Pemborongan pekerjaan atau outsourcing adalah salah satu bentuk kegiatan usaha yang banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Dengan menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, perusahaan dapat menghemat biaya, meningkatkan efisiensi, dan fokus pada kegiatan utama. Namun, pemborongan pekerjaan juga menimbulkan berbagai persoalan hukum, terutama terkait dengan perlindungan pekerja dan syarat-syarat perusahaan pemborong pekerjaan.
Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan pemborong pekerjaan adalah berbentuk badan hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Pasal tersebut menyatakan bahwa perusahaan alih daya, termasuk perusahaan pemborong pekerjaan, berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah pusat.
Lalu, apa yang dimaksud dengan badan hukum? Menurut Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), badan hukum adalah perhimpunan orang-orang yang diakui undang-undang sebagai persona atau sebagai orang. Badan hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu badan hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan oleh negara atau pemerintah untuk melaksanakan kekuasaan umum, seperti pemerintah daerah, lembaga negara, atau badan usaha milik negara. Badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan oleh orang-orang atau badan hukum lain untuk tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan, seperti perseroan terbatas, koperasi, atau yayasan.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan pemborong pekerjaan harus berbentuk badan hukum privat, karena tujuannya adalah untuk melakukan kegiatan usaha. Namun, apakah semua bentuk badan usaha merupakan badan hukum? Jawabannya adalah tidak. Ada beberapa bentuk badan usaha yang tidak memiliki status badan hukum, seperti persekutuan firma, persekutuan komanditer, atau commanditaire vennootschap (CV). Bentuk-bentuk badan usaha ini hanya dianggap sebagai perseroan perdata sejati, yang berarti hanya merupakan perjanjian kerjasama antara para pendirinya, tanpa memiliki kepribadian hukum tersendiri.
Lantas, apa bedanya antara badan hukum dan badan usaha yang bukan badan hukum? Salah satu perbedaan yang mendasar adalah terkait dengan tanggung jawab hukum. Badan hukum memiliki tanggung jawab hukum yang terpisah dari tanggung jawab hukum para pendirinya. Artinya, jika badan hukum melakukan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi, maka yang bertanggung jawab adalah badan hukum itu sendiri, bukan para pendirinya. Sebaliknya, badan usaha yang bukan badan hukum tidak memiliki tanggung jawab hukum yang terpisah dari tanggung jawab hukum para pendirinya. Artinya, jika badan usaha yang bukan badan hukum melakukan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi, maka yang bertanggung jawab adalah para pendirinya secara pribadi.
Perbedaan ini tentu berdampak pada perlindungan hukum bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan pemborong pekerjaan. Jika perusahaan pemborong pekerjaan berbentuk badan hukum, maka pekerja memiliki hak untuk menuntut ganti rugi atau pemenuhan hak-haknya kepada badan hukum tersebut, tanpa harus melibatkan para pendirinya. Jika perusahaan pemborong pekerjaan tidak berbentuk badan hukum, maka pekerja harus menuntut ganti rugi atau pemenuhan hak-haknya kepada para pendiri perusahaan secara pribadi, yang tentu lebih sulit dan rumit.
Oleh karena itu, syarat berbadan hukum bagi perusahaan pemborong pekerjaan sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi pekerja. Namun, kenyataannya, masih banyak perusahaan pemborong pekerjaan yang tidak memenuhi syarat ini. Menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan, pada tahun 2019, terdapat 2.569 perusahaan alih daya yang terdaftar, namun hanya 1.583 yang berbadan hukum. Artinya, masih ada 986 perusahaan alih daya yang tidak berbadan hukum, atau sekitar 38 persen dari total perusahaan alih daya yang terdaftar.
Hal ini tentu menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mengawasi dan menegakkan ketentuan hukum terkait dengan pemborongan pekerjaan. Apalagi, dengan berlakunya UU Cipta Kerja, pemerintah tidak lagi mengatur jenis pekerjaan yang boleh diserahkan kepada perusahaan alih daya, melainkan hanya mengatur perlindungan pekerja, upah, dan kesejahteraan pekerja. Hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan pemborongan pekerjaan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dan tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat dalam pemborongan pekerjaan, baik perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan pemborong pekerjaan, maupun pekerja itu sendiri. Perusahaan pemberi pekerjaan harus memilih perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum dan memiliki perizinan berusaha yang sah. Perusahaan pemborong pekerjaan harus memenuhi syarat-syarat hukum dan memberikan perlindungan yang layak bagi pekerja. Pekerja harus mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka sebagai pekerja alih daya dan berani menuntut jika hak-hak mereka dilanggar. Dengan demikian, pemborongan pekerjaan dapat menjadi solusi yang menguntungkan bagi semua pihak, tanpa mengorbankan hak-hak dan kesejahteraan pekerja.
Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan informasi yang Anda butuhkan. Jika Anda memiliki pertanyaan, saran, atau kritik, silakan tulis di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.