jlk – Manusia, makhluk yang membanggakan diri sebagai yang paling cerdas, beradab, dan berkuasa di planet ini, ternyata masih terjerat dalam misteri asal-usulnya yang belum terpecahkan.
Sejak zaman purba, manusia telah mempertanyakan akar nenek moyangnya, tempat pertama kali munculnya, serta proses evolusinya.
Namun, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini selalu menyisakan keraguan, tergantung pada sumber yang dipercaya.
Sebagian mengklaim bahwa manusia pertama kali diciptakan oleh Tuhan dari tanah liat, lalu diberi nama Adam dan Hawa.
Kisah mereka tinggal di surga, hingga jatuh ke dalam dosa dan diusir ke bumi, menjadi fondasi dalam keyakinan agama-agama Abrahamik seperti Yahudi, Kristen, dan Islam.
Di sisi lain, mitologi Tiongkok menyajikan kisah tentang Fu Xi dan Nuwa, sepasang makhluk setengah manusia setengah ular, yang konon menciptakan manusia dari tanah liat di Gunung Kunlun.
Meskipun mitos ini masih diyakini oleh sebagian orang, kebenarannya terus dipertanyakan.
Adapun teori ilmiah mendukung bahwa manusia pertama kali muncul di Afrika, dari spesies Homo sapiens yang berevolusi dari Homo heidelbergensis atau spesies serupa sekitar 300.000 tahun lalu. Dukungan teori ini bersumber dari bukti fosil, penelitian genetik, dan temuan arkeologis.
Namun, pertanyaan esensial tetap: mana yang benar? Mana yang salah? Haruskah kita memilih satu di antara tiga versi ini, atau mencoba merangkai semuanya?
Apakah kita puas dengan jawaban yang ada, atau terus mencari kebenaran yang mutlak? Apakah kita bersedia menghormati perbedaan pandangan, atau justru terjerumus dalam konflik karena merasa paling benar?
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tak akan pernah berakhir, mengingat manusia sebagai makhluk yang tidak pernah lelah mengejar pengetahuan, namun sering kali terperangkap dalam ego dan emosi.
Meskipun haus akan pengetahuan tentang asal-usulnya, manusia juga gemar membuktikan superioritasnya. Meskipun mencari Tuhan, manusia juga seringkali berambisi untuk menjadi Tuhan.
Namun, mungkin pertanyaan yang lebih penting bukanlah di mana manusia pertama kali muncul, melainkan ke mana arah manusia selanjutnya.
Apakah kita akan terus hidup dalam ketidakpastian, konflik, dan keserakahan, atau akan berusaha menemukan jalan menuju kebenaran, perdamaian, dan kebahagiaan?
Apakah kita akan menghargai keberagaman, atau malah memaksa keseragaman? Apakah kita akan belajar dari masa lalu, atau terus mengulangi kesalahan yang sama?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sepenuhnya tergantung pada kita sebagai manusia, yang dilengkapi dengan akal, hati, dan nurani.
Kita memiliki pilihan untuk menjadi manusia yang baik atau buruk, bijak atau bodoh, beradab atau barbar.
Kita memiliki kendali atas pilihan-pilihan tersebut.
Di mana manusia pertama kali muncul mungkin bukanlah hal yang terpenting. Yang penting adalah ke mana arah kita sebagai manusia berikutnya.