jlk – Rapat paripurna DPR ke-13 pada Selasa, 5 Maret 2024, menjadi panggung drama politik yang penuh ironi. Di tengah desakan penggunaan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024, terjadi perbedaan sikap antara fraksi-fraksi yang ada di parlemen.
Tiga fraksi, yaitu PKS, PKB, dan PDIP, mengusulkan penggunaan hak angket sebagai instrumen konstitusional untuk menjawab kecurigaan dan praduga masyarakat. Sementara itu, dua fraksi lain, yaitu Demokrat dan Gerindra, menolak usulan tersebut dengan berbagai alasan.
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hak angket diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UUD 1945, Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, dan Pasal 202 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3)².
Dalam konteks Pemilu 2024, hak angket dapat digunakan untuk mengklarifikasi dugaan kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah atau penyelenggara pemilu, seperti penyalahgunaan fasilitas negara, intimidasi, manipulasi data, atau pelanggaran aturan lainnya.
Hak angket juga dapat menjadi sarana untuk menguji kredibilitas dan akuntabilitas pemerintah atau penyelenggara pemilu, serta untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi peserta pemilu.
Namun, tidak semua fraksi di DPR sepakat dengan penggunaan hak angket. Fraksi Demokrat dan Fraksi Gerindra menilai bahwa hak angket tidak diperlukan dan tidak relevan dengan kepentingan masyarakat.
Mereka berpendapat bahwa hak angket hanya akan membuang-buang waktu, energi, dan anggaran, serta mengganggu stabilitas politik dan ekonomi. Mereka juga menuding bahwa hak angket hanya merupakan agenda politik tertentu untuk menggoyahkan pemerintahan yang sah.
Ironisnya, sikap Fraksi Demokrat dan Fraksi Gerindra ini bertolak belakang dengan sikap mereka pada tahun 2017, ketika mereka mengusulkan hak angket untuk mengusut dugaan keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
Saat itu, mereka berdalih bahwa hak angket adalah hak konstitusional yang harus dihormati dan dilaksanakan. Mereka juga mengklaim bahwa hak angket adalah bentuk pengawasan DPR terhadap pemerintah, serta bentuk aspirasi rakyat yang harus didengar.
Perubahan sikap Fraksi Demokrat dan Fraksi Gerindra ini menunjukkan betapa rapuhnya prinsip dan konsistensi mereka dalam menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan. Mereka tampak lebih mementingkan kepentingan politik sesaat daripada kepentingan nasional jangka panjang. Mereka juga tampak lebih memilih untuk membela pemerintah daripada melayani rakyat.
Drama hak angket ini juga menunjukkan betapa rendahnya kualitas demokrasi di Indonesia. Seharusnya, hak angket adalah instrumen yang dapat meningkatkan partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Namun, kenyataannya, hak angket sering disalahgunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik tertentu, baik untuk menyerang maupun membela pemerintah. Hak angket juga sering diabaikan atau ditolak oleh mayoritas fraksi yang bersekutu dengan pemerintah, sehingga mengabaikan hak minoritas fraksi yang berseberangan dengan pemerintah.
Dengan demikian, rapat paripurna DPR yang membahas hak angket menjadi cerminan dari kondisi politik di Indonesia yang penuh ironi. Di satu sisi, kita memiliki konstitusi dan undang-undang yang mengatur hak dan kewajiban DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Di sisi lain, kita memiliki praktik politik yang sering menyimpang dari konstitusi dan undang-undang tersebut. Kita juga memiliki rakyat yang berharap agar DPR dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik. Namun, kita juga memiliki DPR yang sering mengecewakan rakyat dengan perilaku dan kinerjanya yang buruk.
Oleh karena itu, kita perlu terus mengawasi dan mengkritisi DPR agar dapat menjalankan hak angket dengan benar dan bertanggung jawab. Kita juga perlu mendukung dan mendorong DPR agar dapat menggunakan hak angket sebagai sarana untuk mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan.
Kita juga perlu memilih dan mengawasi anggota DPR agar dapat mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Hanya dengan demikian, kita dapat mengharapkan adanya perbaikan dalam sistem politik dan demokrasi di Indonesia.