Ribetnya Jadi Generasi Sandwich yang Dijejali Mimpi dan Kewajiban, Dilema Antara Tradisi dan Harapan Pribadi

Oleh
rasyiqi
Writer, Digital Marketer
- Writer, Digital Marketer
Baca 4 Mnt
Ribetnya Jadi Generasi Sandwich yang Dijejali Mimpi dan Kewajiban, Dilema Antara Tradisi dan Harapan Pribadi (Ilustrasi)
Ribetnya Jadi Generasi Sandwich yang Dijejali Mimpi dan Kewajiban, Dilema Antara Tradisi dan Harapan Pribadi (Ilustrasi)

Gue tau lo semua capek. Lo yang lahir antara 1981-1996 ini sering dijuluki “generasi rebahan”, tapi nyatanya lo justru terjepit antara tuntutan keluarga kolot dan ambisi pribadi yang pengin ngegas.

Mau lari? Susah. Tradisi nempel kayak lem super di jidat, sementara mimpi lo ngejar-ngejar kayak debt collector. What the hell harus gimana?

Beban Warisan yang Bikin Sesak

Lo pasti kenal yang namanya wedding pressure. Nikah sebelum 25, punya anak sebelum 30, kerja jadi PNS atau dokter biar bisa “dibanggain”. Data BPS (2023) nyebut 60% perempuan Indonesia nikah di usia 19-24, padahal lo aja mungkin masih sibuk ngejar karir atau bahkan galau mau kuliah S2.

Belum lagi ritual “sungkem” lebaran yang tiba-tiba berubah jadi sidang interogasi: “Kapan lulus? Kapan nikah? Kapan punya cucu?

Ini bukan cuma omongan kosong. Survei Komnas Perlindungan Anak (2022) ngungkap 7 dari 10 milenial ngerasa terkekang ekspektasi orang tua.

Bokap nyokap lo mungkin nganggap lo “durhaka” kalau nolak jadi pengacara, padahal lo pengin jadi musisi. “Masa depan lo pasti suram!” Mereka bakar semangat lo pake ancaman, bukan dukungan.

Mau Bebas Tapi Dikurung Rasa Bersalah

Di sisi lain, lo pengin nge-explore passion. Jadi content creator, kerja remote dari Bali, atau bahkan enggak mau nikah dulu—pilihan yang dianggap “sok Barat” sama tetangga lo.

- Advertisement -

Data LinkedIn (2023) nyatain 68% milenial lebih milih kerja fleksibel ketimbang gaji gede. Tapi coba lo bilang ke nyokap lo mau jadi freelancer. Responnya? “Itu kerjaan apa? Kok enggak jelas?

Mental health? Jangan harap dianggap serius. Lo depresi karena dikte keluarga? Dibilang “cengeng”. Lo mau konseling? “Itu buang-buang duit!” Padahal riset WHO (2023) nyebut generasi muda Asia Tenggara punya tingkat kecemasan tertinggi se-Asia, salah satu penyebabnya: konflik budaya vs identitas diri.

Lalu, Apa Solusinya? Gak Ada yang Gampang!

- Advertisement -

Psikolog UI, Dr. Aulia Nastiti, bilang, “Generasi ini terjebak dalam dualitas: ingin memenuhi norma kolektif tapi juga ingin otonomi.” Artinya? Lo harus pinter-pinter negosiasi.

Gak usah malu putar balik omongan ortu. Pengen kuliah seni? Bilang aja “Jurusan ini prospeknya luas, Bu! Bisa kerja di startup kreatif!

Tapi jangan juga lo bener-bener ngejauh. Tradisi bukan musuh. Lo bisa pilih mana yang bisa diadaptasi. Misal, nikah tapi tanpa pesta mewah—pakai duitnya buat modal bisnis.

Atau tetap pulang kampung lebaran, tapi bawa pulang pacar beda agama sambil perlahan ngebuka pikiran mereka.

Jangan Mau Jadi Korban, Jadilah Dalang

Milenial itu generasi paling kreatif sekaligus paling tertekan. Lo diem-diem bisa jadi jembatan antara budaya lama dan ide baru. Kuncinya: stop jadi people pleaser. Lo bukan mesin ATM yang harus ngasih cuan ke ekspektasi sosial.

Tapi inget, melawan bukan berarti ngamuk-ngamuk. Pake data, pake diplomasi, dan yang paling penting—jangan lupa terapin self-care. Hidup lo bukan cuma buat memuaskan orang lain. Kalo tradisi bikin lo sesak, yaudah bikin tradisi versi lo sendiri.

So, what’s next? Gantungkan harapan, tapi jangan lupa potong rantai ekspektasi. Hidup itu pilihan, bukan paket komplit yang harus lo telan mentah-mentam. Boom.

Share This Article