Masa iddah adalah masa tunggu yang harus dijalani oleh seorang perempuan yang bercerai dengan suaminya, baik karena ditalak maupun ditinggal mati. Selama masa iddah, perempuan tersebut tidak boleh menikah lagi dengan laki-laki lain, kecuali dengan mantan suaminya yang telah menceraikannya. Masa iddah ini memiliki hikmah dan tujuan yang mulia, yaitu untuk menjaga kehormatan, keturunan, dan hak-hak perempuan yang bercerai.
Namun, masa iddah juga menimbulkan berbagai persoalan, terutama bagi perempuan yang ingin segera menikah lagi dengan laki-laki pilihannya. Apalagi, masa iddah ini berbeda-beda lamanya, tergantung pada kondisi perempuan tersebut. Ada yang hanya tiga bulan, ada yang empat bulan sepuluh hari, ada yang tiga kali suci, dan ada yang sampai melahirkan. Bagaimana cara menghitung masa iddah ini? Apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama masa iddah? Bagaimana hukumnya jika melanggar masa iddah? Dan apa saja tantangan dan solusi yang dihadapi oleh perempuan yang menjalani masa iddah?
Menghitung Masa Iddah
Masa iddah ditentukan berdasarkan dalil-dalil syariat yang berasal dari Al-Quran dan Hadis. Berikut adalah beberapa ayat Al-Quran yang mengatur tentang masa iddah:
- Masa iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah istri-istri itu menahan diri (menunggu) selama empat bulan sepuluh hari. Apabila mereka telah mencapai akhir masa menunggu itu, maka tidak ada dosa atas kamu terhadap apa yang mereka perbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 234)
- Masa iddah perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil
“Dan para wanita yang hamil, masa iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)
- Masa iddah perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan tidak hamil, sudah pernah berhubungan badan, dan masih haid
“Orang-orang yang menalak isteri-isterinya, kemudian hendak kembali (rujuk) kepada mereka, hendaklah menunggu sampai isteri-isteri itu haid, kemudian bersuci. Maka jika mereka (suami-suami) hendak rujuk, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 228)
- Masa iddah perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan tidak hamil, sudah pernah berhubungan badan, dan tidak haid (belum pernah haid atau sudah menopause)
“Dan orang-orang yang yaitu (meragukan) tentang isteri-isteri mereka (yang sudah tua) yang tiada mendapat haid lagi, maka masa menunggu mereka adalah tiga bulan, demikian pula bagi orang-orang yang belum haid. Dan masa menunggu bagi orang-orang yang hamil adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberinya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)
Dari ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa masa iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, masa iddah perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil adalah sampai melahirkan, dan masa iddah perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan tidak hamil dan tidak haid adalah tiga bulan.
Lalu, bagaimana dengan masa iddah perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan tidak hamil dan masih haid? Ayat Al-Baqarah: 228 di atas hanya menyebutkan bahwa mereka harus menunggu sampai haid dan bersuci, tetapi tidak menyebutkan berapa kali haid dan suci yang harus dilewati. Untuk menjawab hal ini, kita harus merujuk kepada Hadis Nabi Muhammad SAW, yang bersabda:
“Talak itu adalah tiga kali suci.” (HR. Abu Dawud, no. 2194, dishahihkan Al-Albani)
Dari Hadis ini, dapat dipahami bahwa masa iddah perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan tidak hamil dan masih haid adalah tiga kali suci, yaitu tiga kali masa antara dua haid. Masa ini berbeda-beda untuk setiap perempuan, tergantung pada siklus haidnya. Ada yang haidnya teratur, ada yang tidak. Ada yang haidnya singkat, ada yang panjang. Ada yang suci nya lama, ada yang sebentar. Oleh karena itu, tidak ada ukuran waktu yang pasti untuk masa iddah ini. Yang penting, perempuan tersebut harus menghitung tiga kali suci sejak perceraian terjadi.
Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menghitung masa iddah tiga kali suci ini, yaitu:
- Batas minimal dan maksimal haid dan suci
Menurut pendapat yang rajih (kuat) dari ulama, batas minimal haid adalah satu hari satu malam, batas maksimal haid adalah lima belas hari, batas minimal suci adalah tiga belas hari, dan batas maksimal suci adalah tidak terbatas. Jika haid atau suci melebihi atau kurang dari batas tersebut, maka harus dilihat apakah ada penyebab yang mendasarinya, seperti penyakit, kehamilan, menyusui, atau lainnya. Jika ada, maka harus disesuaikan dengan kondisi tersebut. Jika tidak ada, maka harus dikembalikan kepada kebiasaan atau adat yang lazim. (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 1, hal. 202-205)
- Perbedaan antara haid dan istihadah
Haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan secara berkala, yang disertai dengan ciri-ciri tertentu, seperti warna merah tua, bau amis, dan rasa sakit. Sedangkan istihadah adalah darah yang keluar dari rahim perempuan secara tidak teratur, yang tidak disertai dengan ciri-ciri tersebut, seperti warna merah muda, bau busuk, dan tidak ada rasa sakit. Darah haid dan istihadah ini memiliki pengaruh yang berbeda terhadap masa iddah. Darah haid dianggap sebagai bagian dari masa iddah, sedangkan darah istihadah tidak. Oleh karena itu, perempuan yang mengalami istihadah harus membedakan antara darah haid dan darah istihadah, dan menghitung masa iddahnya berdasarkan darah haid saja. (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 1, hal. 206-209)
- Perbedaan antara talak ba’in dan talak raj’i
Talak ba’in adalah talak yang menyebabkan putusnya ikatan perkawinan secara permanen, sehingga suami tidak bisa merujuk kembali kepada istrinya, kecuali dengan akad nikah baru dan mahar baru. Talak ba’in terjadi jika suami telah mencapai talak ketiga, atau talak pertama atau kedua dengan lafadz yang menunjukkan kepastian, seperti “Aku talak kamu tiga kali” atau “Aku talak kamu selamanya”. Sedangkan talak raj’i adalah talak yang menyebabkan putusnya ikatan perkawinan secara sementara, sehingga suami masih bisa merujuk kembali kepada istrinya tanpa akad nikah baru dan mahar baru, selama masa iddah belum berakhir.