Di Kabupaten Sumenep, Madura, tempat hiburan malam seperti Mr. Ball, JBL, dan Lotus bukan sekadar bisnis—mereka adalah monumen hidup yang menguak paradoks kebijakan daerah. Layaknya patung yang bisa menari dangdut, di satu sisi pemerintah mengklaim diri sebagai “kota santri” dengan moralitas luhur; di sisi lain, mereka membiarkan tempat-tempat hiburan beroperasi bak mesin pencetak uang yang menggilas regulasi.
Ironisnya, ketika Polres Sumenep pada September 2023 dengan bangga mengumumkan “tidak ditemukan miras atau narkoba” dalam razia (Suara Madura, 17/9/2023), operasi Maret 2024 justru menyita 65 botol miras, 34 kaleng bir, dan 25 pengunjung tanpa identitas di lokasi yang sama (Media Jatim, 19/3/2024).
Apakah aparat tiba-tiba “melek” setelah setahun tertidur, atau ada skenario politis yang sengaja diatur? Seperti drama sinetron, penonton sudah bisa menebak plotnya, tapi tetap penasaran dengan episode selanjutnya.
Kepemilikan tempat-tempat ini oleh R, pengusaha yang dikabarkan dekat dengan ‘Ketua’, menjadi kunci teka-teki. Meski izin resminya hanya sebagai “kafe dan billiard” (Seputar Jatim, 15/3/2024), faktanya, Mr. Ball dan kawan-kawan beroperasi layaknya klub malam lengkap dengan miras dan wanita penghibur. Menurut kabar di media sih begitu, sebaiknya anda kroscek saja. Sebab saya tidak suka tempat begitu, gak kondusif dan bodoh.
“Yang ada izinnya hanya kafe, bukan hiburan malam,” tegas Kepala DPMPTSP Sumenep (Kabarmadura.id, 5/3/2024)—sebuah pengakuan yang justru mempermalukan birokrasi setempat. Bagaimana mungkin sebuah kafe bisa berubah jadi sarang miras tanpa izin? Mungkin ini versi lokal dari “Transformers”: dari warung kopi jadi discotech!
Padahal, Perda Nomor 3 Tahun 2022 Pasal 23 sudah jelas mengatur pencabutan izin bagi pelaku usaha yang menyediakan miras (Kabarmadura.id, 14/3/2024). Aparat seolah sengaja memakai kacamata kuda ketika membaca regulasi. Atau mungkin kacamata itu hanya dipakai saat razia, lalu disimpan di laci saat jam operasional hiburan dimulai.
Narasi “kota santri” yang diusung pun terlihat semakin jompo. Seperti kakek-kakek yang nekat naik sepeda motor, sambil menyebut prostitusi sebagai “dosa yang dibenci Allah”, Satpol PP justru mengakui ketidakberdayaan mereka: “Kami tak bisa menindak karena tak ada Perda yang mengatur sanksi,” kata pejabat setempat (Media Jatim, 20/3/2024).
Klaim ini mengabaikan Perda yang sudah ada, seolah hukum hanya berlaku untuk warung kopi kecil, bukan usaha milik orang dalam. Di Sumenep, regulasi ternyata punya dua wajah: satu untuk rakyat jelata, satu lagi untuk para ****. Mirip menu prasmanan: pilih pedas untuk rakyat, manis untuk penguasa.
Masyarakat tidak bodoh. Gerakan Aksi Mahasiswa Sumenep (GAMAS) nekat menyegel Cafe Mr. Ball secara mandiri, menyindir pemerintah yang “lebih takut kepada pemilik modal daripada Tuhan,” dan wuahh tuhan jadi senjata, ngeri bangeet (Media Pribumi, Maret 2024). Kalau begini terus, mahasiswa bisa buka usaha sampingan: “Jasa Segel Instan, Garansi 24 Jam! Dilindungi Tuhan” PMII Universitas Wiraraja bahkan turun ke jalan, menuntut penutupan tempat hiburan yang “meresahkan” (Madura Hallo, 11/3/2024).
“Kami muak dengan kebohongan ini. Jika memang kota santri, buktikan!” teriak salah satu demonstran. Dukungan juga datang dari Pesantren Annuqayah yang mengecam hiburan malam sebagai “penodaan identitas Sumenep” (Kabarmadura.id, 14/3/2024). Sayangnya, protes masyarakat hanya jadi riuh rendah tanpa tindak lanjut—sebuah bukti bahwa suara rakyat kalah volumenya oleh deru mesin uang. Suara rakyat? Di sini, yang lantang hanya mesin kasir.
Sementara Pemkab sibuk berdebat, generasi muda Sumenep memilih “hijrah” ke Surabaya. Data Dinas Pariwisata Jatim mencatat lonjakan 30% pengunjung klub Ibiza asal Madura sejak 2022 (Jawa Pos, 10/1/2024). “Di sini, kami dilarang nongkrong; di Surabaya, kami bisa menghirup kebebasan,” keluh Ahmad, nama arab tapi pemuda Sumenep (Madura Today, 14/3/2024).
Mungkin Pemkab perlu pasang spanduk: “Dilarang Muda-Mudi Berkumpul, Kecuali di Luar Kota!” Eksodus ini bukan sekadar pilihan hiburan, melainkan tamparan bagi pemerintah yang gagal menyediakan ruang sosialisasi sehat.
Alih-alih membangun taman kreatif atau ruang seni, Pemkab lebih memilih mengirim Satpol PP untuk menggerebek kafe—tindakan yang oleh pengamat hukum disebut sebagai “penegakan hukum pantomim” (Madura Channel, 15/3/2024). Layaknya pertunjukan wayang: gerak banyak, tapi tak ada yang nyata.
Di balik layar, bisnis hiburan malam ilegal ini adalah mesin uang yang menyokong kekuasaan. Investigasi Jawa Pos (5/3/2024) mengungkap bahwa Robin, sang pemilik, adalah donatur tetap partai penguasa.
“Mustahil tempat sebesar itu beroperasi selama Ramadan tanpa restu dari atas,” seseorang yang dikutip salah satu media (searching sendiri). Jika benar, maka penutupan sementara dan pembukaan kembali hiburan hanyalah ritual tahunan untuk menciptakan ilusi ketegasan.
Seperti puasa politikus: tutup mulut saat razia, buka lebar saat pilkada. Lazimnya, mau bagaimana lagi, hukum bukanlah pedang keadilan, melainkan pisau cukur yang hanya tajam untuk rakyat kecil. Kalau pejabat yang dicukur? Pakai gunting kuku pun enggan.
Kelemahan regulasi sengaja dipelihara sebagai senjata pembenaran. Meski Perda 3/2022 Pasal 23 memberi kewenangan pencabutan izin, Pemkab lebih memilih bersembunyi di balik alasan “harus koordinasi dengan tim” (Kabarmadura.id, 5/3/2024). Apa yang perlu dikoordinasikan? Apakah menutup bisnis ilegal memerlukan izin dari para “bekingan” terlebih dahulu? Koordinasi ala begini di negeri +62 ya rapat di kedai kopi, lalu pulang bawa amplop.
Ketidaktegasan ini bukan kebetulan, melainkan strategi untuk mempertahankan status quo—di mana elit bisa terus mengeruk keuntungan, sementara rakyat disuguhi drama razia yang tak pernah tuntas. Layaknya telenovela: konflik dipanjang-panjangin, solusi cuma di episode final.
Mencabut izin usaha yang tidak sah tanpa kompromi. Mengapa Mr. Ball masih bisa beroperasi di Pemkab meskipun izinnya hanya untuk kafe? Mungkin izinnya diperoleh melalui paket “bundle”: membeli kafe, mendapatkan klub malam secara gratis!
Merombak Perda dengan memberlakukan sanksi yang progresif, seperti denda harian bagi pelanggar dan pemblokiran rekening usaha yang tidak sah. Jika perlu, sanksinya dapat mengikuti sistem tarif ojek online: semakin lama pelanggaran, semakin mahal sanksinya!
Melakukan audit independen terhadap hubungan Robin dengan pejabat – langkah ini pasti akan mengungkap hubungan yang selama ini tersembunyi. Audit ini bisa dijadikan acara realitas: “Siapa yang Bertanggung Jawab di Dunia Hiburan Malam?”
Membuat ruang hiburan alternatif yang dikelola oleh pemerintah atau komunitas, sehingga pemuda tidak perlu “membeli” kebebasan di Surabaya. Contohnya adalah “Taman Santri Nongkrong” dengan layanan wifi gratis dan larangan untuk membahas politik!.
Namun, semua ini masih utopia. Hingga kini, Pemkab lebih memilih menjadi dalang dalam teater absurd, di mana hukum adalah boneka yang hanya menari saat kamera menyala. Razia digelar untuk pilkada, surat peringatan dikeluarkan untuk pencitraan, sementara bisnis hiburan ilegal terus berdenyut seperti jantung yang tak pernah berhenti. Kalau jantungnya sudah korup, bagaimana bisa kota ini sehat?
Pada akhirnya, Sumenep adalah cermin buram Indonesia: kota tempat agama dijadikan tameng, hukum dijadikan lelucon, dan kekuasaan dijadikan tuhan. “Kami ingin jadi kota santri, tapi tak mau kehilangan pendapatan dari hiburan malam,” mungkin begitu bisik hati para pejabat.
Seperti pedagang bakso yang jual miras: “Bakso halal, kuahnya… eh, ada bonusnya!” Sementara generasi muda hanya bisa menatap pilu, terombang-ambing antara identitas yang dipaksakan dan realitas yang diingkari.
Sumenep tak perlu memilih antara menjadi kota santri atau kota hiburan. Ia hanya perlu menjadi kota yang jujur—mengakui bahwa selama ini, yang dijual bukanlah moralitas, melainkan kemunafikan. Sebab, seperti kata pepatah, “Lebih baik menghadapi cermin retak daripada memakai topeng suci yang palsu.”