Dalam sebuah pengungkapan yang mengejutkan, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Hendry Lie, pendiri dan Direktur Sriwijaya Air, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi timah yang melibatkan PT Timah Tbk (TINS).
Penetapan ini mengikuti serangkaian penyelidikan yang mengungkap peran Lie dalam membentuk perusahaan-perusahaan boneka untuk memfasilitasi aktivitas ilegal.
Menurut laporan Kejagung, Lie diduga berperan dalam pembentukan CV BPR dan CV SMS, dua entitas yang diduga terlibat dalam kegiatan korupsi timah.
Bersama adiknya, ia juga diduga berperan dalam pengkondisian pembiayaan kerja sama penyewaan peralatan peleburan timah, yang pada dasarnya merupakan bungkus aktivitas pengambilan timah dari IUP PT Timah.
Profil Hendry Lie, yang dikenal sebagai sosok penting di balik maskapai Sriwijaya Air, kini tercoreng dengan tuduhan korupsi. Lie, yang lahir di Pangkal Pinang pada tahun 1965, memulai kariernya di industri garmen sebelum beralih ke bisnis penerbangan.
Sriwijaya Air, didirikan pada 10 November 2002 oleh Lie bersama Chandra Lie, Johannes Bunjamin, dan Andy Halim, telah berkembang menjadi salah satu maskapai terkemuka di Indonesia.
Kasus ini menyoroti masalah yang lebih luas dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, di mana korupsi sering kali menghambat potensi ekonomi yang seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
Penetapan Lie sebagai tersangka merupakan langkah penting dalam upaya pemberantasan korupsi, namun juga mengingatkan kita bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk membersihkan sektor-sektor vital dari praktik-praktik ilegal.
Dengan penetapan ini, Kejagung menunjukkan komitmennya untuk menindak tegas pelaku-pelaku korupsi, tidak peduli seberapa tinggi posisi mereka.
Ini adalah pesan yang jelas bahwa tidak ada yang kebal hukum, dan bahwa pemerintah serius dalam upaya memerangi korupsi.
Penetapan tersangka terhadap Lie dan adiknya merupakan bagian dari penyelidikan yang lebih besar yang melibatkan lima tersangka baru dalam kasus korupsi komoditas timah.
Tiga di antaranya adalah regulator yang diduga dengan sengaja menerbitkan dan menyetujui rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) dari perusahaan-perusahaan terkait, meskipun tidak memenuhi syarat.
RKAB tersebut diduga tidak digunakan untuk kegiatan penambangan yang sah, melainkan untuk melegalkan perdagangan timah yang diperoleh secara ilegal.
Kasus ini masih berkembang, dan publik menantikan tindakan lebih lanjut dari Kejagung untuk mengungkap seluruh jaringan korupsi yang terlibat.
Dengan adanya kasus ini, diharapkan dapat menjadi titik balik dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam yang merupakan warisan bagi generasi mendatang.