jlk – Pada zaman dahulu, di ujung timur Pulau Jawa, ada sebuah kerajaan besar bernama Blambangan.
Kerajaan Blambangan diperintah oleh Raja Silahadikrama, yang dikenal tamak dan rakus. Ketamakannya tidak hanya terhadap harta benda tetapi juga terhadap perempuan.
Meskipun sudah punya banyak istri, ia tetap tergoda oleh perempuan cantik dan menarik.
Setiap melihat perempuan cantik, dia ingin memilikinya, tanpa mempedulikan statusnya: masih sendiri atau sudah bersuami.
Sebagai raja, dia selalu memanfaatkan kekuasaannya untuk memenuhi hasratnya.
Raja Silahadikrama memiliki patih bernama Patih Sidapeksa, yang memiliki istri cantik jelita bernama Sri Tanjung. Diam-diam Raja jatuh hati dan ingin memilikinya.
Karena Sri Tanjung sudah menjadi istri patih kepercayaannya, Raja tidak berani menunjukkan keinginannya secara terang-terangan.
Beberapa kali dia berusaha menggoda dan merayu Sri Tanjung saat Patih Sidapeksa sedang berada di luar kota untuk melaksanakan tugas.
Ketika hasrat untuk memiliki Sri Tanjung sudah tidak terbendung lagi, Raja segera melaksanakan rencana yang telah disusunnya sejak lama. Dia berencana menyingkirkan Patih Sidapeksa secara halus.
Raja Silahadikrama pun memanggil Patih Sidapeksa.
“Hamba menghadap, Paduka. Benarkah Paduka memanggil hamba?” kata Patih Sidapeksa sambil menghaturkan sembah.
“Oh, Patih. Iya, iya … benar,” jawab Raja Silahadikrama sedikit gugup. “Ada tugas penting yang harus kau laksanakan. Hanya kau yang saya anggap mampu mengemban tugas ini.”
“Tugas penting apakah, Paduka? Hamba siap melaksanakan perintah, Paduka.”
“Begini, Patih. Akhir-akhir ini, perekonomian rakyat kita sedikit menurun. Menurut para ahli ekonomi, kita perlu mencari sumber daya tambahan berupa emas untuk memperbaiki situasi ini. Kabarnya, di Alas Purwo terdapat sumber emas yang sangat besar.
Kau harus berhasil membawanya ke istana dalam waktu tidak lebih dari empat puluh hari. Bagaimana, Patih?”
“Hamba siap, Paduka.”
“Kalau begitu, segeralah berangkat. Jika tugasmu berhasil, kau akan membuat rakyat Blambangan hidup makmur dan sejahtera.”
“Baik, Paduka. Tapi, izinkan hamba berpamitan dulu kepada istri hamba.”
“Ya, sebentar saja. Kau tidak usah khawatir. Aku akan menjaga istrimu selama kau pergi. Dia akan aman di bawah perlindunganku.”
“Terima kasih, Paduka. Hamba mohon diri.”
Sesampai di rumah, Patih Sidapeksa menceritakan tugas berat yang harus dilaksanakannya kepada Sri Tanjung. Sedikit pun Patih Sidapeksa tidak curiga ada niat buruk raja di balik tugas itu. Bahkan, ia tidak percaya pula ketika Sri Tanjung mencegahnya. Sang istri merasa tugas itu hanyalah akal-akalan Raja Silahadikrama untuk menyingkirkan suaminya karena ia berkali-kali menolak rayuan dan godaan Sang Raja.
“Kanda, tugas itu terlalu berat. Alas Purwo terkenal berbahaya dan sulit ditembus. Sebaiknya Kanda jangan pergi,” kata Sri Tanjung berusaha mencegah kepergian suaminya.
“Dinda, ini tugas kerajaan. Sudah kewajiban Kakanda sebagai patih menjalankan perintah Paduka demi kemakmuran rakyat Blambangan,” jawab Patih Sidapeksa berusaha menenteramkan hati istrinya.
“Tapi, Kanda. Mengapa Kanda harus pergi seorang diri? Tiadakah prajurit yang mengawal? Aku khawatir terjadi sesuatu pada Kanda. Ingat Kanda, aku sedang hamil.”
“Tidak usah khawatir, Dinda. Kanda akan menjaga diri dan pulang dengan selamat. Dinda juga harus menjaga diri dan menjaga bayi kita baik-baik. Sebelum empat puluh hari Kanda pasti sudah kembali.”
“Tapi … ,” kata Sri Tanjung dengan wajah cemas.
“Ini tugas kerajaan untuk kepentingan rakyat, Dinda.”
“Baiklah, Kanda. Tapi … Kanda harus hati-hati dan selalu waspada. Aku akan menunggu Kanda.”
Patih Sidapeksa meninggalkan rumah diiringi tatapan sedih dan perasaan khawatir istrinya. Ia ingin memberi tahu perlakuan Raja Silahadikrama kepadanya, tetapi takut membuat suaminya khawatir.
Di samping itu, suaminya juga sangat setia pada kerajaan Blambangan dan Raja Silahadikrama sehingga tidak mungkin memercayai perkataannya. Setelah suaminya pergi, Sri Tanjung merasa sangat takut karena Raja Silahadikrama pasti akan merayunya lagi.
Kekhawatiran dan ketakutan Sri Tanjung akhirnya terbukti. Beberapa saat setelah Patih Sidapeksa pergi, diam-diam Raja Silahadikrama datang ke rumahnya. Berbagai cara dilakukan untuk merayu Sri Tanjung agar mau menjadi istrinya, tetapi selalu ditolak.
Selama Patih Sidapeksa pergi, Raja Silahadikrama selalu berusaha membujuk dan merayu Sri Tanjung, namun tetap tidak berhasil. Raja Silahadikrama sangat kesal dan kecewa pada keteguhan dan kesetiaan istri patihnya itu.
Kekesalan itu bertambah manakala Patih Sidapeksa kembali ke istana dengan selamat sambil membawa laporan tentang sumber daya emas di Alas Purwo. Raja tidak menyangka bahwa Patih Sidapeksa dapat melaksanakan tugas tipuan itu dengan baik.
Di tengah rasa kesal dan kecewa akibat keberhasilan patihnya, tiba-tiba Raja Silahadikrama menemukan akal licik untuk membalas sakit hati dan dendamnya kepada istri patih.
Ia akan memanfaatkan kesetiaan dan kepercayaan Patih Sidapeksa terhadap kerajaan Blambangan untuk menyingkirkan Sri Tanjung. Maka, dibuatlah cerita fitnah terhadapnya.
“Patih, kau telah berhasil menemukan informasi penting untuk kerajaan Blambangan. Jasamu sangat besar untuk rakyat negeri ini. Mereka pasti akan sangat berterima kasih padamu,” puji Raja Silahadikrama beberapa saat setelah Patih Sidapeksa menghadap dan menyerahkan laporan tentang sumber emas di Alas Purwo.
“Semua ini berkat kepercayaan Paduka kepada hamba.”
“Kau memang patihku yang setia. Aku senang mendengarnya.”
“Hambajuga senang jika Paduka merasa senang.”
“Ya, aku sangat senang. Senang sekali, Patihku yang setia,” kata Raja Silahadikrama berpura-pura gembira.
“Kalau tidak ada lagi tugas Paduka, izinkan hamba mohon diri. Hamba ingin segera bertemu istri hamba agar tidak terlalu khawatir. Kasihan dia sedang hamil, Paduka,” kata Patih Sidapeksa memohon.
“Oh iya, Patih. Tapi … kau jangan kaget.”
“Ada apa, Paduka? Apa yang terjadi pada istri hamba?”
“Kau harus sabar, Patih.”
“Sudilah Paduka menceritakan apa yang terjadi pada istri hamba.”
“Maafkan aku, Patih. Selama kau pergi, istrimu telah bergaul dengan laki-laki lain. Pengawal yang kutempatkan untuk menjaga istrimu selama kau pergi, beberapa kali melihat istrimu sedang bercengkerama dengan seorang laki-laki,” kata Raja Silahadikrama berbohong.
Dia tahu bahwa Patih Sidapeksa sangat setia padanya sehingga pasti lebih percaya pada ceritanya daripada cerita istrinya.
Dugaan dan siasat Raja Silahadikrama terbukti benar. Sesampai di rumah, Patih Sidapeksa memanggil istrinya dengan nada keras.
Rasa capek akibat tugas berat yang baru dijalaninya dan cerita fitnah Raja Silahadikrama membuatnya tidak dapat berpikir dengan jernih.
“Ada apa Kanda? Mengapa Kakanda pulang dengan marah-marah? Apakah Kanda mendapat murka Paduka? Apakah Kanda tidak berhasil membawa kabar baik?” tanya Sri Tanjung bingung.
“Jangan berpura-pura, Dinda. Apa yang kau lakukan selama aku pergi?” tanya Patih Sidapeksa dengan nada suara tinggi.
“Apa maksud, Kanda?”
“Sudahlah, Dinda. Aku sudah dengar semuanya?”
“Mendengar apa, Kanda?”
“Kau benar-benar sudah pandai berbohong ya.”
“Sebentar, Kanda … Dinda sungguh tidak tahu maksud Kanda.”
“Siapa laki-laki yang selalu bersamamu selama aku pergi?”
“Laki-laki yang mana? Tidak ada laki-laki lain selain Kanda. Sungguh.”
“Laki-laki yang selalu bercengkerama dengan Dinda! Kau tidak bisa bersembunyi lagi. Katakan siapa dia!”
“Oh … rupanya Kanda menuduh Dinda berselingkuh? Siapa … siapa … yang telah menyebarkan fitnah ini, Kanda? Mengapa Kanda lebih percaya orang itu daripada istri Kanda sendiri?”
“Tidak penting siapa yang memberi tahu aku.
Tapi, jawab dengan jujur, siapa laki-laki itu.”
“Tidak ada, Kanda. Tidak ada laki-laki yang datang ke rumah ini selagi Kanda pergi.”
“Bohong!”
“Sumpah, Kanda. Demi Sang Hyang Widhi! Dinda masih suci!”
“Aku tidak percaya. Sumpah hanya di mulut, bagaimana bisa dipercaya?”
“Baiklah, Kanda. Kalau Kanda ingin bukti bahwa Dinda masih suci, Dinda akan buktikan. Mari … ikuti Dinda,” kata Sri Tanjung dengan hati yang sangat sedih.
Sri Tanjung mengajak suaminya ke arah hutan di sebelah barat. Selama dalam perjalanan, mereka tidak berbicara sepatah kata pun seakan sudah bukan suami istri lagi. Sri Tanjung berjalan di depan diiringi oleh Patih Sidapeksa. Sesampai di tepi sebuah telaga kecil, Sri Tanjung tiba-tiba berhenti. Seketika Patih Sidapeksa menghentikan langkahnya pula.
“Inilah tempatnya, Kanda,” kata Sri Tanjung sambil menunjuk telaga kecil di depannya.
“Apa maksud Dinda?” tanya Patih Sidapeksa heran.
“Bukankah Kanda ingin bukti? Tempat inilah yang akan membuktikannya,” kata Sri Tanjung dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan.
“Tapi … apa hubungannya dengan telaga ini?” tanya Patih Sidapeksa.
“Kanda, selama Kanda pergi, Dinda sudah menjaga diri baik-baik. Tapi rupanya Kanda tetap menuduh Dinda berbuat asusila dengan laki-laki lain. Tidak ada cara lain untuk membuktikan kesetiaan Dinda pada Kanda kecuali dengan nyawa Dinda sendiri,” kata Sri Tanjung dengan berlinang air mata.
Hatinya hancur menerima kenyataan suami yang sangat dicintainya itu telah berubah membencinya dan tidak mempercayainya lagi.
“Apa maksudmu? Kau masih tidak mau mengakui perbuatanmu?”
“Tidak! Sampai kapan pun Dinda tidak akan mengakuinya karena Dinda memang tidak melakukannya.”
“Jadi, untuk apa kau ajak aku ke tempat ini?”
“Bukankah Kanda ingin bukti?”
“Dengan apa kau akan membuktikan dirimu tidak bersalah, sedang para pengawal telah melihatmu!”
“Sudah Dinda katakan, dengan nyawa Dinda,” kata Sri Tanjung berurai air mata. “Dengar, Kanda! Jika air telaga ini berbau busuk berarti Dinda memang berbuat asusila, tetapi sebaliknya, jika air telaga ini tetap jernih dan bersih berarti Dinda masih suci.”
Sebelum Patih Sidapeksa menyadari dan mencerna kata-kata istrinya, Sri Tanjung melompat ke dalam telaga. Air telaga beriak-riak sebentar untuk kemudian tenang kembali.
Seketika Patih Sidapeksa teringat kata-kata terakhir istrinya. Ia melompat ke dalam telaga, menyelam, dan mengaduk-aduknya sambil berteriak-teriak memanggil nama Sri Tanjung.
Berkali-kali Patih Sidapeksa menyelam dan mengitari telaga, tetapi tetap tidak dapat menemukan tubuh istrinya. Air telaga yang jernih dan bersih menandakan bahwa istrinya tidak bersalah.
Ia sangat menyesal telah terburu nafsu dan lebih memercayai orang lain daripada istrinya sendiri. Sambil menangis penuh sesal, Patih Sidapeksa berjanji bahwa kelak jika sudah ramai, tempat itu akan dinamai Banyuwangi (air harum) sebagai tanda bahwa istrinya adalah seorang perempuan suci.