis Kepada Massa Aksi (Ilustrasi)
Surat dari Seorang Apatis Kepada Massa Aksi (Ilustrasi)

Untuk membaca tulisan di Jailangkung, berpikirlah seperti mesin tanpa melibatkan perasaan. Anda bisa kirim tulisanmu kesini, bebas tanpa sortir dan editing!

Kepada kalian, para massa aksi yang masih setia berpanas-panasan,

Saya adalah seorang dari jutaan warga yang hanya bisa menonton dari balik layar. Kalian mungkin menyebut saya “apatis,” dan mungkin saya memang begitu. Saya melihat kalian turun ke jalan, berteriak, dan mengangkat spanduk dengan tulisan-tulisan yang saya sendiri sudah hafal. Kalian adalah kerumunan yang mengganggu lalu lintas, yang memecah ketenangan kota, dan yang memaksakan sebuah realitas yang tak ingin kami lihat: bahwa negara ini, pada dasarnya, sedang tidak baik-baik saja.

Dulu, saya sempat percaya bahwa setiap perjuangan akan membawa perubahan. Sekarang, saya hanya bisa memandang dengan lelah. Setiap demo, setiap janji, setiap retorika, rasanya hanya mengulang siklus yang sama. Pemimpin datang dan pergi, tapi masalah-masalahnya tetap di sini. Upah buruh, harga sembako, pendidikan, korupsi. Semuanya terasa seperti lagu lama yang diputar ulang dengan volume yang semakin memekakkan telinga.

Saya ingat, beberapa tahun lalu, saya juga sempat ikut. Saya pernah berteriak tentang korupsi yang tak kunjung padam, tentang kebijakan yang tak memihak rakyat kecil, tentang ketidakadilan yang terasa begitu nyata. Tapi lalu apa? Perjuangan itu terasa seperti memukul tembok. Tuntutan kami dijawab dengan kekerasan atau, yang lebih menyakitkan, dengan keheningan. Janji-janji yang diucapkan hilang begitu saja setelah demonstrasi selesai. Kekalahan demi kekalahan itu perlahan-lahan mengikis semangat kami. Kami belajar untuk melindungi hati kami dari sakitnya kekecewaan. Kami memilih untuk tidak peduli, karena peduli terasa terlalu menyakitkan.

Itulah sebabnya, kami menjadi apatis. Kami menciptakan sebuah gelembung kenyamanan di mana kami bisa bernapas tanpa harus merasakan sesak karena amarah dan frustrasi. Kami meyakinkan diri bahwa tidak ada yang bisa kami lakukan, bahwa perjuangan itu sia-sia. Kami mengutuk dari balik layar, memposting kritik di media sosial, dan menganggap itu sudah cukup.

Namun, hari ini, saya menulis ini bukan untuk mencemooh. Saya menulis karena saya melihat sesuatu yang berbeda dalam kalian. Ada amarah yang begitu murni dan jujur, yang tidak bisa dipalsukan. Amarah itu bukan sekadar emosi sesaat, melainkan akumulasi dari kekecewaan, ketidakadilan, dan janji-janji kosong yang kalian rasakan bertahun-tahun. Amarah itu adalah pengingat bahwa ketidakadilan masih ada, bahwa janji-janji tidak pernah ditepati, dan bahwa perjuangan belum usai.

Amarah yang Membawa Harapan

Ambil contoh tuntutan para buruh. Mereka bukan hanya meminta upah yang lebih layak; mereka menuntut harkat dan martabat. Mereka menolak menjadi budak di tanah air mereka sendiri. Mereka melawan sistem outsourcing yang menggerogoti stabilitas hidup, dan kebijakan upah murah yang menjebak mereka dalam lingkaran kemiskinan. Kapan terakhir kali kita melihat perjuangan seperti itu didengarkan tanpa perlawanan? Amarah mereka adalah bahan bakar dari api perjuangan ini. Itu adalah amarah yang lahir dari perut yang lapar, dari biaya hidup yang terus melonjak, dan dari mimpi yang sulit terwujud.

Lalu ada insiden tragis yang menimpa pengemudi ojek online, Affan Kurniawan. Kematiannya bukan hanya sekadar kecelakaan. Kematiannya adalah simbol dari bagaimana nyawa rakyat biasa seringkali terasa tidak berharga di mata kekuasaan. Kematiannya adalah cermin dari arogansi yang terus-menerus ditampilkan oleh mereka yang seharusnya melindungi rakyat. Amarah yang meledak setelah kejadian itu bukanlah hanya duka, melainkan sebuah pernyataan bahwa nyawa rakyat itu berharga. Dan amarah itu menuntut pertanggungjawaban, bukan sekadar janji-janji klise.

Dan yang paling menyakitkan bagi kami yang “apatis” adalah melihat tingkah laku anggota DPR. Di saat rakyat berjuang untuk sesuap nasi, mereka menaikkan tunjangan, memberikan komentar yang meremehkan, dan menunjukkan sikap yang seolah-olah mereka adalah raja dan kami adalah budak. Kekecewaan ini tidak bisa lagi disembunyikan. Amarah kalian adalah teguran paling keras bagi mereka. Amarah kalian adalah peringatan bahwa kesabaran rakyat memiliki batasnya.

- Advertisement -

Jangan biarkan amarah itu padam.

Jika amarah itu padam, dunia ini akan kembali tenang. Tetapi ketenangan yang palsu. Ketenangan yang lahir dari kepasrahan dan ketidakpedulian. Ketenangan di mana suara rakyat dibungkam, di mana korupsi merajalela tanpa hambatan, di mana ketimpangan sosial menjadi normal. Ketenangan di mana orang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya, tanpa ada yang berani menuntut pertanggungjawaban.

Teruslah Menyala

Saya tahu, banyak yang akan mencoba meredam amarah kalian. Mereka akan menyebarkan narasi bahwa kalian adalah perusak, anarkis, atau sekadar pion politik. Mereka akan mencoba mengalihkan isu, memecah belah, dan memadamkan api yang sudah menyala. Jangan dengarkan mereka. Api ini adalah milik kalian. Ia adalah manifestasi dari kebenaran yang tidak bisa lagi ditahan.

- Advertisement -

Saya tahu, amarah bisa membakar dan menghancurkan. Tapi ia juga bisa menempa. Amarah yang kalian rasakan saat ini harus ditempa menjadi keberanian, menjadi solidaritas, menjadi tekad untuk tidak menyerah. Jadikan amarah itu sebagai kompas untuk terus bergerak maju, untuk menuntut keadilan, untuk mengingatkan bahwa kalian adalah pemilik sah dari negara ini.

Kami, yang “apatis,” mungkin tidak berdiri di samping kalian di jalanan. Tapi kami menonton. Kami mendengarkan. Kami merasakan. Dan di dalam hati kami, ada percikan api yang kalian nyalakan. Percikan yang mungkin suatu saat nanti, jika kalian terus berjuang, akan menjadi api yang menyala dan membakar ketidakpedulian kami.

Jadi, untuk saat ini, dari kejauhan, saya hanya bisa mengatakan: jangan pernah padam. Jangan biarkan api amarah itu meredup. Teruslah berteriak. Teruslah bergerak. Karena amarah yang kalian bawa adalah harapan terakhir kami.

Dengan harapan,

Seorang warga yang (mencoba) tidak lagi apatis.

Topik:
Share This Article