Dari perbandingan pandangan Sri Mulyani dan Prabowo soal rasio pajak, kita dapat melihat bahwa keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan, baik dari segi asumsi, target, maupun strategi.
Sri Mulyani cenderung lebih realistis dan hati-hati dalam menetapkan target rasio pajak, dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak, seperti basis pajak, kebijakan pajak, dan kondisi ekonomi.
Prabowo cenderung lebih optimistis dan ambisius dalam menetapkan target rasio pajak, dengan mengacu pada pencapaian negara-negara tetangga dan mengandalkan potensi sumber daya alam Indonesia.
Pertanyaannya adalah, siapa yang lebih tepat dalam menilai rasio pajak Indonesia? Apakah Sri Mulyani yang terlalu konservatif dan pesimis, atau Prabowo yang terlalu progresif dan optimis? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat lebih dalam tentang apa yang menjadi dasar dan dampak dari rasio pajak itu sendiri.
Rasio pajak bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai tujuan pembangunan. Rasio pajak yang tinggi tidak selalu berarti baik, jika tidak diimbangi dengan efisiensi dan efektivitas pengeluaran pemerintah.
Sebaliknya, rasio pajak yang rendah tidak selalu berarti buruk, jika diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kualitas pelayanan publik yang baik.
Oleh karena itu, rasio pajak harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah, serta kesejahteraan dan keadilan masyarakat.
Untuk meningkatkan rasio pajak, tidak cukup hanya dengan menaikkan tarif pajak atau memperluas objek pajak. Hal ini bisa jadi malah menimbulkan efek samping yang negatif, seperti menghambat investasi, mengurangi daya saing, dan meningkatkan ketimpangan.
Yang dibutuhkan adalah reformasi perpajakan yang komprehensif dan berkelanjutan, yang meliputi aspek hukum, administrasi, teknologi, dan sosial.
Reformasi perpajakan harus bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan dan kesadaran pajak, memperbaiki sistem dan proses perpajakan, menghapus praktik-praktik yang merugikan, dan memberantas korupsi dan penghindaran pajak.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Sri Mulyani lebih realistis dan rasional dalam menangani masalah rasio pajak Indonesia, dibandingkan dengan pandangan Prabowo.
Namun, ini bukan berarti pandangan Prabowo salah atau tidak relevan. Sebagai negara demokrasi, Indonesia membutuhkan berbagai pandangan dan ide untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya.
Oleh karena itu, perbedaan pandangan antara Sri Mulyani dan Prabowo seharusnya dijadikan sebagai bahan diskusi dan refleksi, bukan sebagai alat perpecahan atau konflik.