jlk – “Bapak Republik,” bisik mereka, suara lirih di antara tumpukan buku sejarah yang berdebu. Sosoknya nyaris terkubur, terlupakan di antara nama-nama besar yang berkibar di panggung kemerdekaan.
Dialah Tan Malaka, revolusioner ulung yang mendedikasikan hidupnya untuk cita-cita Indonesia merdeka.
Kisah Tan Malaka bagaikan novel penuh petualangan dan intrik. Lahir di Sumatra Barat, ia menjelajah dunia, menimba ilmu di Belanda, dan menceburkan diri dalam pergolakan politik di Asia.
Ide-idenya radikal, bagaikan api yang membakar semangat perlawanan.
Di tanah air, ia menantang kolonialisme dengan tinta dan pena. Karyanya “Naar de Republiek Indonesia” menggelegar, menggemakan cita-cita republik yang nyaris terlupakan.
Ia berkelana dari Jawa ke Sumatera, mendirikan organisasi, dan membangkitkan kesadaran rakyat.
Namun, jalannya tak mudah. Ia diburu, dibuang, dan dibungkam. “Bapak Republik” ini terasing di tanah kelahirannya sendiri. Di mata “mereka”, ia pembangkang, ancaman bagi stabilitas.
Ironisnya, ketika kemerdekaan diraih, suaranya masih terbungkam. Ia tak sejalan dengan “mereka” yang duduk di kursi kekuasaan. Pemberontakan Madiun menjadi tragedi, menenggelamkan namanya dalam darah dan stigma.
Tan Malaka terkubur tanpa nisan, jasadnya ditelan bumi. Namanya nyaris terhapus dari sejarah. Hanya bisikan-bisikan yang tersisa, kisah tentang “Bapak Republik” yang terlupakan.
Namun, bisikan itu takkan pernah padam. Di tangan para pencari kebenaran, sejarahnya digali, diungkap kembali. Kini, perlahan tapi pasti, Tan Malaka bangkit dari kegelapan.
Dalam perdebatan di antara pujian dan cela, Tan Malaka adalah cermin bagi kita semua. Ia mengajarkan bahwa keberanian untuk berdiri atas keyakinan, meski harus melawan arus yang kuat, adalah harga yang pantas untuk ditebus demi kebenaran.
Sejarahnya, meski tersembunyi dalam kabut waktu, adalah pengingat bagi kita bahwa perjuangan tak selalu berakhir dengan pujian, tetapi terkadang dengan penghormatan dari generasi mendatang.