Pakaian Adat di Agustusan, Indah di Kamera, Pahit di Realita

zajpreneur By zajpreneur
5 Min Read
Pakaian Adat di Agustusan, Indah di Kamera, Pahit di Realita (Ilustrasi)
Pakaian Adat di Agustusan, Indah di Kamera, Pahit di Realita (Ilustrasi)

jlk – 17 Agustus, langit Jakarta dan IKN (Ibu Kota Nusantara) diwarnai dengan parade busana adat yang dikenakan para pejabat negara.

Dari Presiden Jokowi dengan pakaian adat Kostum hingga Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka yang tampil gagah dengan pakaian adat Papua bersama putranya.

Ini seharusnya tidak seperti festival budaya dadakan yang ditonton seluruh rakyat Indonesia. Apakah pakaian adat ini benar-benar penghormatan terhadap budaya lokal, atau sekadar kostum dalam panggung politik?.

Simbolisme yang Kosong

Di balik kilau pakaian adat di panggung kenegaraan, ada realitas pahit yang dirasakan masyarakat adat, terutama mereka yang tinggal di kawasan IKN.

- Advertisement -

Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) dengan tegas menyebut bahwa penggunaan pakaian adat oleh pejabat negara hanyalah pencitraan kosong.

Mereka menyoroti bagaimana simbol budaya ini tidak diikuti dengan tindakan konkret untuk melindungi masyarakat adat yang justru menjadi korban dari pembangunan masif.

Misalnya, masyarakat adat di Sepaku, Kalimantan Timur, tempat proyek IKN dibangun, kini menghadapi ancaman penggusuran. Sebanyak 20 ribu warga adat, yang telah mendiami tanah ini selama ratusan tahun, berisiko kehilangan tanah leluhur mereka.

Penggusuran ini merupakan ancaman besar terhadap identitas budaya mereka. Jika tanah ini hilang, maka terputuslah ikatan mereka dengan sejarah dan leluhur mereka.

Ini adalah bentuk genosida budaya.

- Advertisement -

Dialog yang Diabaikan

Pembangunan IKN, yang seharusnya menjadi kebanggaan bangsa, justru membawa malapetaka bagi masyarakat adat. Sejak awal, mereka tidak dilibatkan dalam proses perencanaan.

Sosialisasi yang dilakukan pemerintah dilakukan setelah kebijakan ditetapkan, meninggalkan masyarakat adat tanpa kesempatan untuk mempengaruhi arah pembangunan yang mengancam tanah mereka.

Bahkan, ada kesan bahwa pemerintah sengaja mengabaikan masyarakat adat. Seperti yang diungkapkan Margaretha Seting Beraan, tokoh adat sekaligus Ketua AMAN Kalimantan Timur, pemerintah lebih memilih bernegosiasi dengan pihak-pihak yang mudah dikendalikan, yang tidak akan kritis terhadap proyek ini.

- Advertisement -

Ini memperkuat kesan bahwa pembangunan IKN dikebut bukan demi kemakmuran bersama, melainkan demi ambisi politik yang mengejar target masa jabatan.

Konflik Tanah dan Kebijakan yang Diskriminatif

Isu tanah menjadi sorotan utama dalam konflik ini. Banyak tanah di sekitar kawasan IKN sebenarnya adalah tanah komunal yang dimiliki bersama oleh masyarakat adat.

Namun, pemerintah memberikan hak konsesi kepada perusahaan besar, menebang hutan-hutan dan mengubah lanskap ekologis yang selama ini dijaga oleh masyarakat adat.

Lebih parah lagi, dalam pandangan pemerintah, siapa pun yang tidak bisa membuktikan kepemilikan tanahnya dianggap tidak memiliki hak atas tanah tersebut.

Ini membuka pintu bagi penggusuran paksa, di mana masyarakat adat dipaksa untuk menerima keputusan yang jelas-jelas tidak adil.

Pola pikir ini mengingatkan pada politik kolonial Belanda, di mana tanah rakyat diambil alih tanpa kompromi.

Sebuah Panggung Kosong?

Jadi, bagaimana kita memandang pejabat yang berbalut pakaian adat dalam upacara kenegaraan? Apa yang ingin disampaikan oleh mereka melalui pakaian ini?

Apakah ini tanda hormat terhadap keragaman budaya Indonesia? Atau hanya sebuah “show” yang menutupi ketidakadilan di lapangan?

Di sini terlihat jelas bahwa pakaian adat yang dikenakan oleh pejabat negara lebih cenderung menjadi simbol kosong.

Ini bukanlah penghormatan yang tulus terhadap budaya lokal, melainkan bagian dari drama politik yang mencoba menampilkan kesan keberpihakan.

Sementara itu, masyarakat adat yang seharusnya menjadi penerima penghormatan justru dihancurkan oleh kebijakan pembangunan yang mengabaikan hak-hak mereka.

Penutup

Pada akhirnya, pakaian adat yang dikenakan pejabat negara hanyalah aksesoris dari sebuah panggung politik yang penuh dengan kepalsuan.

Seperti kostum dalam teater, pakaian adat ini hanya digunakan untuk menciptakan citra yang kontras dengan kenyataan di lapangan.

Masyarakat adat tidak hanya membutuhkan penghargaan simbolis; mereka butuh tindakan nyata, perlindungan hukum, dan penghormatan terhadap hak-hak mereka yang telah terabaikan selama ini.

Jika ingin menghormati budaya lokal, pejabat negara tidak hanya cukup dengan memakai pakaian adat di acara seremonial.

Mereka harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat. Sampai itu terjadi, pakaian adat ini tidak lebih dari kostum dalam sandiwara politik yang sama sekali tidak menghibur.

Share This Article