Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan sekitar 100 juta pengikut. Sebagai organisasi yang memiliki pengaruh besar di masyarakat, NU tentu menjadi incaran para elite politik untuk memperebutkan suara Nahdliyin dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun, sikap NU dalam Pilpres 2024 tidaklah monolitik, melainkan beragam dan dinamis.
Di satu sisi, ada pihak yang menginginkan NU tetap menjaga netralitasnya sebagai organisasi keagamaan yang fokus pada kegiatan sosial, pendidikan, dan dialog antaragama. Mereka berpegang pada “khittah 1926”, yaitu prinsip dan pedoman asli NU yang ditetapkan pada tahun berdirinya organisasi ini. Mereka juga menghormati pernyataan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) yang menegaskan bahwa NU bukan partai politik dan tidak terlibat dalam urusan kandidasi capres-cawapres.
Di sisi lain, ada pihak yang menganggap NU harus berperan aktif dalam politik praktis, baik sebagai penentu maupun pendukung capres-cawapres. Mereka berpendapat bahwa NU memiliki tanggung jawab moral untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan kriteria NU, yaitu memiliki komitmen tinggi terhadap NKRI dan Pancasila, memiliki keberpihakan dan kebijakan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memiliki kedekatan sosiologis dan tradisi NU. Mereka juga melihat bahwa NU memiliki potensi elektoral yang besar dan dapat memengaruhi hasil Pilpres 2024.
Keterlibatan NU dalam politik praktis tidak terlepas dari keterkaitannya dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang didirikan sebagai wadah “NU politik”. PKB saat ini mendukung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebagai capres-cawapres di Pilpres 2024. Dukungan ini juga didapat dari beberapa tokoh NU, seperti Sekretaris Jenderal PBNU Syaifullah Yusuf (Gus Ipul), mantan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, dan lembaga pendidikan Islam, seperti Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.
Namun, dukungan PKB dan sebagian tokoh NU kepada Anies-Muhaimin tidak serta merta diikuti oleh seluruh warga NU. Ada juga yang lebih memilih pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang juga mendapat dukungan tidak langsung dari Gus Yahya, Gubernur Jawa Timur dan Ketua Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa, serta relawan Gus Ipul. Ada pula yang lebih memilih pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, yang juga mendapat dukungan dari salah satu Ketua PBNU Yenny Wahid.
Keberagaman sikap NU dalam Pilpres 2024 ini menunjukkan bahwa NU bukanlah organisasi yang homogen dan statis, melainkan heterogen dan dinamis. NU juga bukanlah organisasi yang terisolasi dan apolitis, melainkan terbuka dan responsif terhadap perkembangan politik di Indonesia. NU memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam menentukan nasib bangsa, sekaligus menjaga integritas dan identitasnya sebagai organisasi Islam yang moderat dan toleran.