Manusia desa tidak perlu diajari untuk merayakan kemerdekaan. Mereka telah secara mandiri selama berpuluh-puluh tahun untuk merayakan dan memaknai kemerdekaan dengan caranya sendiri.
Bayangkan. Jika bukan karena kemantapan nasionalisme yang sudah mandarah daging; apakah negara ini mampu mengakomodir masyarakat untuk kerja bakti menjelang bulan agustus tiba?
Pemerintah tidak perlu susah payah. Masyarakat sudah sangat hafal, bahwa setiap menjelang bulan Agustus, masyarakat di desa-desa sudah pasti melaksanakan kerja bakti membersihkan lingkungan, memasang umbul-umbul, mengibarkan bendera dengan tiyang bambu, mewarnai jalan, dan memasang lampu kerlap-kerlip.
Semua itu secara serentak terlaksana di tingkatan RT dengan pengumuman via toa masjid dan mushola. Tidak perlu rapat yang bertele-tele, alih-alih menghabiskan waktu dan anggaran seperti ajaran para pejabat.
Negara ini, termasuk pemerintah secara khusus; sudah selayaknya mengucapkan syukur dan berterima kasih kepada seluruh masyarakat di desa-desa atas keikhlasan dan kemurnian hati dalam memaknai kemerdekaan bangsa ini.
Syukur-syukur jika rasa tersebut dapat memunculkan kesadaran bahwa sangat tidak pantas jika para pemangku amanat rakyat masih menghambur-hamburkan uang untuk kepentingan pribadi mereka, karena sudah cukuplah mereka dzolim kepada rakyat Indonesia.
Nasionalisme Islam
Yang paling gamblang adalah masyarakat NU. Mereka telah terdidik selama satu abad lebih untuk mengakui dan menerima bahwa Indonesia sebagai negara yang sah dan wajib ‘ain untuk diperjuangkan sekaligus dipertahankan.
Kembali sejenak untuk mengenang hasil Muktamar ke-11 NU di Banjarmasin pada tahun 1936. Bahwa NU mengakui Nusantara sebagai Dar Al-Islam (Wilayah Islam). Karena wilayah nusantara pada saat itu dikuasai oleh kolonial Belanda, maka pemahaman tentang Dar Al-Islam menjadi ilham perjuangan Kyai Hasyim Asy’ari dalam mencetuskan Resolusi Jihad pada Oktober 1945. Membela tanah air dari penjajahan adalah fardhu ‘ain.
Kiprah Kyai NU
Apakah lantas NU menginginkan Indonesia menjadi negara Islam ? Tidak.
Melalui peran Kyai Wahid Hasyim, NU mengafirmasi atas pembentukan negara-bangsa (nation-state) Indonesia pada Sidang BPUPKI-PPKI 1945 secara tegas bahwa Indonesia bukan negara Islam dan Pancasila sebagai ideologi yang wajib dipedomani.
Sejak saat itu, tentunya kyai-kyai NU di kampung-kampung, dalam majelis ilmu di surau-surau, di pondok pesantren, terus dikumandangkan bahwa Indonesia sebagai negara tempat kita lahir, tempat kita hidup, tempat kita beribadah menyembah Tuhan yang Maha Esa dan tempat kita dimakamkan kelak maka tidak ada pilihan lain selain mempertahankan Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Bukan Hanya Omon-Omon
Artinya, peran para kyai dalam menjalankan amanat Bung Karno tentang Sosio-Nasionalisme itu memang terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dengan tulus ikhlas menemani umat; membimbing dan mengarahkan agar berperilaku baik, menghargai sesama manusia apalagi dengan sebangsa setanah air.
Sehingga masyarakat bisa hidup berdampingan, saling menghargai dan toleransi. Coba saja pemerintah berfikir sebaliknya, andai saja masyarakat saling merampas, saling serang dan saling mempertahankan ego sektoralnya, akan jadi apa negara ini?
Lalu kemudian NU dan kawannya, Muhammadiyah; menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Jokowi mendapatkan kesempatan mengelola tambang, apakah suatu penghargaan yang layak?
ya layak-layak saja. Lha wong memang sudah terbukti perjuangannya. Toh, kekayaan alam negara ini jika bukan untuk kepentingan rakyat, lantas kepentingan siapa lagi?
Asal dikelola dengan adil, untuk kesejahteraan umat, dan demi kemaslahatan apakah suatu hal yang buruk?
Jangan Ajari Kami untuk Mencintai Negeri Ini
Jelas tidak perlu diragukan lagi. Kecintaan kami pada bumi pertiwi bukan lagi sekedar cinta pamrih, yang meskipun tidak dibayar, atau bahkan tidak diperhatikan pemerintah sekalipun hati kami tetaplah merah putih.
Lihatlah mereka; manusia desa. Para petani menghidupi mimpi dari padi yang ia tanam sendiri, meski pupuk dipersulit, harga beras kadang kala menurun drastis, hidupnya pas-pasan; hanya cukup untuk sehari makan, hatinya tetaplah Indonesia.
Lalu Siapa yang Seharusnya Diragukan Kecintaannya?
Adalah mereka yang sudah bergelimang kekuasaan dan kekayaan, yang ia peroleh dari sumber daya alam negeri ini dan dari nafas hidup masyarakat ibu pertiwi.
Semua fasilitas yang ia dapatkan mengandung amanat rakyat. Jika kebijakan dan tabiat pekerjaan mereka tidak memberi manfaat pada rakyat maka layaklah mereka disebut orang-orang yang dzolim. Yaa Dzal Wabal.