Penyandang disabilitas seringkali mengalami berbagai hambatan dan kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan, termasuk dalam mengakses keadilan. Padahal, mereka memiliki hak yang sama dengan orang lain di hadapan hukum, baik sebagai saksi, terdakwa, maupun korban. Bagaimana negara menjamin perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak pidana?
Kasus Rina, Korban Perkosaan yang Lumpuh
Rina (bukan nama sebenarnya) adalah seorang wanita berusia 25 tahun yang mengalami kelumpuhan di kedua kakinya akibat kecelakaan. Dia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kontrakan di Jakarta. Pada suatu malam, dia mendengar suara orang masuk ke rumahnya. Sebelum dia sempat berteriak, seorang pria yang ternyata adalah tetangganya menutup mulutnya dan memaksa melakukan hubungan intim dengannya. Rina tidak bisa melawan karena kondisi fisiknya yang lemah. Dia hanya bisa menangis dan berdoa agar pria itu segera pergi.
Keesokan harinya, Rina melaporkan kejadian itu ke polisi dengan didampingi ibunya. Namun, dia merasa tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari pihak kepolisian. Dia harus menunggu lama untuk diperiksa, tidak diberikan fasilitas yang memadai untuk bergerak, dan bahkan ditanyai hal-hal yang tidak relevan dan menyakitkan, seperti apakah dia pernah berhubungan intim sebelumnya, apakah dia menikmati perkosaan itu, dan apakah dia bersedia berdamai dengan pelaku.
Rina merasa tidak dihargai sebagai korban dan sebagai manusia. Dia merasa tidak ada yang peduli dengan penderitaannya. Dia merasa tidak ada harapan untuk mendapatkan keadilan.
Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas
Kasus Rina adalah salah satu contoh dari banyaknya kasus yang menimpa penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak pidana. Menurut data Komnas Perempuan, pada tahun 2020 terdapat 1.165 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas, yang sebagian besar adalah kekerasan seksual. Namun, hanya sedikit dari kasus-kasus tersebut yang berhasil diselesaikan secara hukum.
Padahal, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan orang lain di hadapan hukum, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Hak-hak tersebut antara lain adalah hak atas perlakuan yang sama, hak diakui sebagai subjek hukum, hak memperoleh akses terhadap pelayanan peradilan, hak atas perlindungan dari segala tekanan, kekerasan, penganiayaan, diskriminasi, dan perampasan hak milik, dan hak memilih dan menunjuk orang untuk mewakili kepentingannya dalam hal keperdataan di dalam dan di luar pengadilan.
Untuk memenuhi hak-hak tersebut, negara harus menjamin akses yang efektif terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas, termasuk melalui penyediaan akomodasi prosedural dan sesuai usia, untuk memfasilitasi peran efektif mereka sebagai peserta langsung dan tidak langsung, termasuk sebagai saksi, dalam semua proses hukum, termasuk pada tahap penyidikan dan tahap awal lainnya.
Akomodasi prosedural adalah penyesuaian yang diberikan kepada penyandang disabilitas dalam proses peradilan agar mereka dapat berpartisipasi secara penuh dan efektif. Akomodasi prosedural dapat berupa pelayanan, fasilitas, atau dukungan, seperti penerjemah bahasa isyarat, alat bantu komunikasi, alat bantu mobilitas, pengaturan tempat dan waktu sidang, penunjukan kuasa hukum, dan sebagainya.
Tantangan dan Harapan
Meskipun telah ada aturan hukum yang mengatur perlindungan bagi penyandang disabilitas, namun dalam praktiknya masih banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh mereka yang menjadi korban tindak pidana. Beberapa di antaranya adalah:
- Kurangnya kesadaran dan pemahaman dari masyarakat, termasuk aparat penegak hukum, tentang hak-hak dan kebutuhan penyandang disabilitas, sehingga sering terjadi diskriminasi, stigma, dan stereotip negatif terhadap mereka.
- Kurangnya sumber daya manusia, anggaran, dan fasilitas yang memadai untuk memberikan pelayanan dan akomodasi prosedural bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mengakses informasi, komunikasi, transportasi, dan kesehatan.
- Kurangnya koordinasi dan kerjasama antara berbagai pihak yang terkait dengan perlindungan penyandang disabilitas, seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, organisasi penyandang disabilitas, media massa, dan akademisi, sehingga tidak tercipta sinergi dan advokasi yang efektif.
- Kurangnya data dan penelitian yang akurat dan terkini tentang kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, khususnya yang menjadi korban tindak pidana, sehingga tidak ada dasar yang kuat untuk merumuskan kebijakan dan program yang tepat sasaran.
Untuk mengatasi tantangan dan hambatan tersebut, diperlukan komitmen dan kerjasama dari semua pihak untuk mewujudkan perlindungan hukum yang adil dan bermartabat bagi penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak pidana. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:
- Meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat, termasuk aparat penegak hukum, tentang hak-hak dan kebutuhan penyandang disabilitas, serta menghapus diskriminasi, stigma, dan stereotip negatif terhadap mereka.
- Mengalokasikan sumber daya manusia, anggaran, dan fasilitas yang memadai untuk memberikan pelayanan dan akomodasi prosedural bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan, serta memastikan bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang sama dan proporsional dengan orang lain.
- Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara berbagai pihak yang terkait dengan perlindungan penyandang disabilitas, serta membentuk mekanisme yang efisien dan efektif untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan penyandang disabilitas, khususnya yang menjadi korban tindak pidana.
- Meningkatkan data dan penelitian yang akurat dan terkini tentang kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, khususnya yang menjadi korban tindak pidana, serta menggunakan data dan penelitian tersebut sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan dan program yang tepat sasaran.
Kesimpulan Penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak pidana memiliki hak yang sama dengan orang lain di hadapan hukum, dan berhak mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan bermartabat. Namun, dalam kenyataannya, mereka masih menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan dalam mengakses keadilan. Oleh karena itu, diperlukan komitmen dan kerjasama dari semua pihak untuk mewujudkan perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas, sehingga mereka dapat merasakan keadilan di tengah keterbatasan.