jlk – Stunting, sebuah kondisi yang menandai pertumbuhan terhambat pada anak karena kekurangan asupan gizi sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun, kembali menjadi sorotan di Indonesia.
Anak yang mengalami stunting cenderung memiliki tinggi badan lebih rendah dari standar usianya.
Namun, dampaknya tidak hanya berhenti pada fisik semata, tetapi juga memengaruhi perkembangan otak dan kognitif.
Data dari Survei Status Gizi Balita Indonesia 2019 menunjukkan bahwa satu dari empat anak di bawah usia lima tahun di Indonesia menderita stunting. Angka ini setara dengan total populasi ibukota, Jakarta.
Lebih lanjut, Indonesia bahkan masuk dalam daftar 10 negara dengan tingkat stunting tertinggi di dunia.
Stunting bukanlah sekadar masalah angka, melainkan masalah nyata dengan konsekuensi serius.
Anak-anak yang mengalami stunting berisiko mengalami gangguan kognitif, rentan terhadap penyakit kronis, dan biasanya tertinggal dalam prestasi pendidikan.
Dampaknya juga dapat dirasakan dalam produktivitas dan daya saing bangsa di masa depan.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab stunting, termasuk kekurangan gizi pada ibu hamil, infeksi, sanitasi yang buruk, pola asuh yang tidak tepat, dan kemiskinan.
Namun, stunting dapat dicegah dengan memberikan asupan gizi yang memadai bagi ibu hamil dan anak, menjaga kebersihan lingkungan, memberikan ASI secara eksklusif, dan memberikan stimulasi yang sesuai dengan perkembangan anak.
Mengatasi stunting bukanlah tugas satu pihak, melainkan tanggung jawab bersama.
Pemerintah, masyarakat, keluarga, dan individu perlu berperan aktif dalam pencegahan dan penanggulangan stunting. Kita tidak bisa membiarkan anak-anak Indonesia mengalami keterbatasan akibat stunting.
Semua pihak harus berjuang untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.