Aset kripto, atau crypto asset, adalah istilah yang digunakan untuk menyebut benda-benda digital yang memiliki nilai dan menggunakan teknologi kriptografi untuk mengamankan transaksinya. Contoh aset kripto yang paling terkenal adalah Bitcoin, mata uang digital yang diciptakan pada tahun 2008 dan menjadi fenomena global. Selain Bitcoin, ada juga aset kripto lain yang bermunculan, seperti Ethereum, Ripple, Litecoin, dan sebagainya. Bahkan, ada juga aset kripto yang berupa karya seni digital, seperti Non-Fungible Token (NFT), yang bisa dijual dengan harga fantastis.
Namun, apakah aset kripto bisa dijadikan aset perusahaan? Apa saja syarat dan regulasi yang mengaturnya? Bagaimana cara mengakui dan mengelola aset kripto dalam laporan keuangan perusahaan? Dan apa saja tantangan dan solusi yang dihadapi oleh perusahaan yang ingin memanfaatkan aset kripto sebagai salah satu alternatif investasi?
Aset Kripto sebagai Aset Komoditas
Di Indonesia, aset kripto dilarang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah, karena dianggap berisiko dan tidak memiliki otoritas yang bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang menyatakan bahwa mata uang yang berlaku di Indonesia adalah Rupiah. Selain itu, Bank Indonesia juga telah mengeluarkan beberapa peraturan yang melarang penggunaan aset kripto sebagai alat pembayaran, seperti Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Namun, aset kripto diperbolehkan sebagai alat investasi dan dapat dimasukkan sebagai komoditas yang diperdagangkan di bursa berjangka komoditi. Hal ini berdasarkan Surat Menko Perekonomian Nomor S-302/M.EKON/09/2018 tanggal 24 September 2018 perihal Tindak lanjut Pelaksanaan Rakor Pengaturan Aset Kripto (Crypto Asset) Sebagai Komoditi yang Diperdagangkan di Bursa Berjangka. Surat ini menyatakan bahwa aset kripto memiliki potensi investasi yang besar dan apabila dilarang, maka akan berdampak banyaknya investasi yang keluar dari Indonesia karena konsumen akan mencari pasar yang melegalkan transaksi kripto.
Sebagai tindak lanjutnya, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) sebagai regulator bursa berjangka komoditi telah mengeluarkan Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka. Peraturan ini mendefinisikan aset kripto sebagai komoditas tidak berwujud yang berbentuk digital, menggunakan kriptografi, jaringan informasi teknologi, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.
Dengan demikian, aset kripto dapat digolongkan sebagai benda bergerak tidak berwujud yang dapat dimiliki oleh perusahaan sebagai aset perusahaan. Namun, aset kripto tidak dapat dikualifikasikan sebagai kas atau setara kas, aset keuangan, atau properti investasi, karena tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia.
Aset Kripto sebagai Persediaan atau Aset Tidak Berwujud
Lantas, dikualifikasikan sebagai apakah aset kripto ini dalam perusahaan? Ada dua karakteristik yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan aset kripto, yaitu tujuan utama dari aset kripto dan bagaimana aset kripto memperoleh nilai yang melekat.
Jika tujuan utama dari aset kripto adalah untuk diperdagangkan dalam kegiatan bisnis sehari-hari, maka aset kripto dapat dikualifikasikan sebagai persediaan (inventory). Persediaan adalah aset lancar yang dimiliki untuk dijual dalam kegiatan usaha normal atau dalam proses produksi untuk dijual. Persediaan diukur dengan biaya perolehan atau nilai realisasi bersih, mana yang lebih rendah. Biaya perolehan mencakup semua biaya pembelian, biaya konversi, dan biaya lain yang terjadi untuk membawa persediaan ke kondisi dan lokasi saat ini.
Jika tujuan utama dari aset kripto adalah untuk dimiliki jangka panjang dan tidak dimaksudkan untuk dijual dalam waktu dekat, maka aset kripto dapat dikualifikasikan sebagai aset tidak berwujud (intangible asset). Aset tidak berwujud adalah aset non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak memiliki wujud fisik. Aset tidak berwujud diukur dengan biaya perolehan dikurangi akumulasi amortisasi dan akumulasi kerugian penurunan nilai. Amortisasi adalah alokasi sistematis jumlah terbatas aset tidak berwujud selama umur manfaatnya.
Bagaimana aset kripto memperoleh nilai yang melekat? Ada dua cara, yaitu melalui transaksi pertukaran atau melalui penciptaan sendiri. Jika aset kripto diperoleh melalui transaksi pertukaran, maka biaya perolehannya adalah nilai wajar dari aset yang diberikan atau liabilitas yang timbul pada saat pertukaran. Jika aset kripto diciptakan sendiri, maka biaya perolehannya adalah biaya yang dapat diatribusikan secara langsung kepada penciptaan aset kripto tersebut.
Tantangan dan Solusi dalam Mengelola Aset Kripto
Meskipun aset kripto dapat dijadikan aset perusahaan, ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh perusahaan dalam mengelola aset kripto, antara lain:
- Fluktuasi harga aset kripto yang sangat tinggi dan tidak stabil, sehingga menyebabkan risiko kerugian dan kesulitan dalam menentukan nilai wajar aset kripto.
- Kurangnya standar akuntansi yang spesifik dan komprehensif mengenai pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan aset kripto, sehingga menyebabkan ketidakseragaman dan ketidaksesuaian dalam praktik akuntansi aset kripto.
- Kurangnya infrastruktur dan regulasi yang mendukung penggunaan aset kripto, seperti ketersediaan bursa, dompet, dan penyedia layanan aset kripto yang terpercaya dan aman, serta perlindungan hukum bagi pemilik dan pengguna aset kripto.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh perusahaan, antara lain:
- Meningkatkan literasi dan edukasi mengenai aset kripto, baik bagi manajemen, karyawan, maupun pemangku kepentingan lainnya, sehingga dapat memahami karakteristik, potensi, dan risiko aset kripto secara lebih baik.
- Mengadopsi standar akuntansi yang relevan dan sesuai dengan kondisi perusahaan, seperti International Financial Reporting Standards (IFRS) atau US Generally Accepted Accounting Principles (US GAAP), yang telah memberikan pedoman mengenai aset kripto, atau mengikuti praktik terbaik yang ada di industri sejenis.
- Meningkatkan kultur dan sarana prasarana yang mendukung digitalisasi, seperti internet, gawai, dan sejenisnya, serta memilih bursa, dompet, dan penyedia layanan aset kripto yang terpercaya dan aman, serta mematuhi regulasi yang berlaku.
Semoga artikel ini bermanfaat dan memberikan informasi yang Anda butuhkan. Jika Anda memiliki pertanyaan, saran, atau kritik, silakan tulis di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.