Di tengah hiruk-pikuk persiapan Pemilu 2024, sebuah kisah menggemparkan muncul dari Bondowoso, Jawa Timur. Erfin Dewi Sudanto, seorang calon legislatif (caleg) dari Partai Amanat Nasional (PAN), mengambil langkah ekstrem dengan menawarkan ginjalnya untuk dijual. Tindakan ini bukan tanpa alasan; Erfin berada dalam tekanan finansial berat untuk membiayai kampanye politiknya.
Kondisi Demokrasi yang Memprihatinkan
Erfin, yang berasal dari Desa Bataan, Kecamatan Tenggarang, menyatakan bahwa kondisi demokrasi di Indonesia saat ini memprihatinkan. Menurutnya, untuk menjadi caleg, diperlukan biaya yang tidak sedikit, mulai dari mencetak alat peraga kampanye (APK) hingga biaya penggalangan suara.
Realita atau Gimik Politik?
Pengamat politik di Bondowoso, Ahmad Abu Sofyan, menganggap langkah Erfin sebagai strategi politik untuk meraih simpati masyarakat. Di dunia politik, berbagai strategi digunakan untuk mencapai tujuan, dan tindakan Erfin bisa jadi bagian dari strategi tersebut.
Dilema Etika dan Hukum
Tindakan menjual organ tubuh, seperti ginjal, adalah ilegal di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, keputusasaan Erfin menggambarkan dilema etika dan hukum yang dihadapi oleh banyak caleg yang berjuang dalam sistem politik yang membutuhkan biaya tinggi.
Refleksi bagi Demokrasi
Kisah Erfin harus menjadi refleksi bagi kita semua tentang biaya demokrasi. Apakah kita ingin sistem politik yang hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki kekayaan, atau sistem yang memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi?
Kita perlu mempertimbangkan kembali model pembiayaan kampanye politik di Indonesia agar tidak memaksa caleg seperti Erfin untuk mengambil tindakan ekstrem yang berpotensi merugikan diri sendiri.