Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di suatu negara, seringkali menarik perhatian dunia internasional. Namun, proses peradilan atas pelanggaran tersebut diserahkan kepada masing-masing negara. Bagaimana jika negara yang bersangkutan dianggap tidak mampu, tidak mau, atau tidak adil dalam menangani kasus-kasus tersebut? Maka, Mahkamah Pidana Internasional atau ICC akan mengambil alih.
Apa itu Mahkamah Pidana Internasional? Siapa saja yang bisa diadili olehnya? Dan bagaimana cara kerjanya? Mari kita simak ulasan berikut ini.
Apa itu Mahkamah Pidana Internasional?
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court atau ICC) adalah pengadilan kriminal internasional yang pertama kali bersifat permanen dan independen. Pengadilan ini berwenang untuk mengadili individu-individu yang diduga melakukan kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan/atau kejahatan perang.
Mahkamah Pidana Internasional berkedudukan di Den Haag, Belanda. Dasar hukum pendiriannya adalah Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court) yang disahkan pada tahun 1998 dan mulai berlaku pada tahun 2002 setelah diratifikasi oleh 60 negara. Hingga saat ini, sudah ada 123 negara yang menjadi anggota Statuta Roma.
Mahkamah Pidana Internasional dibentuk sebagai pengadilan terakhir untuk mengadili kejahatan-kejahatan paling serius dalam kasus-kasus di mana pengadilan nasional gagal bertindak. Berbeda dengan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang menangani sengketa antarnegara, Mahkamah Pidana Internasional menangani penuntutan terhadap individu. Yurisdiksi pengadilan ini berlaku untuk kejahatan-kejahatan yang terjadi setelah tanggal 1 Juli 2002, yang dilakukan baik di wilayah negara anggota Statuta Roma maupun oleh warga negara anggota Statuta Roma.
Meskipun Statuta Roma mendapat pujian luas (sekitar 140 negara telah menandatangani perjanjian tersebut pada saat mulai berlaku), sedikit negara di Timur Tengah atau Asia yang bergabung. Selain itu, pada tahun 2002, China, Rusia, dan Amerika Serikat menolak untuk berpartisipasi, dan Amerika Serikat bahkan mengancam untuk menarik pasukannya dari pasukan perdamaian PBB kecuali warga negaranya (baik militer maupun sipil) dikecualikan dari penuntutan oleh Mahkamah Pidana Internasional. Namun demikian, dalam lima tahun pertama berdirinya, lebih dari 100 negara telah meratifikasi perjanjian tersebut.
Semua negara anggota diwakili dalam Sidang Umum Negara-negara Pihak (Assembly of States Parties) yang mengawasi kegiatan Mahkamah Pidana Internasional. Sidang pertama Mahkamah Pidana Internasional diadakan pada tahun 2006, untuk memutuskan apakah dakwaan harus diajukan terhadap Thomas Lubanga, yang dituduh merekrut anak-anak sebagai tentara di Republik Demokratik Kongo. Pengadilan Lubanga, yang merupakan pengadilan pertama yang dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional, dimulai pada Januari 2009, dan pada Maret 2012 pengadilan memutuskan bahwa ia bersalah dan kemudian menjatuhkan hukuman penjara 14 tahun. Pada Mei 2007, pengadilan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap seorang menteri pemerintah dan seorang pemimpin milisi di Sudan atas peran mereka dalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pasukan Sudan di Darfur.
Siapa saja yang bisa diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional?
Mahkamah Pidana Internasional memiliki beberapa yurisdiksi, yaitu yurisdiksi personal, yurisdiksi material, yurisdiksi teritorial, dan yurisdiksi temporal. Berikut adalah penjelasan masing-masing.
- Yurisdiksi personal adalah kewenangan Mahkamah Pidana Internasional untuk mengadili individu-individu yang diduga melakukan kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi materialnya. Mahkamah Pidana Internasional tidak mengadili negara, organisasi, atau kelompok, melainkan hanya individu. Selain itu, Mahkamah Pidana Internasional juga tidak mengadili orang yang berusia di bawah 18 tahun pada saat melakukan kejahatan. Orang-orang tersebut akan dikembalikan ke negaranya dan dikenakan hukum nasional negara tersebut.
- Yurisdiksi material adalah kewenangan Mahkamah Pidana Internasional untuk mengadili kejahatan-kejahatan tertentu yang dianggap paling serius oleh masyarakat internasional, yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Kejahatan-kejahatan ini didefinisikan secara rinci dalam Statuta Roma, dengan mengacu pada instrumen-instrumen hukum internasional lainnya, seperti Konvensi Genosida 1948, Konvensi Jenewa 1949, dan Protokol Tambahan 1977. Kejahatan-kejahatan ini mencakup sebagian besar pelanggaran-pelanggaran serius terhadap HAM yang terjadi baik dalam konflik bersenjata internasional maupun non-internasional.
- Yurisdiksi teritorial adalah kewenangan Mahkamah Pidana Internasional untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang terjadi di wilayah negara anggota Statuta Roma atau oleh warga negara anggota Statuta Roma. Secara umum, Statuta Roma menekankan bahwa Mahkamah Pidana Internasional dapat menjalankan fungsi dan kekuasaannya di wilayah negara anggota Statuta Roma. Namun, Mahkamah Pidana Internasional juga dapat menjalankan fungsi dan kekuasaannya di wilayah negara non-anggota, asalkan ada perjanjian khusus yang dibuat.
- Yurisdiksi temporal adalah kewenangan Mahkamah Pidana Internasional untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku, yaitu pada tanggal 1 Juli 2002. Salah satu prinsip yang dianggap mendasar dalam hukum pidana adalah prinsip legalitas yang terkandung dalam ungkapan “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” yang berarti bahwa seseorang tidak dapat dituntut dan dihukum berdasarkan suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya belum dinyatakan sebagai tindak pidana (kejahatan). Statuta Roma juga mencerminkan gagasan yang sama melalui Pasal 11 ayat (1), yang menyatakan bahwa Mahkamah Pidana Internasional hanya memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan setelah statuta berlaku, yaitu pada tanggal 1 Juli 2002.
Pasal 11 ayat (2) Statuta Roma menyatakan bahwa jika suatu negara menjadi Negara Pihak Statuta Roma setelah statuta berlaku, Mahkamah Pidana Internasional mulai menjalankan yurisdiksinya hanya atas kejahatan yang dilakukan setelah statuta berlaku di negara tersebut, kecuali negara tersebut membuat deklarasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma.
Bagaimana cara kerja Mahkamah Pidana Internasional?
Mahkamah Pidana Internasional memiliki empat organ utama, yaitu Presiden dan Hakim, Jaksa Penuntut, Sekretariat, dan Unit Perlindungan Korban dan Saksi. Berikut adalah penjelasan singkat tentang masing-masing organ:
Yurisdiksi Personal Mahkamah Pidana Internasional
Yurisdiksi personal Mahkamah Pidana Internasional (ICC) adalah kewenangan ICC untuk menuntut individu-individu yang diduga melakukan kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi material ICC, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan/atau kejahatan perang.
Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Statuta Roma, ICC hanya memiliki yurisdiksi atas individu-individu yang berusia minimal 18 tahun pada saat melakukan kejahatan. Jadi, jika ada penanganan kasus pada seseorang yang usianya belum mencapai 18 tahun, maka orang tersebut akan dikembalikan ke negaranya dan hukum nasional negara orang tersebut yang akan diterapkan.
Selain itu, Pasal 25 ayat (2) Statuta Roma menegaskan bahwa ICC hanya memiliki yurisdiksi atas orang-orang yang melakukan kejahatan sebagai pelaku utama atau sebagai orang yang berkontribusi secara substansial terhadap kejahatan tersebut. Jadi, orang-orang yang hanya berperan sebagai pembantu, penasihat, atau penyedia sarana tidak termasuk dalam yurisdiksi personal ICC.
Yurisdiksi Material Mahkamah Pidana Internasional
Yurisdiksi material Mahkamah Pidana Internasional (ICC) adalah kewenangan ICC untuk menuntut kejahatan-kejahatan tertentu yang dianggap sebagai kejahatan paling serius yang mengancam perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan dunia.
Berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma, ICC memiliki yurisdiksi atas empat jenis kejahatan, yaitu:
- Genosida, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, rasial, atau agama, seperti pembunuhan, pemusnahan, penganiayaan, pemindahan paksa, atau pencegahan kelahiran.
- Kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap populasi sipil, dengan pengetahuan akan adanya serangan tersebut, seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penghilangan paksa, penyiksaan, perkosaan, atau apartheid.
- Kejahatan perang, yaitu tindakan-tindakan yang melanggar hukum humaniter internasional yang berlaku dalam konflik bersenjata, baik internasional maupun non-internasional, seperti pembunuhan, penyiksaan, pengambilan sandera, penyerangan terhadap warga sipil, atau penggunaan senjata yang dilarang.
- Kejahatan agresi, yaitu tindakan-tindakan yang melibatkan penggunaan kekerasan bersenjata oleh suatu negara terhadap kedaulatan, integritas wilayah, atau kemerdekaan politik negara lain, atau dengan cara lain yang tidak sesuai dengan Piagam PBB.
Namun, perlu dicatat bahwa yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi baru dapat dilaksanakan setelah dipenuhinya beberapa syarat, antara lain:
- Adanya amendemen terhadap Statuta Roma yang mendefinisikan kejahatan agresi dan kondisi-kondisi untuk mengeksersis yurisdiksi ICC atas kejahatan tersebut.
- Adanya ratifikasi atau penerimaan amendemen tersebut oleh minimal 30 negara anggota Statuta Roma.
- Adanya persetujuan oleh dua pertiga mayoritas negara anggota Statuta Roma untuk mengaktifkan yurisdiksi ICC atas kejahatan agresi.
Syarat-syarat tersebut telah terpenuhi pada tahun 2017, sehingga sejak 17 Juli 2018, ICC telah memiliki yurisdiksi atas kejahatan agresi.
Yurisdiksi Teritorial Mahkamah Pidana Internasional
Yurisdiksi teritorial Mahkamah Pidana Internasional (ICC) adalah kewenangan ICC untuk menuntut kejahatan-kejahatan yang terjadi di wilayah suatu negara tertentu.
Secara umum, Statuta Roma menekankan bahwa ICC dapat menjalankan fungsi dan kekuasaannya di wilayah negara anggota Statuta Roma. Namun, ICC juga dapat menjalankan fungsi dan kekuasaannya di wilayah negara non-anggota, asalkan ada perjanjian khusus yang dibuat.
Perjanjian khusus tersebut dapat berupa:
- Penerimaan ad hoc oleh negara non-anggota terhadap yurisdiksi ICC atas kejahatan-kejahatan tertentu yang terjadi di wilayahnya, sesuai dengan Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma.
- Pengiriman situasi oleh Dewan Keamanan PBB kepada ICC, berdasarkan Pasal 13 huruf b Statuta Roma dan Pasal 16 Piagam PBB, yang memberikan kewenangan kepada ICC untuk menuntut kejahatan-kejahatan yang terjadi di wilayah negara non-anggota, tanpa memerlukan persetujuan dari negara tersebut.
Contoh dari perjanjian khusus pertama adalah kasus Kenya, yang merupakan negara non-anggota Statuta Roma pada saat terjadinya kekerasan pasca-pemilu pada tahun 2007-2008, yang mengakibatkan ribuan korban jiwa dan pengungsian. Pada tahun 2009, Kenya menyatakan penerimaan ad hoc terhadap yurisdiksi ICC atas kejahatan-kejahatan tersebut, sehingga ICC dapat melakukan penyelidikan dan penuntutan.
Contoh dari perjanjian khusus kedua adalah kasus Darfur, Sudan, yang merupakan negara non-anggota Statuta Roma pada saat terjadinya konflik bersenjata yang melibatkan pemerintah Sudan, milisi Janjaweed, dan kelompok-kelompok pemberontak, yang mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa dan pengungsian. Pada tahun 2005, Dewan Keamanan PBB mengirimkan situasi Darfur kepada ICC, berdasarkan Resolusi 1593, yang memberikan kewenangan kepada ICC untuk menuntut kejahatan-kejahatan yang terjadi di wilayah Sudan, tanpa memerlukan persetujuan dari Sudan.
Yurisdiksi Temporal Mahkamah Pidana Internasional
Yurisdiksi temporal Mahkamah Pidana Internasional (ICC) adalah kewenangan ICC untuk menuntut kejahatan-kejahatan yang terjadi pada periode waktu tertentu.
Salah satu prinsip yang dianggap mendasar dalam hukum pidana adalah prinsip legalitas yang terkandung dalam ungkapan “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” yang artinya bahwa seseorang tidak dapat dituntut dan dihukum atas dasar suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya belum dinyatakan sebagai tindak pidana (kejahatan). Statuta Roma juga mencerminkan gagasan yang sama melalui Pasal 11 ayat (1), yang menyatakan bahwa ICC hanya memiliki yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan yang terjadi setelah statuta tersebut berlaku, yaitu pada tanggal 1 Juli 2002.
Pasal 11 ayat (2) Statuta Roma menyatakan bahwa jika suatu negara menjadi negara anggota Statuta Roma setelah statuta tersebut berlaku, ICC mulai menjalankan yurisdiksinya hanya atas kejahatan-kejahatan yang terjadi setelah statuta tersebut berlaku di negara tersebut, kecuali negara tersebut membuat deklarasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma.
Berdasarkan ketentuan tersebut, ICC akan menyatakan suatu kasus tidak dapat diterima, antara lain, jika kasus tersebut sedang diselidiki atau dituntut oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk menanganinya, yang bersedia atau mampu untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan. Pernyataan tersebut mengkonfirmasi posisi ICC sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf a Statuta Roma, bahwa yurisdiksi ICC bersifat komplementer terhadap sistem hukum nasional.