jlk – Warna putih, dengan segala simbolisme kesucian, kemurnian, dan kebaikan yang melekat padanya, telah lama menjadi standar kecantikan bagi banyak perempuan di Indonesia. Namun, sejarah panjang dan kompleks menyelimuti bagaimana dan kapan putih menjadi ukuran kecantikan di negeri yang mayoritas penduduknya memiliki kulit sawo matang.
Menurut buku berjudul “Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional” karya L. Ayu Saraswati, seorang sejarawan dan profesor studi perempuan di Universitas Hawaii, standar kecantikan putih bukanlah fenomena baru.
Bahkan sebelum kolonialisme Barat mencapai Indonesia, perempuan berkulit putih sudah dianggap sebagai lambang ideal kecantikan. Contoh paling nyata dapat ditemui dalam epos India, Ramayana, yang diadaptasi di Jawa pada akhir abad ke-9.
Namun, era kolonialisme Belanda memainkan peran krusial dalam membentuk dan memberi muatan rasial pada konsep kecantikan putih di Indonesia.
Cantik putih diidentikkan dengan ras Kaukasia, dan budaya Eropa yang diintroduksi oleh kolonialisme Belanda memperkuat persepsi ini. Kulit putih dianggap sebagai tanda status sosial dan kekayaan, sementara orang-orang berkulit gelap dianggap sebagai kelas bawah yang bekerja di bawah terik matahari.
Pada waktu itu, kolonialisme Belanda juga memunculkan sistem rasial yang membedakan antara pribumi, Indo (keturunan campuran Belanda dan pribumi), dan Belanda. Hal ini tidak hanya menciptakan ketidaksetaraan, tetapi juga menumbuhkan rasa minder dan inferioritas di kalangan perempuan pribumi yang memiliki kulit gelap.
Meskipun Indonesia mencapai kemerdekaan, standar kecantikan putih tidak lenyap begitu saja. Malah, industri kecantikan tumbuh pesat dengan memanfaatkan keinginan perempuan Indonesia untuk memiliki kulit putih.
Berbagai produk pemutih diperkenalkan dan diiklankan sebagai kunci kecantikan, kebahagiaan, kesuksesan, dan cinta. Industri ini juga melibatkan artis-artis berkulit putih atau berdarah campuran sebagai bintang iklan, yang lebih lanjut meneguhkan persepsi kecantikan yang sempit.
Dampak dari standar kecantikan putih ini sangatlah besar bagi perempuan Indonesia. Banyak yang merasa tidak percaya diri, tidak puas, bahkan membenci kulit mereka sendiri. Untuk mencapai standar ini, banyak perempuan rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar, mengorbankan kesehatan, bahkan mengambil risiko operasi plastik. Diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan juga sering kali dialami karena warna kulit.
Padahal, kecantikan sejati tidak dapat diukur dari warna kulit, bentuk tubuh, atau rambut. Kecantikan bersifat relatif, subjektif, dan beragam. Kecantikan berasal dari dalam diri, dari rasa percaya diri, kebahagiaan, dan mencintai diri sendiri.
Saatnya bagi perempuan Indonesia untuk membebaskan diri dari tekanan standar kecantikan yang sempit dan merayakan keberagaman yang ada.
Semua warna kulit, bentuk tubuh, dan rambut memiliki keunikan dan kecantikannya masing-masing. Membangkitkan kesadaran ini adalah langkah pertama menuju penerimaan diri yang sejati dan pembebasan dari norma-norma kecantikan yang terpatri dalam masyarakat.