jlk – Di tengah hiruk pikuk dunia yang semakin kompleks, sebuah buku berjudul “Kolonisasi China Terhadap Dunia Islam dan Genosida Uyghur” berhasil menarik perhatian publik.
Buku ini, yang ditulis oleh Abdulhakim Idris, seorang Uyghur asli, menjadi sorotan dalam sebuah acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) di Roof Cafe Rawamangun, Jakarta Timur, pada Sabtu, 16 Maret 2024.
Acara ini, yang juga dibarengi dengan buka puasa bersama, menjadi wujud nyata dari kepedulian PJMI terhadap perjuangan umat Islam di belahan dunia lain.
Dalam acara tersebut, PJMI menghadirkan beberapa pembicara, di antaranya penulis buku Abdulhakim Idris, penerjemah buku Imam Sopyan, serta wartawan senior dan Sekjen Islamic Center Bekasi, Amin Idris, yang pernah mengunjungi Uyghur.
Abdulhakim Idris, yang juga Direktur Eksekutif Pusat Studi Uyghur, mengungkapkan bahwa buku ini ditulisnya untuk mempelajari lebih lanjut tentang Genosida Uyghur dan perang Tiongkok terhadap Islam.
“Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara acara ini atas upaya dan tekad Anda untuk menyoroti penderitaan saudara-saudari Uyghur selama bulan suci Ramadhan ini,” ujarnya.
Idris menekankan bahwa mengingat Muslim Uyghur dan penderitaan mereka sangatlah penting, terutama selama hari-hari yang penuh berkah ini.
“Berbeda dengan umat Islam lainnya, umat Islam Uyghur tidak bisa merayakan Ramadhan, tidak bisa berpuasa, tidak bisa berkumpul bersama keluarga untuk berbuka puasa bersama,” ungkap Idris.
Hal ini, lanjut Idris, karena puasa di bulan Ramadhan dilarang sebagai bagian dari perang Tiongkok terhadap Islam yang dimulai sejak tahun 2014, dan lebih luas lagi sejak tahun 2017.
“Pada 2017, Tiongkok memulai perang habis-habisan terhadap Islam di Turkistan Timur dan mengkriminalisasi semua praktik Islam seperti pergi ke masjid, berpuasa, menumbuhkan janggut, berjilbab, belajar Alquran, dan lain-lain,” ungkapnya lagi.
Idris menambahkan, pihak berwenang Tiongkok menyebut praktik-praktik Islam tersebut sebagai “tanda-tanda ekstremisme” dan menggunakannya sebagai dalih untuk mengirim Muslim Uyghur ke kamp konsentrasi.
“Jutaan Muslim Uyghur telah menderita dan terus menderita akibat ketaatan mereka terhadap agamanya,” pungkasnya.
Imam Sopyan, penerjemah buku “Kolonisasi China terhadap Dunia Islam dan Genosida Uyghur”, mengatakan bahwa buku ini membahas isu kolonisasi dan genosida yang dialami oleh Uyghur di Xinjiang, China, sebagai masalah kemanusiaan yang mendesak untuk diperhatikan oleh masyarakat internasional.
Acara bedah buku ini menjadi bukti bahwa PJMI, sebagai organisasi jurnalis Muslim, memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perjuangan umat Islam di belahan dunia lain.
Dengan mengkritisi dan membedah buku ini, PJMI berharap dapat menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat tentang eksistensi dan problematika yang dihadapi oleh Muslim Uyghur.
Dalam suasana yang penuh keakraban dan kebersamaan, acara bedah buku ini berlangsung dengan lancar.
Peserta yang hadir, yang terdiri dari pengurus dan anggota PJMI, para wartawan, akademisi, dan masyarakat umum, tampak antusias dalam mengikuti diskusi dan bedah buku ini.
Sebagai penutup, mari kita renungkan sebuah plesetan bijak: “Buku adalah jendela dunia, dan bedah buku adalah kacamata yang membantu kita melihat lebih jelas melalui jendela tersebut.”
Semoga dengan bedah buku ini, kita semua dapat melihat lebih jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi pada saudara-saudari kita, umat Islam Uyghur, di belahan dunia lain.