Pada tulisan sebelumnya, di sebuah WAG terdapat komentar dari seorang kawan saya bernama Ilham al-Farisi. Saya cerita sedikit, dia adalah teman paling tekun dalam belajar, paling rajin di sekolah dulu dan sekaligus pintar. Tak ada yang menandingi ketekunannya apalagi kepintarannya. Sejak MA dia fokus ke kitab kuning dan mendalaminya sampai sekarang. Top lah kalau urusan bahtsul masail.
Kembali ke topik, dia menanggapi tulisan saya begini:
Saya coba tanggapi dari perspektif saya pribadi
1. Klaim palsu sebelum ada bukti kongkret bahwa artefak itu palsu, tentu tidak benar, apalagi sebatas spekulasi. Tak percaya tak masalah, tapi menuduh itu sudah beda.
2. Menuduh pameran artefak palsu, otomatis menuduh tokoh dibalik itu semua andil dalam kepalsuan. Ini ranah Suudzzon pada ahlul ilmi dengan hanya berdasar spekulasi.
3. “Percaya tanpa bukti adalah na-if”, salah… ikhbarul adli adalah salah satu hal yang patut dipercayai tanpa perlu bukti.
4. “Barang antik perlu sanad layaknya hadits”. Ini analogi yang kurang tepat, hadits perlu sanad karena berfungsi sebagai sumber primer hukum islam. Sementara artefak tidak.
5. Menyikapi klaim yang tidak jelas valid dan tidaknya, bukan dengan spekulasi. Tapi dengan cara diam.
شرح المشكاة للطيبي الكاشف عن حقائق السنن ٢/٦٢٣
وعنه، قال: قال رسول الله ﷺ: «كفى بالمرء كذبًا أن يحدث بكل ما سمع» رواه مسلم. [١٥٦] وهذا زجر عن التحدث بشيء لم يعلم صدقه، فإن علم صدقه يتحدث، وإلا فلا يتحدث.
6. “Merusak keimanan dan ketergantungan pada benda fisik”, ini makin ngaur. Diantara hal yang dapat di ambil berkahnya atau tabarruk (yang oleh penulis dibahasakan dengan ketergantungan pada benda) adalah replika benda-benda yang pernah digunakan oleh Nabi. Salah satu contoh, gambar sendal baginda Nabi yang bisa dibuat tabarruk serta dapat memudahkan bermimpi beliau dan disukai banyak orang. Ini cuman replika, bukan barang asli.
سعادة الدارين : ٤٧٣
الفائدة الاربعون) ملازمة حمل مثال نعل النبي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم تفيد رؤيته في المنام عليه الصلاة والسلام كما ذكره الشهاب احمد المقري في كتابه فتح المتعال في مدح النعال, ونص عبارته ومنها أي من خواص مثال النعل الشريف ما قاله بعض الأئمة فيما جرب من بركته : أن من لازم حمله كان له القبول التام من الخلق اه.
7. Membuat “masyhad” atau benda benda yang digunakan untuk mengenang dan mengingat seorang ulama, waliyullah, apalagi baginda Nabi adalah amaliyah ulama salaf. Dan mereka bertabarruk dengan benda itu.
ولما توفى الحبيب عمر البار المذكور ، شقى فراقه على أخيه الحبيب عيدروس فقال له جدى على بن عبد الله العطاس : إن مادة السلف ، إذامات أحد منهم في مكان بعيد ، يجعلون له مشهداً يتذكرونه به ، ويتبركون بزيارته، فانشأ المشهد المعروف.
So, palsu sekalipun tak menafikan potensi barokah dari artefak yang dipamerkan. Tentu soal dusta tak bisa dibenarkan, tapi itu urusan mereka.
Mari kita bahas satu persatu, bagi anda yang belum baca tulisan sebelumnya silahkan klik disini. Mufti Besar Sheikh Abdul Aziz Al-Asheikh telah memperingatkan museum, individu, dan pihak lain agar tidak mempromosikan peninggalan palsu Nabi Muhammad (SAW).
“Nabi (SAW) wafat lebih dari 1.400 tahun yang lalu, dan tidak ada bukti kuat bahwa apa yang disebut sebagai peninggalan itu benar-benar milik beliau,” ujarnya. Lah ini pamerannya ada dimana-mana, sudah seperti pasar malam.
Beban Bukti pada Klaim Artefak Nabi
Klaim bahwa “menyebut artefak Nabi palsu sebelum ada bukti kongkret bahwa artefak itu palsu adalah tidak benar” adalah kesalahan logika yang fundamental. Pernyataan ini sepenuhnya mengabaikan prinsip dasar epistemologi: beban pembuktian selalu berada di pihak yang mengajukan klaim. Berarti siapa yang mendalilkan, dia harus membuktikan.
Jika seseorang mengklaim bahwa sebuah benda adalah peninggalan Nabi Muhammad, maka tanggung jawab untuk memberikan bukti ada di pundaknya. Sebaliknya, pihak yang meragukan tidak memiliki kewajiban untuk membuktikan klaim tersebut salah.
Mengharapkan orang skeptis untuk membuktikan kepalsuan artefak tanpa bukti awal adalah seperti meminta seseorang untuk membuktikan unicorn tidak ada—tugas yang absurd dan mustahil.
Sebuah klaim dianggap benar jika dan hanya jika ia sesuai dengan realitas objektif yang dapat diverifikasi. Realitas tentang artefak Nabi tidak hanya harus memenuhi standar historis, tetapi juga memerlukan pembuktian ilmiah yang konkret, seperti melalui carbondating untuk menentukan usia benda atau analisis material untuk memverifikasi asal-usulnya.
Teknologi modern memberikan alat yang dapat memvalidasi klaim semacam ini secara obyektif, tetapi mengapa klaim artefak sering kali menghindari proses semacam ini?
Alasannya sederhana: klaim tersebut akan runtuh di bawah beban bukti.
Dari perspektif Islam, meminta bukti adalah bagian integral dari ajaran agama. Allah berfirman: “Katakanlah: ‘Bawalah bukti-buktimu jika kamu adalah orang-orang yang benar.’” (QS. Al-Baqarah: 111). Rasulullah juga bersabda: “Bukti itu kewajiban bagi orang yang mengklaim.” (HR. Bukhari No. 4552). Tanpa bukti, sebuah klaim tidak lebih dari angan-angan yang dibungkus dalam kata-kata indah. Membiarkan klaim tanpa dasar ini tumbuh adalah tindakan yang berbahaya, karena ia mengaburkan perbedaan antara iman yang berbasis dalil dan khayalan yang tidak bertanggung jawab.
Lebih jauh lagi, membela klaim tanpa bukti dengan alasan “tidak ada bukti bahwa itu palsu” adalah apa yang disebut dalam logika sebagai argumentumadignorantiam. Ini adalah upaya untuk menjadikan ketiadaan bukti sebagai bukti, sebuah pendekatan yang tidak hanya salah, tetapi juga menyesatkan. Ilmu pengetahuan tidak bekerja berdasarkan ketiadaan bukti; ia memerlukan data dan verifikasi. Jika bukti tidak ada, klaim tidak bisa dianggap sah, melainkan hanya hipotesis yang belum terbuktikan.
Dengan demikian, komentar ini tidak hanya cacat logika, tetapi juga bertentangan dengan prinsip agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Beban pembuktian ada pada mereka yang mengklaim, bukan pada mereka yang meragukan. Hingga bukti konkret diberikan, klaim bahwa artefak tersebut asli tidak memiliki dasar untuk dipercaya, dan skeptisisme tetap menjadi posisi yang paling rasional dan bertanggung jawab.
KritikTokoh Agama Tidak Dosa dan Tidak Menyalahi Akhlaq
Pernyataan bahwa menuduh artefak Nabi palsu sama dengan menuduh tokoh di balik pamerannya andil dalam kepalsuan, serta dianggap sebagai tindakan su’udzon kepada ahlulilmi, adalah sebuah cara licik untuk membungkam kritik. Ini adalah bentuk logika sesat yang dikenal sebagai appealtoauthority (argumentumadverecundiam), yaitu asumsi bahwa otoritas seseorang membuat klaimnya kebal dari kritik. Dalam Islam, sikap seperti ini bukan hanya berbahaya, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Rasulullah yang mendorong umatnya untuk menimbang segala sesuatu dengan akal sehat dan dalil, bukan dengan kedudukan sosial.
Oh, jadi kalau seseorang dianggap “ahlul ilmi,” kritik otomatis berubah jadi suudzon? Logika macam apa ini? Gelar atau posisi tidak membuat seseorang kebal terhadap kritik, apalagi kalau klaimnya menyangkut hal besar seperti ini. Ahlul ilmi juga manusia—mereka bisa salah, mereka bisa keliru, dan beberapa bahkan bisa tergelincir oleh nafsu duniawi. Kritik harus didasarkan pada fakta, bukan pada siapa yang bicara.
Mengkritik klaim palsu yang diajukan oleh seseorang, termasuk ulama, bukanlah tindakan yang menyeret seseorang ke neraka, melainkan bagian dari tanggung jawab moral dan intelektual seorang Muslim. Rasulullah bersabda: “Agama adalah nasihat.” (HR. Muslim No. 55).
Nasihat, dalam konteks ini, berarti berani menunjukkan kesalahan, termasuk kepada tokoh agama yang menyampaikan klaim tanpa bukti. Bahkan, banyak riwayat yang menunjukkan bahwa para sahabat tidak segan-segan mengkritik sesama mereka, bahkan kepada pemimpin, jika mereka melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kritik yang sehat adalah fondasi keadilan dalam Islam, bukan su’udzon.
Kalau gaya bahasa di tulisan sebelumnya memang kasar, ya itu sengaja, itu bagian dari ragam bentuk gaya tulisan dan itu bebas nilai, gak bisa ditakar menggunakan adab, kesopanan dan moral. Soalnya kalau gak pedas gak dibaca, kalau gak pedas pembaca gak mikir dan lalu taklid buta, (baca: komunikasi massa).
Kenapa kritik selalu saya tulis? Karena kalau disampaikan secara langsung sistem pemikiran feodal masyarakat ini akan menghakimi saya sebagai manusia terkutuk, tidak menghormati guru, arogan, sesat, tidak berakhlaq. Dan sebagainya.
Oke lanjut, secara filsafat, tindakan mengkritik klaim yang diajukan oleh otoritas bukanlah penghinaan terhadap orang tersebut, melainkan penghormatan terhadap kebenaran. Kant menekankan pentingnya menggunakan akal untuk melawan dogma dan menerima hanya apa yang dapat dibuktikan melalui bukti dan logika. Mengklaim bahwa kritik terhadap klaim palsu adalah “su’udzon” adalah manipulasi emosional yang bertujuan untuk melindungi klaim tersebut dari pengujian rasional. Ini bukan hanya tidak logis, tetapi juga tidak Islami.
Secara saintifik, klaim harus diuji berdasarkan bukti, bukan diterima karena otoritas pembuatnya. Jika seorang ilmuwan membuat klaim yang tidak terbukti, maka ilmuwan lain memiliki tanggung jawab untuk mengkritik dan menuntut bukti. Begitu pula dalam agama. Jika ulama atau tokoh agama mengklaim bahwa sebuah benda adalah artefak Nabi, maka mereka harus memberikan bukti ilmiah, historis, dan teologis. Kritik terhadap klaim itu bukan penghinaan, melainkan upaya untuk menjaga kebenaran.
Menjadikan kritik sebagai “su’udzon” adalah bentuk pembungkaman yang merusak tradisi Islam yang kaya dengan diskusi dan perdebatan ilmiah. Bahkan, tradisi ulama Islam dipenuhi dengan perdebatan panjang yang sehat, di mana kritik adalah bagian dari proses menuju kebenaran. Sikap tunduk buta kepada otoritas justru yang dapat membawa seseorang ke jurang kesalahan, bukan kritik.
Jadi, jika seseorang mengklaim bahwa menuduh artefak palsu sama dengan menuduh tokoh di baliknya berdusta, tanyakan kembali: apakah tokoh tersebut kebal dari kesalahan? Apakah kita lebih takut mengoreksi manusia daripada membiarkan klaim palsu mencemari ajaran Islam? Kritik terhadap klaim palsu, termasuk yang disampaikan oleh tokoh agama, tidak pernah menjadi penyebab langsung seseorang masuk neraka. Yang lebih dekat ke arah itu adalah menyebarkan kebohongan atau membiarkan kebenaran terkubur demi melindungi nama besar seseorang.
Berani menyelenggarakan pameran berarti mengakui kepemilikan kompetensi klaim, maka jika tidak menunjukkan bukti keasliannya berarti tidak memiliki kompetensi dalam hal relik dan artefak. Maka sejak kapan kritik itu su’udzon?. Maka jangan su’udzon pada kritik agar istilah su’udzon tidak dipakai dalam berbagai macam urusan. Su’udzon ibarat kunci pas bukan Bump Keys untuk semua jenis lubang.
Ikhbarul Adli Tidak Berlaku untuk Artefak
Pernyataan bahwa ikhbarul adli—kesaksian individu terpercaya—cukup untuk membenarkan klaim artefak Nabi Muhammad adalah penyalahgunaan konsep yang tidak pada tempatnya. Ikhbarul adli relevan dalam konteks tertentu, seperti persaksian di pengadilan atau penetapan bulan hijriah. Namun, menerapkannya pada klaim artefak fisik adalah kekeliruan besar. Artefak, sebagai benda fisik, memerlukan pembuktian material, bukan sekadar kesaksian verbal.
Artefak adalah entitas yang dapat diuji secara obyektif melalui metode ilmiah. Kesaksian lisan hanya diterima sebagai bukti jika verifikasi langsung tidak memungkinkan. Namun, dalam kasus artefak, verifikasi langsung melalui teknologi seperti carbon dating atau analisis bahan adalah kewajiban. Bergantung pada kesaksian tanpa dukungan bukti ilmiah membuat klaim tersebut kehilangan validitas epistemologis.
Islam menekankan pentingnya bukti konkret dalam menerima suatu pernyataan. Allah berfirman: “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Ayat ini mengingatkan kita agar tidak ikut-ikutan tanpa dasar ilmu yang jelas. Rasulullah juga bersabda: “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menceritakan segala yang ia dengar.” (HR. Muslim, no. 5)
Hadis ini memperingatkan bahaya menyebarkan informasi yang tidak terverifikasi, bukan meminta kita diam terhadap klaim tanpa dasar. Larangan ini mendorong kehati-hatian, tetapi bukan berarti membiarkan kebatilan tanpa koreksi.
Klaim artefak Nabi yang tanpa bukti kuat adalah informasi yang tidak terverifikasi. Jika dibiarkan tanpa kritik, klaim ini dapat menyesatkan umat, memupuk takhayul, dan mencemari ajaran Islam. Sikap diam terhadap kebatilan bukan tanda kehati-hatian, melainkan bentuk kelalaian yang membahayakan keimanan.
Kesaksian lisan seperti ikhbarul adli tidak dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan keaslian artefak. Sebagai benda fisik, artefak memiliki sifat material yang bisa diuji. Bahkan dalam hadis, yang merupakan narasi verbal, Islam memiliki standar sanad yang ketat untuk memastikan keasliannya. Menggunakan ikhbarul adli untuk membenarkan klaim artefak tanpa bukti ilmiah adalah tindakan tidak logis yang memaksakan kepercayaan berdasarkan emosi, bukan dalil.
Catatan: Dalil yang dimaksud di sini adalah pembuktian ilmiah, bukan sekadar kutipan narasi. Lembaga dengan sumber daya memadai harus melakukan penelitian terbuka, bukan hanya bergantung pada klaim dari pihak internal. Sains tidak mengenal egosentrisme.
Secara ilmiah, klaim artefak harus melalui prosedur autentikasi yang ketat. Provenans—catatan asal-usul dan perjalanan benda—adalah syarat utama dalam studi sejarah dan arkeologi. Tanpa provenans, klaim bahwa benda tersebut milik Rasulullah hanyalah spekulasi. Bahkan jika usia benda cocok dengan zaman Nabi, itu masih belum cukup untuk membuktikan hubungannya langsung dengan beliau tanpa dukungan bukti lain.
Menggunakan ikhbarul adli untuk membenarkan klaim artefak Nabi adalah generalisasi yang keliru. Konsep ini tidak dirancang untuk membuktikan keaslian benda mati. Kepercayaan pada klaim seperti ini tanpa bukti konkret bukan iman, tetapi takhayul. Rasulullah datang untuk menghancurkan tradisi jahiliah yang penuh dengan kepercayaan buta terhadap benda-benda sakral. Mempertahankan klaim tanpa bukti ilmiah adalah bentuk manipulasi emosi yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Keaslian benda fisik harus didasarkan pada bukti material yang dapat diuji secara ilmiah. Tanpa itu, klaim artefak hanyalah eksploitasi kepercayaan umat. Kritik terhadap klaim semacam ini adalah kewajiban untuk menjaga kemurnian keimanan dan menjauhkan umat dari kebohongan yang diselimuti kemasan religius
Sanad vs Autentikasi Ilmiah
Mengklaim bahwa artefak Nabi tidak membutuhkan sanad seperti hadis karena artefak tidak digunakan sebagai sumber hukum Islam adalah pernyataan yang salah arah. Benar bahwa artefak bukan sumber hukum, tetapi itu tidak menghilangkan kewajiban untuk membuktikan keasliannya. Dalam kasus artefak, sanad memiliki padanan modern dalam bentuk autentikasi ilmiah, yang berfungsi untuk memastikan bahwa klaim keaslian benda tersebut sesuai dengan fakta historis.
Sanad dalam hadis adalah sistem verifikasi narasi yang digunakan untuk memastikan keaslian riwayat. Sementara artefak tidak memerlukan sanad dalam pengertian tradisional, benda fisik tetap memerlukan mekanisme autentikasi yang setara untuk memastikan bahwa benda tersebut benar-benar berasal dari waktu, tempat, dan pemilik yang diklaim. Dalam dunia sejarah dan arkeologi, autentikasi ini dilakukan melalui analisis ilmiah seperti carbondating, analisis isotop, dan studi provenans.
Mengabaikan autentikasi sama saja dengan meminta orang untuk percaya secara buta. Ini bertentangan dengan akal sehat dan prinsip dasar Islam yang menekankan pentingnya bukti. Allah berfirman: “Bawalah bukti-buktimu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 111).
Dalam tradisi Islam, tidak ada ruang untuk menerima klaim besar tanpa verifikasi. Jika hadis saja harus melalui proses sanad yang ketat untuk memastikan kebenarannya, mengapa standar ini tiba-tiba diturunkan ketika menyangkut artefak fisik? Rasulullah bersabda:
“Berhati-hatilah kalian dalam meriwayatkan hadis dariku, kecuali yang kalian tahu secara pasti.” (HR. Bukhari No. 106).
Logika yang sama berlaku untuk artefak. Membiarkan klaim palsu tanpa verifikasi adalah bentuk kelalaian yang dapat mencemari ajaran Islam.
Kita pakai perspektif ilmiah saja, klaim bahwa suatu benda adalah peninggalan Nabi memerlukan pembuktian konkret. Teknologi modern seperti carbondating dapat menentukan usia benda hingga tingkat akurasi yang tinggi, sedangkan analisis bahan dapat membantu melacak asal-usulnya. Tanpa prosedur ini, klaim artefak tidak lebih dari spekulasi kosong. Bahkan jika benda tersebut berasal dari abad ke-7, itu tidak secara otomatis membuktikan bahwa benda tersebut milik Nabi. Bukti historis tambahan, seperti catatan perjalanan benda (provenans), tetap diperlukan. Itu hanya saya maksud sanad.
Makanya, mengatakan bahwa artefak tidak perlu diverifikasi karena tidak digunakan sebagai sumber hukum Islam adalah logika yang cacat. Keaslian artefak memiliki dampak besar terhadap narasi sejarah Islam dan pemahaman umat tentang warisan Nabi. Membiarkan klaim palsu tersebar tanpa verifikasi hanya akan merusak kredibilitas agama dan membiarkan umat terjerumus ke dalam takhayul.
Diam Bukan Solusi
Mengklaim bahwa menyikapi klaim artefak yang tidak jelas keabsahannya harus dilakukan dengan diam, bukan spekulasi, adalah seruan yang salah kaprah. Diam dalam menghadapi klaim besar tanpa bukti bukanlah tanda kehati-hatian, melainkan bentuk pembiaran yang berbahaya. Bahkan, dalam konteks sosial dan agama, sikap diam terhadap kebatilan sering dianggap sebagai bentuk kolusi pasif. Rasulullah sendiri tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berdiam diri menghadapi sesuatu yang tidak masuk akal atau tidak memiliki dasar kebenaran.
Dalam logika, membiarkan klaim palsu tanpa koreksi berarti memberikan ruang bagi kebohongan untuk tumbuh. Jika sebuah klaim tidak jelas keabsahannya, itu harus diuji dengan argumen dan pembuktian. Diam, dalam hal ini, sama saja dengan memberikan lampu hijau kepada penyebar klaim untuk terus menyebarkan narasi yang mungkin menyesatkan. Filsuf Edmund Burke pernah mengatakan, “The onlythingnecessaryforthetriumphofevilisforgoodmentodonothing.” Ini berlaku untuk kebatilan dalam segala bentuk, termasuk klaim artefak palsu.
Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berdiam diri menghadapi kebatilan. Rasulullah bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim No. 49).
Klaim besar seperti artefak Nabi tanpa bukti yang jelas adalah bentuk kebohongan yang bisa menyesatkan umat. Menghadapinya dengan diam bukanlah tanda kehati-hatian, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap nilai kebenaran yang diajarkan dalam Islam.
Dari sudut pandang ilmiah, klaim yang tidak jelas harus diuji, bukan diabaikan. Sains berkembang karena keberanian untuk mempertanyakan sesuatu yang tidak terbukti. Jika klaim artefak Nabi dibiarkan tanpa tantangan, itu berarti kita menutup pintu bagi pencarian kebenaran. Ilmuwan tidak akan pernah menerima teori tanpa data, begitu pula seharusnya umat Islam tidak menerima klaim tanpa dalil. Menghadapi klaim palsu dengan argumentasi adalah tanda komitmen terhadap kebenaran, bukan sikap sembrono.
Jadi, mengklaim bahwa spekulasi lebih buruk daripada diam adalah bentuk generalisasi yang salah. Spekulasi yang didasarkan pada logika, dalil, dan fakta adalah langkah awal untuk membedah sebuah klaim. Jika kita diam, klaim palsu akan terus berkembang tanpa ada yang mempertanyakannya. Dalam kasus artefak, spekulasi kritis adalah alat untuk menuntut bukti, bukan upaya untuk menyebarkan keraguan tanpa dasar,
Tabarruk Benda Palsu
Mengklaim bahwa “replika benda Nabi dapat diambil berkahnya (tabarruk), meskipun tidak asli” adalah bentuk penyimpangan yang serius dari prinsip tauhid. Islam mengajarkan bahwa keberkahan datang dari Allah, bukan dari benda mati, apalagi benda yang tidak memiliki hubungan langsung dengan Rasulullah. Lebih jauh, klaim bahwa benda-benda seperti replika sandal Nabi dapat memudahkan seseorang untuk bermimpi bertemu Rasulullah adalah argumen yang tidak memiliki dasar logika, bukti ilmiah, maupun dalil yang sahih.
Keberkahan Tidak Datang dari Kebohongan. Mengambil berkah dari sesuatu yang diketahui palsu adalah tindakan yang absurd. Secara logika, bagaimana mungkin benda yang tidak pernah disentuh Nabi, apalagi hanya replika buatan manusia, dapat membawa keberkahan? Jika keberkahan itu ada, maka ia harus memiliki hubungan kausal dengan asal-usul benda tersebut. Mengklaim bahwa replika benda Nabi memiliki khasiat spiritual sama dengan percaya bahwa patung atau benda lain dapat membawa keberuntungan—sebuah pola pikir yang bertentangan dengan akal sehat dan sangat dekat dengan takhayul.
Islam datang untuk memurnikan akidah manusia dari kebergantungan kepada benda-benda mati. Bahkan benda asli sekalipun, jika berlebihan diagungkan, dikhawatirkan dapat mengarah kepada syirik. Dalam sejarah Islam, Rasulullah mengambil tindakan tegas ketika umat mulai mengultuskan benda fisik. Sebagai contoh, pohon yang digunakan untuk baiat Aqabah ditebang oleh Umar bin Khattab karena dikhawatirkan umat akan memberinya kedudukan yang berlebihan.
Dalil ini diperkuat oleh firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa: 48).
Bahkan benda asli yang pernah digunakan Rasulullah hanya menjadi sumber keberkahan ketika masih ada dalam masa hidup beliau atau disaksikan oleh generasi sahabat yang langsung berinteraksi dengannya. Setelah itu, benda-benda ini kehilangan makna spiritualnya karena keberkahan tidak inheren pada benda tersebut, tetapi pada hubungan langsung dengan Rasulullah.
Dalil-dalil yang digunakan untuk mendukung tabarruk dengan replika sering kali diambil dari sumber yang tidak memiliki otoritas kuat atau bersifat khabar ahad yang tidak bisa dijadikan dasar keyakinan. Misalnya, klaim bahwa replika sandal Nabi dapat memudahkan seseorang bermimpi bertemu Rasulullah adalah pernyataan tanpa dasar ilmiah atau agama. Keinginan bertemu Rasulullah dalam mimpi seharusnya didasarkan pada ketaatan, cinta yang tulus, dan doa, bukan pada benda mati.
Sedangkan sudut pandang ilmiah, mengatakan bahwa replika benda dapat memengaruhi mimpi atau membawa keberkahan tidak memiliki mekanisme kausal yang dapat dijelaskan. Hal ini lebih mirip dengan efek plasebo—keyakinan yang menciptakan ilusi hasil, tetapi tidak memiliki dasar nyata. Jika replika benda Nabi benar-benar memiliki efek spiritual, itu berarti ada mekanisme metafisika yang seharusnya dapat dijelaskan atau diulang dalam kondisi yang terkendali, tetapi kenyataannya klaim ini tidak dapat diuji sama sekali.
Ini adalah dalam kitab Sharh Riyaadh as-Saliheen (4/243), kalau replika jelas bukan dari nabi. Tabarruk (mencari berkah) ini tidak boleh dilakukan dengan apa pun kecuali dengan peninggalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh dianalogikan dengan siapa pun. Ah, di jaman moderen saat ini bicara tabaruukan itu hanya masalah teoritis belaka dan tidak perlu bicara panjang lebar.
Tabarruk dengan Masyhad dan Artefak
Mengklaim bahwa membuat masyhad atau benda untuk mengenang Nabi Muhammad adalah amaliyah ulama salaf yang dapat dijadikan sarana tabarruk, meskipun artefak tersebut palsu, adalah penyimpangan dari prinsip tauhid dan akal sehat. Bahkan jika masyhad memiliki tempat dalam tradisi sejarah Islam, menggunakannya untuk membenarkan klaim artefak tanpa bukti adalah logika yang sangat cacat. Tabarruk hanya memiliki landasan ketika benda tersebut sahih, memiliki keterkaitan historis yang kuat, dan tidak mengarah pada pengultusan berlebihan terhadap benda fisik.
Keberkahan, menurut ajaran Islam, tidak mungkin berasal dari sesuatu yang palsu atau dibuat-buat. Jika benda yang digunakan untuk tabarruk tidak dapat dibuktikan keasliannya, maka bagaimana kita bisa yakin bahwa benda tersebut memiliki nilai spiritual? Tabarruk dengan benda palsu adalah kontradiksi logis—bagaimana mungkin sesuatu yang didasarkan pada kebohongan dapat membawa keberkahan?
Lebih jauh lagi, bahkan benda asli yang pernah digunakan Nabi Muhammad tidak menjadi objek keberkahan secara inheren, melainkan karena kedekatan fisik dengan beliau yang merupakan pembawa wahyu. Jika Rasulullah tidak ada, benda tersebut kehilangan nilai spiritualnya, dan ini adalah fakta historis yang sering diabaikan oleh para pendukung klaim ini.
Islam sangat jelas menentang pengultusan benda fisik yang dapat mengarah pada syirik. Rasulullah datang untuk menghancurkan tradisi jahiliah yang mengagungkan benda-benda mati. Bahkan saat umat mulai mengultuskan benda tertentu, beliau dengan tegas mengambil tindakan untuk mencegah penyimpangan akidah. Contoh nyata adalah ketika Umar bin Khattab menebang pohon yang digunakan untuk Baiat Ridwan karena khawatir umat akan mengultuskannya.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu menyeru selain Allah, sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudarat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Yunus: 106).
Menggunakan benda palsu atau masyhad buatan sebagai alat untuk tabarruk melanggar prinsip tauhid, karena ini sama saja dengan memberikan nilai spiritual pada benda yang sebenarnya tidak memiliki hubungan nyata dengan Rasulullah.
Setiap benda yang diklaim memiliki hubungan historis dengan seseorang harus melalui proses autentikasi yang ketat. Provenans menjadi kunci untuk memastikan bahwa benda tersebut benar-benar berasal dari waktu dan tempat yang diklaim. Sayangnya, banyak artefak yang dipamerkan dalam konteks “masyhad” tidak memiliki dokumentasi yang jelas. Tanpa bukti ilmiah, klaim ini hanya berfungsi untuk memainkan emosi keagamaan umat, bukan sebagai sarana pencarian kebenaran.
Bahkan seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, jika benda tersebut berasal dari abad ke-7, itu tidak secara otomatis membuktikan bahwa benda tersebut milik Rasulullah. Pembuktian harus didukung oleh bukti tambahan seperti catatan sejarah yang terverifikasi. Tanpa bukti semacam itu, klaim tentang masyhad hanyalah ilusi yang tidak memiliki dasar historis atau spiritual.
Memang benar bahwa ada tradisi di mana benda-benda tertentu digunakan untuk mengenang para ulama atau Nabi. Namun, ini hanya dapat dibenarkan jika benda tersebut memiliki keaslian yang jelas. Tradisi ini tidak pernah dimaksudkan untuk melegitimasi klaim artefak palsu atau benda yang tidak memiliki bukti konkret. Menjadikan tradisi salaf sebagai pembenaran untuk klaim artefak palsu adalah bentuk penyalahgunaan konsep yang tidak bertanggung jawab.
Bisakah kita jujur misalnya selama belum ada bukti asli maka palsu, dan meski artefak itu palsu alias replika tapi pameran artefak boleh diadakan dengan tujuan komersial (cuan), dengan begitu maka bergunalah ilmu marketing dan ilmu bisnis lainnya yang dipelajari di sekolah dan diinspirasi dari ilmu bisnis nabi Muhammad, itu lebih baik daripada “berdusta atas nama nabi untuk pundi-pundi duit baalawi,” kata teman saya.