Carok, sebuah tradisi duel mematikan yang telah lama melekat dalam masyarakat Madura, merupakan fenomena sosial yang kompleks dan kontroversial. Tradisi ini bukan sekadar pertarungan fisik, melainkan juga pertarungan nilai dan harga diri. Namun, di balik keberanian dan ketangguhan yang ditonjolkan, tersembunyi sejarah kelam yang sering terabaikan.
Asal-Usul Carok
Pada abad ke-18, Madura berada di bawah cengkeraman kolonial Belanda. Carok tidak dikenal sebelum kedatangan mereka. Tradisi ini muncul sebagai akibat dari strategi Belanda yang mengadu domba masyarakat Madura, dengan tujuan memecah belah dan memudahkan penguasaan. Carok, yang berarti “pertarungan” dalam bahasa Jawa/Kawi Kuno, menjadi simbol perlawanan dan kebrutalan.
Pemberontakan Sakera
Sakera, seorang mandor tani tebu dan jago bertarung, menjadi ikon perlawanan terhadap penjajah. Setelah pemberontakannya dipadamkan dan ia dihukum gantung, Belanda berusaha merusak citranya. Mereka mempersenjatai para Blater, jagoan yang menjadi kaki tangan penjajah, dengan clurit—senjata Sakera—untuk melakukan carok dan menekan pemberontakan.
Dampak Sosial Carok
Carok berdampak pada stigma sosial terhadap orang Madura. Mereka dilihat sebagai kasar dan brutal, padahal kebanyakan dari mereka adalah orang-orang agamis dan damai. Carok, yang semula adalah alat politik kolonial, berubah menjadi tradisi yang mengakar dan terkadang digunakan untuk menyelesaikan masalah pribadi.
Carok Madura adalah lebih dari sekadar tradisi. Ia adalah cerminan dari sejarah penindasan dan perlawanan, serta pengingat akan pentingnya memahami konteks sosial-historis dalam menilai sebuah tradisi. Meskipun carok masih ada hingga kini, ia harus dilihat sebagai bagian dari sejarah yang harus direfleksikan, bukan dipertahankan.