Seumur hidupku, saya baru saja nonton acara Brownies, yang entah saya ‘eneg’ menontonnya. Dari judul videonya di YouTube, bintang tamu yang diundang tampaknya punya informasi lebih menarik.
Apa yang terjadi setelah saya klik untuk menonton adalah saya buru-buru membaca komentar netizen yang lain. Mereka menyoroti satu hal.
Kehadiran pelawak di panggung hiburan selalu dianggap sebagai mekanisme pelarian, penghiburan bagi penonton yang lelah dengan hiruk-pikuk hidup.
Ketika komedi dijadikan dalih untuk melucuti nilai-nilai dasar seperti sopan santun dan penghormatan terhadap orang lain, yang terjadi adalah degradasi moralitas publik.
Acara seperti Brownis ini telah menjadi bukti konkret bagaimana hiburan murahan menyelinap ke dalam budaya populer kita, merampas ruang untuk percakapan yang bermutu dan mendalam.
Host-host yang berperan seolah pelawak ini lupa bahwa tidak semua situasi layak dihadapi dengan cengengesan, apalagi jika yang dilucuti adalah pengalaman hidup dan cerita orang lain.
Penghormatan adalah dasar interaksi sosial yang dibangun dari prinsip interpersonal respect, di mana kita menghargai posisi subjektif orang lain.
Ketika seorang bintang tamu diundang, hal paling minim yang bisa dilakukan host adalah mendengarkan dengan penuh perhatian, bukan sekadar menunggu giliran untuk melontarkan lelucon usang.
Alih-alih menjadi medium untuk berbagi cerita, acara ini menjadi panggung dominasi para host, memotong pembicaraan tamu dengan ketidakpekaan yang memuakkan.
Penonton jelas tidak datang untuk mendengar host berisik, mereka datang untuk belajar sesuatu dari pengalaman tamu. Namun, acara ini seolah mengajarkan bahwa noise lebih penting daripada content, bahwa kekacauan verbal lebih dihargai daripada makna yang ingin disampaikan.
Masalah lain yang muncul adalah hilangnya batasan etis dalam penggunaan komedi. Pelawak bukan berarti punya kebebasan absolut untuk bersikap seenaknya.
Mereka tetap terikat pada norma sosial yang berlaku, di mana setiap kata dan tindakan harus dipikirkan dengan matang sebelum dilontarkan ke publik.
Inilah yang tidak dipahami oleh para host di Brownis, di mana humor rendah dijadikan senjata untuk menembus percakapan serius tanpa peduli dampak psikologis maupun sosialnya.
Mereka lupa bahwa peran pelawak bukanlah merusak diskusi, tetapi justru memperkaya dengan perspektif yang segar tanpa kehilangan esensi penghargaan terhadap lawan bicara.
Ironisnya, para host yang terlibat dalam acara ini sering kali menjadi bukti dari ketidakmampuan industri hiburan kita untuk beradaptasi dengan kebutuhan intelektual penonton.
Mereka bukan sekadar tidak lucu, tetapi juga tidak tahu bagaimana cara menciptakan ruang dialog yang sehat. Komedi yang cerdas adalah tentang memilih momen yang tepat untuk menertawakan sesuatu, bukan tentang merampas kesempatan berbicara dari orang lain.
Maka, kritik pedas dari penonton di kolom komentar adalah refleksi dari kekecewaan mendalam terhadap industri yang lebih peduli pada rating daripada kualitas interaksi manusia.
Jika kita melihat lebih dalam, fenomena ini juga bisa dibaca sebagai simptom dari penyakit yang lebih besar dalam dunia hiburan kita: kapitalisme hiburan yang memburu cuan tanpa peduli pada nilai-nilai substansial yang dikorbankan.
Setiap tawa yang dipaksakan, setiap kalimat yang dipotong, semuanya diarahkan untuk satu tujuan: rating dan iklan.
Tak peduli berapa banyak percakapan bermakna yang hilang, yang penting acara tetap berjalan, dan sponsor tetap senang. Inilah tragedi yang dibungkus dalam tawa palsu yang disodorkan ke hadapan kita setiap hari.
Pada akhirnya, acara seperti Brownis perlu berefleksi kembali pada tujuan utama mereka. Apakah mereka ingin terus menjadi arena tawa kosong tanpa isi, ataukah mereka mau belajar menghargai narasi lain di luar ego mereka sendiri?
Jika tidak, maka kritik pedas di kolom komentar hanyalah permulaan dari runtuhnya kepercayaan publik pada acara semacam ini.