Wisata Jokowi, Destinasi Baru untuk Menyembah Mantan Presiden dan Lupa Masalah Negeri

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 10 Mnt
Wisata Jokowi, Destinasi Baru untuk Menyembah Mantan Presiden dan Lupa Masalah Negeri (Ilustrasi)
Wisata Jokowi, Destinasi Baru untuk Menyembah Mantan Presiden dan Lupa Masalah Negeri (Ilustrasi)

Saya mewakili keresahan hati anda sebagai sok pengamat yang sudah muak dengan drama politik

Solo, kota yang dulu dikenal dengan keratonnya, batiknya, dan keceriaan warganya yang suka nanggap wayang semalam suntuk, kini punya destinasi wisata baru yang jauh lebih viral: “Wisata Jokowi”. Ya, Anda tidak salah baca.

Mantan presiden ketujuh Indonesia, Joko Widodo, kini resmi menjadi objek wisata. Bukan patungnya, bukan jasa-jasanya, tapi rumah pribadinya di Gang Kutai Utara Nomor 1. Di sini, Anda bisa mengantre berjam-jam hanya untuk berfoto di depan pagar, menikmati orkestra SMK, dan—jika beruntung—melihat sang mantan presiden melambaikan tangan seperti Putri Diana versi Jawa.

Wamendagri Bima Arya Sugiarto, dengan wajah antusias ala presenter infotainment, menyebut ini sebagai “destinasi favorit baru”. Tentu saja! Daripada repot-repot memperbaiki jalan berlubang atau mengurus bansos yang kerap hilang di tengah jalan, lebih baik promosikan antrean di depan rumah eks-presiden sebagai cultural experience. Ini bukan sekadar kunjungan biasa—ini adalah ritual politik generasi milenial: touch grass sambil touch pagar.

“Silaturahmi” atau Kecanduan Nostalgia?

Menurut Bima Arya, masyarakat berbondong-bondong ke Solo untuk “bersilaturahmi” dengan Jokowi. Tapi mari kita jujur: ini bukan silaturahmi, ini fan meeting. Bayangkan: orang rela terbang dari Medan, Makassar, atau Papua hanya untuk berdesak-desakan di gang sempit, mencoba mengintip sosok yang sudah 10 bulan tidak lagi memegang kekuasaan.

Jika dulu orang berziarah ke makam wali untuk mencari berkah, kini mereka datang ke rumah Jokowi untuk mencari… apa? Mungkin secuil aura “ke-presiden-an” yang diyakini bisa menyembuhkan stunting atau mengusir inflasi.

Tidak heran jika di depan rumah itu ada pertunjukan orkestra SMKN 8 dan sentra kuliner. Karena, tentu saja, menyantap sate kambing sambil mendengar lagu “Indonesia Pusaka” yang dimainkan dengan biola adalah cara terbaik untuk melupakan bahwa harga beras masih naik dan nelayan di Riau masih kesulitan mencari solar. Prioritas, bung!

Kemendagri: Dari Urus Daerah ke Jadi Event Organizer

Sementara Wamendagri sibuk memuji acara ini, Kemendagri sendiri sedang kepanasan mengurus retret kepala daerah di Magelang. Retret? Ya, retret. Seperti anak SMA yang perlu team building di Puncak, para bupati dan gubernur dikumpulkan untuk… entah apa. Tapi tenang, bagi kepala daerah yang ketinggalan retret, akan ada gelombang kedua. Dan bagi yang daerahnya masih sibuk hitung ulang suara pemilu (PSU), nanti bisa ikut retret versi low budget.

Bima Arya bilang, “Kegiatan akan digelar lebih sederhana.” Mungkin maksudnya: tidak ada konser JKT48 atau prasmanan seafood, cukup nasi kotak dan seminar zoom tentang “Bagaimana Menjadi Pemimpin yang Tidak Korup… Minimal 5 Tahun Pertama”.

- Advertisement -

Tapi kembali ke “Wisata Jokowi”: apa hubungannya retret kepala daerah dengan antrean di Gang Kutai? Ternyata, ini adalah contoh konkret public policy ala Indonesia: ketika pemerintah kehabisan ide mengatasi masalah riil, ubah saja masalah itu jadi atraksi turis.

Jokowi: Dari Presiden ke Disneyland Politik

Jokowi, sang mantan presiden, kini telah bertransformasi menjadi live statue ala Universal Studio. Setiap hari, ia harus menyapa pengunjung, tersenyum, dan berjabat tangan dengan warga yang mungkin tahun lalu masih memaki-maki kebijakan minyak gorengnya. Tapi inilah keajaiban demokrasi: begitu seseorang turun tahta, tiba-tiba ia menjadi legenda yang dikelilingi mitos.

“Wisata Jokowi” bukan sekadar kunjungan biasa. Ini adalah fenomena cult of personality yang dipoles dengan bumbu budaya. Ada orkestra, ada tarian tradisional, ada kuliner—semua untuk mengaburkan fakta bahwa kita sedang mengkultuskan seorang manusia biasa.

- Advertisement -

Jika dulu Soeharto punya Taman Mini, Jokowi punya Gang Kutai. Bedanya, Taman Mini dibangun dengan anggaran negara, sedangkan “Wisata Jokowi” dibiayai oleh rasa penasaran publik dan kejenuhan media.

Masyarakat? Oh, Mereka Hanya Butuh Konten Medsos

Jangan salahkan warga yang datang berbondong-bondong. Di era di mana content is king, berfoto di depan rumah mantan presiden adalah investasi feed Instagram yang tak ternilai. Caption-nya bisa bermacam-macam:

  • “Ketemu Pak Jokowi! Masih humble ya, salam-salaman sama rakyat kecil 💕”
  • “Antre 3 jam demi lihat bapak nasional. #JokowiTheGOAT”
  • “Daripada demo mahal-mahal, mending makan sate di sini sambil dengerin musik klasik. #WisataJokowi”

Tidak ada yang peduli bahwa di balik kemeriahan ini, mungkin Jokowi sendiri sedang berpikir, “Kapan ya warga bisa move on? Saya mau potong rumput nih.”

Budaya atau Distraksi? Seni sebagai Alat Pengalih Isu

Pertunjukan budaya di depan rumah Jokowi adalah sentuhan jenius. Dengan memamerkan kesenian lokal, pemerintah bisa berteriak, “Lihat! Kami peduli budaya!” sambil menghindar dari pertanyaan, “Lah, terus masalah pengangguran dan korupsi kapan diurus?”

SMKN 8 Solo yang tampil dengan orkestranya patut diacungi jempol. Tapi mari kita renungkan: apakah ini bentuk apresiasi terhadap pendidikan, atau sekadar cara untuk membuat anak-anak SMK merasa “diperhatikan” tanpa perlu membenahi kurikulum yang sudah ketinggalan zaman?

Kilas Balik: Presiden Sebelumnya Juga Jadi Objek Wisata, Kok!

Sebenarnya, Jokowi bukan yang pertama. Soekarno punya makam di Blitar yang ramai dikunjungi, meski sebagian besar pengunjung mungkin tidak tahu bedanya Pancasila dengan Panca Syarat. Gus Dur punya situs ziarah di Jombang. Bahrian (alm.) BJ Habibie jadi inspirasi tur engineering di Parepare.

Tapi “Wisata Jokowi” unik karena dipromosikan langsung oleh pemerintah. Bayangkan jika nanti setiap mantan presiden wajib menyediakan rumahnya sebagai objek wisata. SBY bisa buka coffee shop di Cikeas dengan tema “Ngopi sambil Ngebatin Demokrasi”. Megawati? Bisa jadi curator galeri lukisan bunga di rumahnya.

Tapi Apa Masalahnya Sih? Kan Tidak Merugikan…

Bagi yang bertanya, “Apa salahnya menghormati mantan pemimpin?” Jawabannya: tidak ada. Menghormati itu baik. Tapi ketika penghormatan berubah jadi ritual buta, di saat yang sama kita menutup mata pada masalah yang ia tinggalkan, ini namanya escapism.

Jokowi sendiri punya segudang kontroversi: dari UU Cipta Kerja yang diprotes, deforestasi Kalimantan, hingga janji penguatan HAM yang masih mengambang. Tapi di “Wisata Jokowi”, semua itu dihapus. Yang ada hanyalah narasi romantis: “Lihat, dia orang kecil yang sukses! Lihat, dia masih rendah hati!”

Ini seperti mengubah mantan pacar yang suka ghosting menjadi tokoh drama Korea. Manis di luar, tapi dalamnya? Better not to ask.

Pemerintah Daerah: Antara Cari Panggung dan Lupa Panggilan Tugas

Wali Kota Solo, Respati Ardi, patut dapat applause karena berhasil menciptakan destinasi wisata zero budget. Tidak perlu bangun museum atau taman tema—cukup pasang plang “Wisata Jokowi” di depan gang, lalu biarkan rasa penasaran publik bekerja.

Tapi ini pertanda berbahaya: jika kepala daerah lain meniru, kita akan punya “Wisata Anies” di Depok, “Wisata Prabowo” di Hambalang, atau “Wisata Ridwan Kamil” di Bandung dengan spot foto 360°. Ujung-ujungnya, rakyat hanya diajak jalan-jalan melihat rumah pejabat, sementara jalan menuju rumah mereka sendiri masih berlumpur.

Ketika Rakyat Diarahkan untuk Memuja, Bukan Mengkritisi

Fenomena “Wisata Jokowi” adalah cermin masyarakat yang lebih suka memuja daripada berpikir. Daripada mendebat kebijakan, lebih mudah berfoto sambil senyum. Daripada menuntut transparansi APBD, lebih asyik kulineran di depan rumah orang terkenal.

Ini bukan salah Jokowi. Ini salah sistem yang membiarkan politik menjadi tontonan, bukan tuntunan. Pemerintah dan media sama-sama profit dari fenomena ini: yang satu dapat citra pro-rakyat, yang lain dapat click.

Tapi rakyat? Mereka dapat foto untuk diunggah, lalu kembali ke rumah dengan perut kenyang dan kepala kosong.

Penutup: Nanti Kita Kembali ke Realita, atau Tambah Dalam di Lorong Nostalgia?

“Wisata Jokowi” mungkin hanya akan jadi trending topic sesaat. Tapi ia membuka pintu bagi budaya political tourism yang berbahaya: mengubah pemimpin menjadi tontonan, dan masalah negara menjadi background check yang bisa diabaikan.

Suatu hari nanti, ketika gang itu sudah sepi dan Jokowi sudah jadi nenek-kakek yang ingin pensiun dari sorakan, kita akan sadar: Kita bukan butuh destinasi wisata baru, tapi destinasi pemikiran yang lebih kritis.

Sementara itu, selamat berziarah ke Gang Kutai. Jangan lupa beli oleh-oleh kaos “I ❤️ Jokowi” dan posting di Instagram dengan filter yang membuat antrean 3 jam terlihat worth it.

#WisataJokowi #MantanPresidenBukanMantanPacar #PrioritasSementaraNegeriTerbengkalai

Payah!

Share This Article