Tarif Trump Bisa Jadi Kesalahan Terbesar Dalam Sejarah Ekonomi

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 7 Mnt
man wearing Donald Trump mask standing in front of White House

Strategi tarif yang diterapkan oleh Donald Trump pada masa jabatan keduanya memicu perdebatan global. Banyak yang mempertanyakan efektivitas dan rasionalitas kebijakan proteksionis ini. Kebijakan tersebut menjadi bagian penting dari agenda “America First”. Tarif yang diterapkan berkisar dari 10% untuk sebagian besar impor hingga 60% untuk barang-barang dari Tiongkok.

Tujuan utamanya adalah untuk menyeimbangkan perdagangan AS, memperkuat industri domestik, serta mengatasi defisit perdagangan yang terus meningkat. Namun, analisis lebih lanjut menunjukkan adanya ketegangan antara tujuan strategis, optimisme ekonomi, dan kemungkinan kesalahan perhitungan.

Tujuan Strategis dan Dasar Merkantilis

Kebijakan tarif Trump berakar pada prinsip merkantilis. Tujuannya adalah untuk melindungi industri AS dari persaingan internasional dan mendorong relokasi produksi ke dalam negeri. Pendukung kebijakan ini berpendapat bahwa tarif dapat mengurangi proses alih daya (offshoring), khususnya di sektor baja dan otomotif. Misalnya, tarif 25% pada impor baja pada masa jabatan pertama Trump sempat mendorong produksi baja domestik.

Namun, para kritikus mengingatkan bahwa keuntungan tersebut sering kali dibayar dengan kenaikan harga bahan baku untuk sektor-sektor hilir. Sektor seperti konstruksi dan manufaktur mesin, yang mempekerjakan lebih banyak orang daripada produksi baja itu sendiri, bisa merasa dampaknya.

Penerapan tarif sebagai solusi untuk menciptakan lapangan kerja domestik tampaknya kurang realistis. Meskipun ada optimisme awal, persentase tenaga kerja di sektor manufaktur terus menurun. Faktor-faktor seperti otomatisasi dan peningkatan produktivitas, bukan tarif, yang menjadi penggerak utama dalam penurunan ini.

Mengurangi Defisit Perdagangan dan Meningkatkan Pendapatan

Trump menggunakan tarif sebagai alat untuk menekan defisit perdagangan AS, yang mencapai $1,2 triliun pada 2024. Melalui penerapan pajak impor, kebijakan ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada barang asing sekaligus menciptakan pendapatan untuk mendanai pemotongan pajak. Namun, banyak ekonom meragukan asumsi ini.

Tarif 10% diperkirakan hanya akan menghasilkan sekitar $300 miliar per tahun, yang sangat kecil dibandingkan dengan anggaran federal AS yang mencapai $6,4 triliun. Angka ini mengasumsikan volume impor tetap stabil, yang hampir mustahil terjadi di bawah kebijakan balasan perdagangan.

Laboratorium Anggaran Yale memperkirakan tarif 20% dapat mengurangi daya beli rumah tangga sebesar $3.400 hingga $4.200 per tahun karena kenaikan harga. Selain itu, tarif ini bisa memperlambat pertumbuhan PDB sebesar 0,9 hingga 1,0 poin persentase.

Kalkulasi Geopolitik dan Taktik Negosiasi

Memanfaatkan Hegemoni Ekonomi AS

Pemerintahan Trump memandang tarif sebagai alat tekanan untuk memaksa konsesi dari mitra dagang. Kebijakan ini menargetkan negara-negara yang sangat bergantung pada ekspor ke AS, seperti Tiongkok, Uni Eropa, dan anggota ASEAN. Dengan memanfaatkan ketergantungan asimetris mereka, AS mendapat keuntungan lebih dalam negosiasi.

- Advertisement -

Misalnya, ekspor Tiongkok ke AS mencapai 17% dari total ekspornya pada 2024, sementara hanya 8% ekspor AS yang ditujukan ke Tiongkok. Ketimpangan ini memberikan AS keuntungan lebih dalam negosiasi bilateral.

Namun, strategi ini berisiko memicu balasan yang lebih besar. Setelah pengumuman tarif Trump pada 2025, Uni Eropa mengancam untuk mengenakan tarif balasan sebesar $40 miliar pada ekspor pertanian AS. Sementara itu, Tiongkok mungkin membatasi pasokan mineral langka yang penting bagi industri teknologi AS.

Tantangan pada Status Dolar sebagai Mata Uang Cadangan

Strategi tarif Trump secara tak langsung menguji ketahanan status dolar sebagai mata uang cadangan global. Negara-negara asing yang menghadapi tekanan untuk mendevaluasi mata uang mereka guna mengimbangi tarif (seperti dengan menurunkan suku bunga) bisa melihat lonjakan biaya utang dalam dolar. Ini berdampak besar pada negara berkembang seperti Indonesia, yang memegang cadangan dolar sebesar $130 miliar.

- Advertisement -

Penguatan dolar dapat menurunkan inflasi barang impor, tetapi pada saat yang sama, dapat merusak daya saing ekspor AS. Ini berpotensi merugikan kebijakan yang seharusnya menyeimbangkan perdagangan.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Tekanan Inflasi dan Beban pada Konsumen

Tarif berfungsi sebagai bentuk pajak regresif yang secara tidak proporsional mempengaruhi rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah. Tarif 10% pada barang konsumsi seperti elektronik dan pakaian dapat meningkatkan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 2,1 hingga 2,6%.

Penelitian 2024 menunjukkan bahwa tarif masa jabatan pertama Trump menghabiskan sekitar $1.277 per rumah tangga AS per tahun. Keluarga berpendapatan rendah menghabiskan 2,5% lebih banyak dari pendapatan mereka untuk barang-barang yang dikenakan tarif, dibandingkan dengan 1,3% untuk keluarga berpendapatan tinggi.

Gangguan pada Rantai Pasok dan Ketidakpastian Bisnis

Perusahaan-perusahaan AS yang bergantung pada bahan baku impor menghadapi tantangan besar. Beberapa pabrik bahkan memilih untuk membayar di muka untuk impor bahan dari Tiongkok pada 2025 guna menghindari tarif, meskipun harus mengorbankan bonus karyawan untuk menutupi biaya awal.

Kekhawatiran ini mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas. 68% CFO yang disurvei oleh Fed Atlanta memperkirakan pengurangan perekrutan dan investasi akibat ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif.

Sektor otomotif menjadi contoh nyata dari tantangan ini. Tarif 25% pada kendaraan impor, yang mulai diberlakukan pada 3 April 2025, dapat meningkatkan harga mobil rata-rata sebesar $4.750. Hal ini berpotensi menurunkan penjualan sebanyak 1,5 juta unit per tahun.

Risiko Tinggi dengan Hasil yang Tidak Pasti

Strategi tarif Trump menggambarkan ketegangan antara pendekatan agresif yang terukur dan idealisme sempit. Meskipun secara teoritis sejalan dengan tujuan merkantilis untuk menyeimbangkan perdagangan, implementasinya mengabaikan keterkaitan dalam rantai pasok global, sifat regresif dari biaya konsumen, serta ketidakpastian geopolitik yang terkait dengan kebijakan ini.

Koherensi kebijakan ini semakin lemah karena bergantung pada narasi revitalisasi industri manufaktur yang sudah ketinggalan zaman dan proyeksi pendapatan yang tidak realistis. Proteksionisme sering kali memicu aksi balasan daripada memperbaharui ekonomi, seperti yang terlihat dalam sejarah tarif Smoot-Hawley pada 1930 dan perang dagang pada masa jabatan pertama Trump.

Untuk mengatasi ketimpangan perdagangan dengan lebih efektif, AS perlu mempertimbangkan pendekatan multilateral. Pendekatan ini bisa melibatkan subsidi industri terarah, koordinasi kebijakan mata uang, dan reformasi pada WTO, daripada melanjutkan retorika tarif sepihak. Tanpa perubahan tersebut, strategi Trump berisiko memperburuk inflasi dan mempercepat penurunan dominasi ekonomi AS.

Share This Article