Kejahatan Genosida: Apa, Siapa, dan Bagaimana?

Alvin Karunia By Alvin Karunia
5 Min Read
theater of war, war, apocalypse
Photo by 51581 on Pixabay

Kejahatan genosida adalah pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras. Istilah ini pertama kali diciptakan oleh pengacara Polandia, Raphael Lemkin, pada 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe. Lemkin mengembangkan istilah ini sebagai tanggapan terhadap kebijakan Nazi Jerman yang melakukan pembunuhan sistematis terhadap orang-orang Yahudi selama peristiwa Holocaust.

Namun, genosida bukanlah fenomena baru dalam sejarah manusia. Sebelum Holocaust, telah terjadi banyak kasus genosida di berbagai belahan dunia, seperti pembantaian orang-orang Armenia oleh Turki Ottoman pada 1915, pembunuhan orang-orang Herero dan Namaqua oleh Jerman di Namibia pada 1904-1908, dan pemusnahan orang-orang Tutsi oleh orang-orang Hutu di Rwanda pada 1994.

Genosida adalah sebuah kejahatan yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Unsur internasional dari kejahatan ini adalah dolus specialis atau niat khusus dari pelaku untuk menghancurkan empat kelompok sasaran yang dilindungi. Pasal 2 Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide 1948 (Konvensi Genosida 1948) menyebutkan, empat kelompok sasaran tersebut, yakni bangsa, etnis, ras, dan agama.

Konvensi Genosida 1948 juga mengatur lima tindakan yang termasuk dalam genosida, yaitu:

- Advertisement -
  • Membunuh anggota kelompok;
  • Menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;
  • Menciptakan kondisi hidup yang ditujukan untuk mengakibatkan pemusnahan fisik secara keseluruhan atau sebagian terhadap kelompok;
  • Mengambil tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok;
  • Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Konvensi Genosida 1948 juga mewajibkan negara-negara pihak untuk mencegah dan menghukum kejahatan genosida, baik yang dilakukan dalam masa damai maupun dalam masa perang. Kejahatan genosida dapat dituntut di pengadilan nasional maupun internasional, seperti Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC).

Namun, menentukan apakah suatu kejahatan termasuk genosida atau bukan bukanlah hal yang mudah. Selain harus membuktikan adanya actus reus atau tindakan jahat, juga harus membuktikan adanya mens rea atau niat jahat dari pelaku. Niat jahat ini harus spesifik, yaitu ingin menghancurkan sebagian atau seluruh kelompok yang dilindungi.

Niat jahat ini seringkali sulit untuk dibuktikan, karena pelaku biasanya tidak mengakuinya secara terbuka. Oleh karena itu, niat jahat ini harus disimpulkan dari sejumlah faktor, seperti motif, konteks, pola, frekuensi, skala, dan dampak dari tindakan-tindakan yang dilakukan.

Salah satu contoh kasus yang masih menjadi perdebatan apakah termasuk genosida atau bukan adalah kasus Rohingya di Myanmar. Rohingya adalah etnis minoritas yang mayoritas beragama Islam di negara yang didominasi oleh etnis Bamar yang beragama Buddha. Rohingya telah mengalami diskriminasi, penganiayaan, dan kekerasan dari pemerintah dan militer Myanmar selama puluhan tahun.

Pada 2017, militer Myanmar melancarkan operasi militer yang brutal terhadap Rohingya di Rakhine, menyebabkan ribuan orang tewas, diperkosa, dan dibakar. Lebih dari 700.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh untuk mencari perlindungan. PBB menyebut operasi militer ini sebagai “pembersihan etnis” dan “pelanggaran HAM yang mengerikan”.

- Advertisement -

Namun, apakah operasi militer ini juga dapat dikategorikan sebagai genosida? Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar menyatakan bahwa terdapat informasi yang cukup untuk mengeluarkan perintah penyidikan dan penuntutan terhadap pejabat senior militer Myanmar atas kejahatan genosida. Tim ini menilai bahwa niat untuk melakukan kejahatan genosida dapat disimpulkan dari penemuan yang ada.

Namun, Myanmar membantah tuduhan genosida dan mengklaim bahwa operasi militer tersebut adalah respons terhadap serangan kelompok militan Rohingya, yaitu Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Myanmar juga menolak kerjasama dengan ICC dan tidak mengakui kewenangan pengadilan tersebut. Oleh karena itu, proses hukum untuk menuntut kejahatan genosida terhadap Rohingya masih menghadapi banyak hambatan.

Kejahatan genosida adalah kejahatan yang sangat serius dan mengancam kemanusiaan. Kejahatan ini tidak hanya merenggut nyawa, tapi juga menghapus identitas, budaya, dan sejarah dari suatu kelompok. Oleh karena itu, kejahatan ini harus dicegah, dihentikan, dan dihukum dengan tegas. Selain itu, korban dan kelangsungan hidup dari kelompok yang terkena genosida harus dilindungi dan diberi keadilan.

- Advertisement -
Share This Article