Siapa yang tidak kenal dengan Syaikh Abdul Qodir Jailani? Beliau adalah seorang ulama besar yang dijuluki sebagai Sulthon Auliya, atau raja para wali. Beliau memiliki banyak karamah dan kedudukan tinggi di sisi Allah.
Tidak heran jika banyak umat Islam yang menghormati dan mengagumi beliau. Bahkan, ada yang menganggap beliau sebagai wali tertinggi yang tidak ada tandingannya.
Namun, kenapa Syaikh Abdul Qodir Jailaini saja?. Dalam banyak kesempatan, yang sering disebut ketika tahlilan, istighasah atau ketika pembukaan doa apapun adalah Syaikh AQJ. Sebagai orang yang lahir di tengah-tengah penduduk muslim tradisional di desa, saya penasaran, siapa orang itu? kok sering disebut-sebut?.
Bagaimana sebuah agama dibalut dengan mistisme atau mitos. Ada banyak cerita soal kesaktian, karomah atau keanehan yang diceritakan turun temurun mulut ke mulut tentang kesaktian para kyai, yang sampai saat ini entah, bagi saya masih hoax. Bukan tidak percaya pada kejadian luar biasa yang dilakukan oleh Tuhan. Allah maha segalanya.
Saya hanya tidak percaya pada cerita orang-orang karena pasti banyak palsunya. Sebuah cerita biasanyaa seringnya bertambah atau berkurang atau bahkan sumber asalnya berbohong demi sesuatu.
Seperti Karomah Abah Guru Sekumpul, yang bisa mengetahui hajat seseorang sebelum orang tersebut menyampaikannya, ini mirip Shelock Holmes dengan cara pikir deduktifnya yang mampu menebak dengan ketajaman penalaran logis, dan keterampilannya dalam menggunakan ilmu forensik untuk memecahkan berbagai kasus.
Karomah Kyai Raden Santri, yang merupakan pangeran dari Kerajaan Mataram Islam yang bisa membuat sendang dengan tongkatnya dan menghentikan banjir lahar dingin Gunung Merapi dengan doanya. Ya, saya percaya jika Tuhan mengijinkan, semua bisa terjadi. Tapi kapan gunung merapi itu terjadi, dan tahun berapa?
Karomah Kyai Kholil Bangkalan, yang merupakan salah satu ulama besar di Madura dan mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang bisa menghidupkan kembali seekor ayam yang sudah mati.
Baik, yang mati bisa hidup, itu kesaktiannya, tapi apa urgensinya menghidupkan ayam yang sudah mati. Lama-lama kok mirip film Brama Kumbara. Apakah cerita itu ada untuk membuat masyarakat patuh dan kagum, agar kyai Kholil dapat dengan mudah mengajarkan agama?
Saya percaya beliau adalah abdi Tuhan yang khusuk, tapi cerita-cerita magis tersebut justru tidak penting sebagai bumbu dari perjalanan hidup beliau. Siapa, kapan, dimana, bagaimananya tidak jelas.
Ada lagi, cerita-cerita kesaktian walisongo, seolah-olah Walisongo adalah seorang pendekar dalam drama kolosal. Padahal yang harus diceritakan adalah soal kedalaman ilmunya, ketabahannya, perjuangannya. Bukan cerita-cerita kesaktian.
Sayang, tampaknya banyak umat Islam yang lebih suka membaca manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani daripada membaca buku-buku ilmiah karya ilmuwan-ilmuwan Muslim. Sayang, tampaknya banyak umat Islam (khususnya di Indonesia) lebih suka mengetahui soal kesaktian dan cerita-cerita mistis.
Banyak yang lebih senang membaca amalan-amalan, hizib dan wirid-wirid mantra yang dikaitkan dengan beliau daripada membaca rumus-rumus dan teori-teori yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim.
Banyak yang lebih asyik mengikuti tarekat dan zikir-zikir yang mengatasnamakan beliau daripada mengikuti metode dan eksperimen yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim.
Ini adalah sebuah ironi dan paradoks yang menunjukkan kejumudan umat Islam saat ini. Mereka lebih mengagumi para wali atau kyai yang memiliki kesaktian supranatural, mistik atau karomah yang identik dengan mistik daripada ilmu pengetahuan dan sains.
Tak ada yang lebih terhormat daripada menjadi ilmuan. Mereka lebih memuja-muja Syaikh Abdul Qodir Jailani daripada menghormati ilmuwan-ilmuwan Muslim lainnya.
Padahal, jika kita melihat sejarah Islam, kita akan menemukan bahwa umat Islam pernah mengalami masa keemasan di bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.
Pada abad ketujuh, ketika sebagian besar Eropa terus mengalami masa dormansi intelektual yang panjang, revolusi akademis yang tenang namun kuat sedang meletus di sudut lain dunia.
Selama berabad-abad berikutnya, para genius masyarakat Muslim akan mendorong batas-batas pengetahuan sedemikian rupa sehingga inovasi mereka masih membentuk peradaban hingga saat ini.
Prestasi luar biasa yang diraih pria dan wanita ini memengaruhi perkembangan matematika, sains, teknik, dan kedokteran modern. Sebuah kemajuan peradaban itu ditandai dengan transformasi mitos ke logos dan tak hanya mengandalkan wahyu dan tradisi, tetapi juga menggunakan akal dan observasi.
Mereka tidak hanya mengikuti otoritas dan dogma, tetapi juga melakukan kritik dan eksplorasi. Mereka tidak hanya menyerap ilmu dari bangsa-bangsa lain, tetapi juga mengembangkan dan menyebarkannya.
Siapa saja mereka? Mereka adalah ilmuwan-ilmuwan Muslim yang memiliki nama-nama besar di dunia. Mereka adalah Jabir Ibn Haiyan, bapak kimia; Al-Khawarizmi, bapak aljabar; Al-Kindi, bapak filsafat Arab; Al-Dinawari, bapak botani; Ibnu Sina, bapak kedokteran; Al-Biruni, bapak geodesi; Al-Khawarizmi, bapak algoritma; dan masih banyak lagi.
Ilmuwan-ilmuwan Muslim adalah contoh nyata dari keselarasan antara ilmu dan iman. Mereka tidak puas dengan sekadar mengetahui fakta-fakta, tetapi juga ingin memahami hikmah-hikmah di baliknya.
Mereka tidak hanya berusaha menemukan jawaban-jawaban, tetapi juga menciptakan solusi-solusi. Mereka tidak hanya berbakti kepada Allah dengan ibadah-ibadah, tetapi juga dengan karya-karya dan menginspirasi kita untuk terus belajar, berkarya, dan beramal.
Mereka adalah ilmuwan-ilmuwan Muslim yang patut kita banggakan, kita hormati, dan kita tiru. Maka, marilah kita sebagai umat Islam tidak hanya mengagumi Syaikh Abdul Qodir Jailani sebagai Sulthon Auliya, tetapi juga mengagumi ilmuwan-ilmuwan Muslim lainnya sebagai Sulthon Ulum.
Sebagai umat Islam tidak hanya membaca Surat Al-Fatihah dan doa-doa untuk beliau, tetapi juga membaca buku-buku dan karya-karya ilmiah dari ilmuwan-ilmuwan Muslim.
Sebagai umat Islam tidak hanya mengikuti tarekat dan zikir-zikir yang mengatasnamakan beliau, tetapi juga mengikuti metode dan eksperimen yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim.
Dengan demikian, kita akan menjadi umat Islam yang tidak buta sejarah, tetapi cerdas dan berwawasan. Kita akan menjadi umat Islam yang tidak jumud, tetapi dinamis dan progresif. Kita akan menjadi umat Islam yang tidak hanya memiliki wali-wali, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan.
Kita akan menjadi umat Islam yang tidak hanya menghormati Sulthon Auliya, tetapi juga Sulthon Ilmu. Kita akan menjadi umat Islam yang tidak hanya beriman, tetapi juga berilmu.
Wallahu a’lam.