Makanan impor menjadi salah satu pilihan konsumen Indonesia yang menginginkan variasi dan kualitas produk. Namun, tidak semua makanan impor memenuhi standar halal yang diwajibkan oleh undang-undang di Indonesia. Bagaimana cara menjamin kehalalan makanan impor dan apa sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan halal?
Regulasi Halal di Indonesia
Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2020, sekitar 87,18% dari 270 juta penduduk Indonesia beragama Islam. Hal ini menjadikan kebutuhan akan produk halal, termasuk makanan, sangat tinggi di Indonesia.
Halal adalah sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan oleh syariat Islam. Sebaliknya, haram adalah sesuatu yang dilarang atau ditegah oleh syariat Islam. Dalam konteks makanan, halal berarti makanan yang tidak mengandung bahan-bahan yang haram, seperti babi, darah, bangkai, alkohol, dan lain-lain. Selain itu, makanan halal juga harus diproses, disimpan, dan didistribusikan dengan cara yang halal, tanpa terkontaminasi dengan bahan-bahan yang haram.
Untuk melindungi hak konsumen Muslim dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Indonesia mengeluarkan beberapa regulasi terkait dengan jaminan produk halal. Beberapa di antaranya adalah:
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan produksi halal, sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan “halal” yang termuat dalam label. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar.
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang mengatur bahwa setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib melampirkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat pengimporan ke wilayah Republik Indonesia. Label di dalam dan/atau pada kemasan pangan ditulis, dicetak atau ditunjukkan secara eksplisit dan jelas sehingga mudah dipahami oleh masyarakat dengan menggunakan bahasa Indonesia dan mengandung setidak-tidaknya informasi mengenai nama produk, daftar bahan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat produsen, tanggal kadaluarsa, nomor registrasi, dan pernyataan halal. Setiap orang yang melanggar ketentuan ini wajib melakukan re-ekspor atau pemusnahan Pangan impor yang bersangkutan.
- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang mengatur bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali produk yang berasal dari bahan yang haram. Sertifikat halal adalah bukti tertulis yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang menyatakan bahwa produk tersebut halal sesuai dengan fatwa halal yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Produk yang berasal dari bahan yang haram wajib mencantumkan informasi tidak halal pada produk. Informasi tidak halal dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan yang dimuat dalam kemasan produk, bagian tertentu dari produk, dan/atau tempat tertentu pada produk dengan warna berbeda dalam komposisi bahan. Pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajiban sertifikat halal atau informasi tidak halal dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, dan/atau penarikan barang dari peredaran.
Tantangan dan Peluang Halal Makanan Impor
Dengan adanya regulasi halal di Indonesia, pelaku usaha yang bergerak di bidang impor makanan harus memperhatikan aspek kehalalan produk yang mereka tawarkan kepada konsumen. Hal ini tentu menimbulkan tantangan tersendiri, mengingat setiap negara memiliki standar dan sistem halal yang berbeda-beda.
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pelaku usaha impor makanan adalah proses sertifikasi halal yang cukup panjang dan rumit. Menurut FAQ Halal Certification dari LPPOM MUI, produk yang dapat dikeluarkan sertifikat halal meliputi produk makanan, obat-obatan, kosmetik, barang gunaan (bahan kimia, sabun, deterjen, kulit, filter air, dll), dan jasa yang menangani produk tersebut, seperti jasa logistik dan ritel. Untuk mendapatkan sertifikat halal, pelaku usaha harus memahami dan menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), mengajukan permohonan sertifikat halal, dan menjalani proses audit dan rapat fatwa. Selain itu, pelaku usaha juga harus membayar biaya sertifikasi halal, yang meliputi biaya pendaftaran, pemeriksaan kelengkapan dokumen, penerbitan sertifikat halal, biaya audit, biaya rapat fatwa, honor perjalanan auditor, analisis laboratorium, dan biaya surveilans (untuk produk yang dipasarkan di luar Indonesia).
Tantangan lain yang dihadapi oleh pelaku usaha impor makanan adalah ketersediaan dan kredibilitas informasi halal dari negara asal produk. Tidak semua negara memiliki lembaga halal yang resmi dan diakui oleh pemerintah Indonesia. Beberapa negara bahkan tidak memiliki lembaga halal sama sekali. Hal ini menyulitkan pelaku usaha impor makanan untuk memverifikasi kehalalan produk yang mereka impor. Selain itu, pelaku usaha impor makanan juga harus berhati-hati dengan kemungkinan adanya pemalsuan atau penipuan sertifikat halal oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Meskipun demikian, tantangan-tantangan tersebut tidak mengurangi peluang dan potensi pasar halal makanan impor di Indonesia. Menurut data Kementerian Perdagangan tahun 2020, nilai impor produk makanan dan minuman Indonesia mencapai US$ 4,8 miliar, meningkat 4,7% dibandingkan tahun 2019. Produk makanan dan minuman impor yang paling banyak dimasukkan ke Indonesia adalah gandum, gula, susu, daging, dan buah-buahan. Negara-negara penyuplai produk makanan dan minuman impor terbesar ke Indonesia adalah Australia, Thailand, China, Argentina, dan Amerika Serikat.
Dengan jumlah penduduk Muslim yang besar dan tingkat konsumsi makanan yang tinggi, Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi produk makanan impor yang halal. Beberapa pelaku usaha impor makanan telah berhasil memanfaatkan peluang ini dengan menawarkan produk makanan impor yang halal dan berkualitas kepada konsumen Indonesia. Contohnya adalah PT Sukanda Djaya, yang merupakan distributor tunggal produk makanan dan minuman impor dari merek-merek ternama, seperti Anchor, Elle & Vire, Emborg, Président, dan Haagen-Dazs. Perusahaan ini telah mendapatkan sertifikat halal dari LPPOM MUI untuk produk-produknya dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, seperti supermarket, hotel, restoran, kafe, dan catering.
Makanan impor merupakan salah satu alternatif bagi konsumen Indonesia yang menginginkan produk makanan yang variatif dan berkualitas. Namun, makanan impor juga harus memenuhi standar halal yang diwajibkan oleh undang-undang di Indonesia.